LOGINWulan bukanlah gadis biasa. Sejak kecil, ia hidup dalam bayangan misteri. Tanpa tahu siapa ayah dan ibunya, dia hanya dibesarkan oleh kehangatan Ningsih, ibu angkatnya. Namun, kehangatan itu berubah menjadi bara api pembalasan dendam ketika Wulan tepat berusia 20 tahun. Di suatu malam yang mengerikan, Ningsih terbunuh di antara kegelapan pekat di hutan larangan. Wulan merasa bersalah karena merasa Ningsih mati karena dirinya, dan meminta bantuan Mbah Broto, dukun sakti yang ada di kaki Gunung Halimun, tidak jauh dari desanya. Mbah Broto menjanjikan Wulan kekuatan untuk memburu sang dedemit, namun dengan satu syarat yang sangat mahal. Dia harus menyerahkan tubuhnya kepada dukun bejat itu. Bukan sebagai pemuas nafsu, tetapi sebagai alat untuk menjalankan tugas-tugas kotornya yang berkaitan dengan alam gaib dan dunia manusia. Wulan terpaksa menggunakan setiap inci pesonanya, setiap lekuk tubuhnya, untuk mengumpulkan tumbal dan harta yang diperlukan Mbah Broto dalam ritual-ritualnya yang sesat. Ia tidur dengan para penguasa, menjerat pejabat korup, dan menghisap energi pria-pria lemah demi memperkuat Mbah Broto. Setiap sentuhan, setiap desahan yang ia berikan adalah harga yang ia bayar untuk selangkah lebih dekat menuju taring sang dedemit. Ia menjadi boneka yang sempurna, pelayan nafsu dan ambisi sang dukun, namun bara dendamnya tetap menyala terang. Kecantikan dan kemolekan Wulan menjadi umpan yang lezat, dan lama-kelamaan, Wulan mulai menikmati perannya. Apakah dia akan kelak larut di dalamnya, dan lupa niat balas dendamnya?
View MoreLidah senja menjilat pucuk-pucuk pohon jati, mewarnai langit dengan palet jingga dan nila. Ningsih menepuk pelan gundukan tanah merah di hadapannya, jemarinya yang kapalan mengusap nisan kayu yang mulai lapuk.
Seribu hari. Genap seribu hari ia mengunjungi pusara suaminya, membawa serta aroma tanah basah dari kebun dan sepi yang membusuk di dalam dada.
Angin petang berdesir, membawa harum kembang kenanga dari pekarangan warga, tetapi bagi Ningsih, hanya bau tanah kuburan yang melekat di ujung hidungnya.
"Sudah seribu hari, Kangmas," bisiknya pada angin, suaranya serak ditelan gemerisik daun kering. "Apa kau baik-baik saja di sana? Aku di sini... sendiri."
Ia menarik napas panjang, udara dingin menusuk paru-parunya.
Sepi bukan lagi sekadar kata. Ia adalah selimut yang membungkusnya setiap malam, hantu yang duduk menemaninya di meja makan, dan beban yang menekan pundaknya saat ia mencangkul di kebun.
Ningsih merapikan kain jariknya, lalu bangkit dengan lutut yang terasa ngilu. Jalan setapak yang biasa ia lalui tampak lebih gelap dari biasanya, seolah hutan larangan di sisinya telah merayap maju, mencuri sisa-sisa cahaya.
Baru beberapa langkah meninggalkan area pemakaman, sebuah suara mengoyak keheningan.
"Ooeeeeekkk.."
Tangisan bayi. Melengking, tajam, dan penuh keputusasaan.
Ningsih berhenti. Jantungnya berdebar kencang, menabuh rusuknya seperti genderang perang.
Ia menajamkan pendengaran, memutar kepalanya ke segala arah. Suara itu datang dari arah batu besar legam yang menjadi patok batas antara jalan setapak dan hutan larangan.
Batu Wingit, begitu orang desa menyebutnya. Tempat yang selalu ia lewati, tetapi tak pernah sekalipun ia hiraukan. Siang tadi, saat ia berangkat ke kebun, tempat itu sunyi senyap.
"Siapa di sana?" Suaranya bergetar, lebih lemah dari yang ia harapkan.
Hanya gema tangis yang menjawab, semakin kencang dan menyayat hati. Rasa takut yang semula mencengkeramnya perlahan terkikis oleh naluri aneh.
Ia melangkah ragu, kakinya yang terbiasa menapaki tanah gembur kini terasa berat di atas kerikil. Semakin dekat, tangisan itu semakin memekakkan telinga.
Di balik punggung batu yang dingin, tergeletak buntalan kain putih. Bukan putih bersih, melainkan putih yang ternoda oleh bercak-bercak darah yang mulai menghitam.
Dari dalam buntalan itulah suara tangis berasal. Ningsih berjongkok, tangannya yang gemetar terulur untuk menyingkap kain itu.
Tangisan itu berhenti seketika saat jemari Ningsih menyentuh kulit mungil di dalamnya. Hening yang tiba-tiba terasa lebih mencekam daripada hiruk pikuk barusan.
Di hadapannya, sepasang mata kecil menatapnya tanpa berkedip. Wajah bayi perempuan yang luar biasa cantik, bahkan di tengah remang senja dan noda darah yang mengotorinya.
"Ya Gusti... Anak siapa ini?" Ningsih mengangkat buntalan itu dengan hati-hati. Bayi itu diam dalam dekapannya, seolah menemukan tempat paling aman di dunia.
Ia berdiri, matanya menyapu sekeliling. Pohon-pohon rimbun di tepi hutan larangan tampak seperti raksasa-raksasa hitam yang mengawasinya. Jalan setapak menuju desa sepi tak berpenghuni.
"Woooiii! Ada orang di sini?" teriaknya sekuat tenaga. "Ini anak siapa?"
Gema suaranya dipantulkan kembali oleh dinding hutan, seolah-olah mengejek usahanya. Ia bahkan memberanikan diri berteriak ke arah hutan yang gelap, tempat yang selalu ia hindari bahkan di siang hari bolong.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian dan tatapan sepasang mata bayi di pelukannya.
Langit menggelap dengan cepat. Warna nila telah sepenuhnya menelan sisa jingga. Meninggalkan bayi ini di sini sama saja dengan menyerahkannya pada binatang buas atau pada apa pun yang bersemayam di dalam hutan larangan.
Ningsih menatap wajah mungil itu lagi. Wajah damai yang seolah tidak peduli pada dunia yang baru saja membuangnya. Ada iba yang menjalari hatinya, perasaan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu, Nduk," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. "Ayo ikut Mbok pulang."
Dengan langkah mantap, ia memeluk buntalan itu erat-erat dan bergegas menyusuri jalan setapak menuju gubuknya, meninggalkan kuburan, batu legam, dan hutan larangan di belakang punggungnya.
Di dalam gubuk bambu yang hanya diterangi satu lampu teplok, Ningsih bekerja dengan cekatan. Air hangat di dalam baskom tembaga ia gunakan untuk membersihkan tubuh mungil itu dengan hati-hati.
Noda-noda darah yang lengket perlahan luntur, menampakkan kulit yang putih bersih, nyaris pucat seperti porselen. Ia membuang kain pembungkus yang berbau anyir itu ke tungku, membiarkan api melahapnya hingga menjadi abu.
Sebagai gantinya, ia mengambil kain jarik terbaik miliknya, kain batik dengan motif parang yang lembut, lalu membungkus tubuh bayi itu dengan hangat.
Setelah bersih dan hangat, bayi itu ia letakkan di atas dipan bambu miliknya.
Perlahan, sepasang kelopak mata itu terbuka. Matanya lebar dan indah, hitam pekat seperti malam tanpa bintang.
Cahaya bulan purnama yang bulat sempurna menyelinap masuk dari celah jendela, memantulkan sinarnya yang pucat di kedua bola mata itu.
Ningsih terpesona. Ia belum pernah melihat bayi secantik ini.
Kulitnya mulus tanpa cela, bulu matanya lentik alami, dan rambutnya hitam legam, tebal untuk ukuran bayi yang baru lahir.
Ia duduk di tepi dipan, mengamati setiap detail dari makhluk kecil di hadapannya.
"Kamu cantik sekali, Nduk," bisiknya lembut. Jemarinya mengelus pipi gembil itu.
Sebuah senyum tipis, entah disadari atau tidak, terukir di bibir mungil sang bayi. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam seribu hari, Ningsih tidak merasakan kekosongan.
Lubang menganga di jiwanya yang ditinggalkan oleh kematian suaminya, perlahan mulai terisi. Bukan terisi oleh kenangan, tetapi oleh sesuatu yang baru. Sesuatu yang hidup.
Kasih sayang yang tumpah ruah, yang selama ini tidak tahu harus ia alirkan ke mana, kini menemukan muaranya.
Ia menoleh ke arah jendela, menatap bulan purnama yang menggantung agung di langit. Cahayanya seolah ikut menyambut kedatangan si bayi, merestui kehadirannya di gubuk sederhana itu.
"Karena kau datang bersama bulan, aku akan memanggilmu Wulan." Ningsih tersenyum, senyum tulus yang pertama kali menghiasi wajahnya setelah sekian lama. "Wulanku."
Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti
Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat
Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika
Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.