Kara sedikit mengerenyit, karena tak begitu mengerti dengan ucapan Barra. Sementara Barra, pria itu langsung beranjak pergi begitu saja setelahnya. Nampaknya Barra tak mau membuang-buang waktunya lagi, karena tidak mau kembali menerima amarah dari Avaline sang ibu kandung."Baik, kalau begitu berarti tinggal kita persiapkan semuanya saja! Dan untuk masalah izin, ayah saya sudah menyetujui semuanya. Beliau sama sekali tidak merasa keberatan, meski belum bisa datang ke kantor ini langsung karena alasan kesehatannya," jelas Barra pada sekretarisnya dengan serius.Setelah menjelaskan semua kelanjutan tentang rapat via teleponnya kemarin bersama sang ayah pada sekretaris, Barra langsung melanjutkan rencananya yang lain. Ia segera pergi keluar untuk mencoba menghubungi mommy-nya untuk membahas urusan model, hingga setelah telepon itu tersambung salah satu telinganya mendengar suara sayup-sayup telepon dari arah lain."Akhh, sial! Kenapa jadi seperti in
"Hey, Anak Manis! Siapa namamu?"Kini Avaline mulai menyapa sesosok anak kecil yang telah lebih dulu berada di ruangan Barra, setelah berhasil memberikan ruang untuk anak lelakinya itu berkenalan dengan seorang wanita pilihannya. Ia sedikit menunduk menatap anak kecil itu dengan saksama, dan mengusap rambutnya dengan gemas karena tiba-tiba saja teringat dengan seseorang."Halo, Ne—""Oma! Panggil saja Oma Avaline!" potong ibu kandungnya Barra itu membenarkan, seraya tersenyum sesaat.Selama beberapa detik Avaline semakin dibuat terkagum-kagum dengan sosok mungil yang telah dibawa anaknya. Tatapan matanya, benar-benar hampir terlihat sama dengan anak lelakinya. Bahkan ia sampai merasa persis tengah berhadapan dengan Barra kecil saat ini."Oma Av... Avlin?" ucap Arka yang terlihat sangat kesulitan menyebut nama itu.Avaline sampai tertawa mendengarnya. "Ya, kalau terlalu sulit panggil oma saja! Oma mommy-nya Om Barra! Kau kenal 'kan?""Mommy? Mommy-nya Om Baik?" tanya Arka dengan dua ma
"Mommy suka anak itu, Barra! Anak itu cukup menarik perhatian, dan membuat siapa saja orang yang melihatnya menjadi merasa gemas! Tapi yang jadi pertanyaan mommy, ke mana orang tuanya? Arka tadi juga terlihat sangat kebingungan ketika mommy tanya di mana ayah atau ibunya. Apa mereka tidak benar-benar serius ingin bekerja sama dengan kita?"Barra yang tadinya tersenyum, seketika jadi gugup dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia meringis di dalam hati, tepat setelah mendengar ucapan terakhir sang ibu padanya."Heumm, Mom. Aku rasa bukan karena mereka tidak serius. Tadi memang ada suatu alasan yang cukup penting dan mendesak, sehingga bundanya Arka terpaksa meninggalkan Arka di sini bersama denganku. Kalau Mommy mau bertemu dengannya mungkin Mommy bisa menunggu?""Menunggu?" Avaline langsung menekuk dahinya. "Tidak! Tidak bisa, Barra! Sehabis ini Mommy mau pergi bersama Clarissa. Dia sudah mengajak mommy ke suatu tempat!""Hufftt!" Barra menghela napas dalam hati.Barra sedikit me
"Barra ...."Kara terpaksa lebih dulu memberikan jarak, setelah merasa tak mampu menahan gejolak aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Wanita itu kini tak berani lagi menatap langsung kedua netra coklat milik Barra, seiring dengan degup jantung yang semakin berdetak cepat."Kara, maafkan aku!" Barra meraih cepat kedua tangan Kara yang ada di hadapannya, dengan kedua netra tajamnya yang terlihat begitu memohon. "Kau tidak perlu menghindariku seperti ini, aku—""Aku tidak menghindar darimu, Barra. Aku hanya berperilaku seperti biasa," kilah Kara pelan seraya beranjak menjauh.Barra mengusap wajahnya gusar. Ia tentu tak bisa terus merasa seperti ini, sehingga langsung memutuskan untuk membututi wanita itu ke arah dapur.Di sepanjang harinya tadi, Barra memang terus kepikiran dengan Kara. Ia terus saja terbayang-bayang dengan perubahan sikap ibu satu anak itu, sehingga hampir membuat beberapa pekerjaannya tadi di kantor menjadi kacau.
"Tapi Barra, ibumu pasti akan sangat marah karena kau lebih memilih wanita sepertiku. Ibumu pasti ingin melihatmu bersanding dengan wanita terbaik pilihannya, bukan aku." Kara kembali menunduk, sambil menatap dua tangan kekar Barra yang terus menggenggam erat tangannya. Takut, itulah yang tengah dirasakan oleh Kara saat ini. Kara takut jika di kemudian hari ia merasa menyesal dan sakit hati, karena telah nekat memutuskan untuk tetap bertahan dengan seorang Barra yang mana kehidupannya sudah terlihat sangat berbanding jauh terbalik dengannya."Aku akan merubah pikiran dan keputusannya, Kara! Aku akan terus berusaha membujuk, sampai ibuku mau memahami keinginanku dan menerima kehadiranmu dan juga Arka!" tukas Barra cepat seraya membuat kembali wanita itu kembali menatap ke arahnya."Kenapa kau bisa sangat yakin seperti itu, Barra? Bukankah kau belum tahu siapa ayah kandung Arka yang sebenarnya? Bagaimana ka—""Aku sudah tidak peduli lagi dengan masalah itu, Kara!" potong Barra kembali
"Ya ampun, Astaga!"Kara hampir saja berteriak kencang, ketika menyadari Barra yang ternyata tidur tak jauh dari sisinya. Pria itu ada di sebelah Arka yang masih terlelap, dengan salah satu tangan yang tengah dipeluk erat oleh anak lelakinya.Yang menjadi pertanyaan Kara, kapan Barra pindah tidur ke kamar ini? Seingat Kara tadi malam ia sendiri yang sudah menyiapkan selimut dan bantal untuk pria itu, dan kembali ke kamar seorang diri untuk menenangkan Arka yang baru menangis."Jangan terkejut, aku semalam ke sini untuk menenangkan Arka karena semalam dia sempat menangis terbangun lagi," jelas Barra seolah bisa menebak pikiran Kara."Menangis lagi? Tapi aku tetap tertidur?" tanya Kara sedikit tak begitu percaya.Sebenarnya bukan bermaksud menuduh Barra berbohong, akan tetapi hanya saja Kara merasa tak menyangka jika dirinya bisa tidak menyadari tangisan Arka. Biasanya, Kara selalu terbangun tepat setelah mendengar suara atau pun tangisan a
"Pfffttt!"Tawa karyawan yang ada di dalam ruangan pemotretan itu pun hampir pecah, berkat ucapan Arka yang sangat melengking dan cukup menohok Clarissa tersebut.Tanpa mau menanggung banyak malu lagi, Clarissa segera menghentakkan sepatu heels tingginya dengan kencang. Wanita itu langsung berjalan keluar, sambil bersumpah serapah di dalam hati."Hufftt! Awas ya kau anak kecil! Bisa-bisa kau membuatku malu seperti ini di hadapan Barra dan para karyawan yang lain!" geram Clarissa kian mempercepat langkah.Seperti biasa, Clarissa memang senang memakai baju yang cukup minim. Akan tetapi, tentu bukan karena kekurangan bahan alasannya. Gaya, itulah salah satu alasan terkuatnya. Ia selalu update dengan berbagai gaya terkini, terutama para seleb luar negeri yang selalu bebas berekspresi melalui pakaiannya."Thanks, Arka!" Barra mengecup senang rambut ikal anak kecil itu. Sementara Arka, anak kecil itu tak langsung menyahut. Bibirnya masih maju ke depan dengan ekor mata yang masih membututi
"Iya, Mom! Iya, dia saja yang menggangu lebih dulu. Sudah Mommy tenang saja, semuanya berjalan lancar kok!"Barra langsung mematikan teleponnya, setelah salah satu telinganya terus mendengar ocehan sang ibu yang menyampaikan kembali segala keluh kesah Clarissa. Ia tentu tak mau menanggapi lama, karena hampir semua yang disampaikan oleh Clarissa pada ibunya tentang Arka terlalu berlebihan.Untung saja Avaline masih mempercayai segala kata-kata Barra, sehingga wanita yang sering kali masuk ke dalam berita inspiratif itu bisa sedikit tenang dan tak terlalu menggebu-gebu. Selain itu Barra juga bisa membuktikan segala ucapannya dengan cara mengirimkan beberapa foto dan video Arka yang nampak sangat profesional di hari pemotretan pertamanya."Om Baik! Ada apa?" Arka bertanya sambil mendongak sempurna ke atas, dan satu tangan mungilnya yang memegangi celana panjang Barra."Tidak ada apa-apa, Sayang. Hanya ada sedikit kendala. Kita lanjut masuk ke dalam s