"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Ughh!"Suara lenguhan itu seketika membuat seorang gadis cantik terbangun dari tidurnya. Dengan kepala yang terasa pening, Kara berupaya bangkit. Ia mengerjap beberapa saat melihat sekitar yang terasa asing, hingga sedetik kemudian kedua netranya membulat sempurna ketika merasakan sebuah tangan kekar yang memeluk pinggangnya dengan begitu posesif.Deghh!"Astaga! Apa yang telah terjadi? Siapa dia? Kenapa dia bisa tertidur di sini bersamaku? Apa yang sudah .... "Drrrtt!"Bapak?" gumam gadis tersebut semakin tak berdaya.Belum selesai dengan keterkejutannya, tiba-tiba saja Kara dikejutkan dengan hal lain. Sang ayah menelepon, sehingga dirinya semakin bingung hendak melakukan apa.Sesak sudah napas Kara saat ini, dirinya tak sanggup membayangkan bagaimana ekspresi ayahnya nanti ketika mengetahui dirinya yang sedang berada di pelukan lelaki asing dengan pakaian yang entah tercecer ke mana."Maafkan Kara, Pak! Maaf, karena Kara sudah mengecewakan Bapak!" lirihnya pelan hampir tak bersuar
"Tidak! Ini tidak mungkin!"Kara Isabelle, gadis berwajah cantik itu tengah membeku menatap dua garis merah yang terpampang jelas di hadapannya.Seharusnya hari ini Kara berada di kampus. Melaksanakan tugas barunya sebagai asisten dosen, dan menyelesaikan beberapa mata kuliahnya dengan baik agar status beasiswa penuhnya bisa segera disetujui. Namun sayang pada kenyataannya, ia malah terjebak di dalam kamar mandinya sendiri dengan sebuah hasil testpack yang amat mengejutkan."Ya Tuhan, harus apa aku sekarang?" lirihnya frustasi sambil memijat pelipis.Tak pernah Kara sangka, malam panas yang sudah mati-matian ia lupakan sebulan yang lalu malah membuahkan hasil. Sungguh, Kara belum siap menghadapi kenyataan ini. Ia menganggap semuanya telah usai, selepas dirinya berhasil kabur dari jeratan Barra. Bahkan dirinya tak pernah berusaha mencari tahu identitas jelas lelaki yang telah merenggut kesuciannya itu, karena menurutnya malam tersebut hanyalah malam pertama dan juga terakhir dirinya b
"Bunda! Ayo, Bunda! Bangun!"Seutas senyum sumringah seketika tercipta di wajah cantik Kara, berkat sosok mungil yang telah membangunkannya pagi ini. Tak sabar ia segera memeluk dan membubuhi beberapa kecupan singkat pada sosok kecil yang amat menggemaskan itu, hingga membuat sosok berambut ikal tersebut bergerak memundurkan diri dan memanyunkan bibirnya dengan lucu."Bunda belum mandi! Bunda enggak boleh cium cium Arka!" protes anak kecil itu dengan pipi tembamnya yang semakin menggembung."Kalau bunda belum mandi, memangnya Arka sudah mandi?""Ya belum dong, Bunda! Arka 'kan mandinya nanti, tunggu dimandiin sama Bunda. Kata Bunda, Arka masih kecil. Nanti kalau Arka mandi sendiri, airnya berubah jadi sabun!"Kara kembali tertawa gemas melihat tingkah malaikat kecil yang sempat tak diharapkannya. Tak pernah ia sangka sosok yang sempat tiga tahun lalu dibencinya, kini malah memberikannya sebuah kebahagiaan sederhana yang sanggup membuatnya bertahan sampai saat ini. "Bunda! Ih, kok Bun
"No, Mom! Sudah aku bilang! Aku belum siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun! Aku tidak mau! Jadi tolong jangan paksa aku lagi!"Bughhh!Benda pipih seharga puluhan juta itu melayang dan terpantul begitu saja pada sebuah kursi tanpa arti setelahnya. Sang pemilik ponsel nampak abai. Ia tak peduli, dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya."Akhh! Sial! Kenapa Mama mulai memaksaku lagi?!" ujar pria itu tak tahan, seraya memukul kembali setir mobilnya.Percakapan singkatnya dengan sang ibu, memang cukup ampuh mempengaruhi konsentrasinya pagi ini. Dirinya yang sedari tadi bersusah-payah untuk fokus agar bisa segera sampai ke kantor, kini malah jadi memikirkan hal lain yang jauh lebih menyebalkan menurutnya.Sungguh demi apa pun, ia benci disuruh cepat-cepat menikah. Meski umurnya sudah sangat matang, akan tetapi sampai saat ini dirinya belum sanggup berkomitmen serius lebih jauh lagi. Masih ada banyak hal yang dipikirkannya. Selain dari pekerjaan, masih ada satu masalah pr
"Yah, Bunda. Kenapa enggak di sini aja? Arka 'kan juga mau ikut ngobrol sama Bunda dan Om Baik!"Sosok mungil itu merenggut tak setuju. Namun siapa sangka, Kara yang biasa menjadi orang pertama menenangka Arka malah kalah cepat dengan sosok pria yang ada di hadapannya. Barra lebih dulu memberikan pengertian pada anak lelakinya itu, hingga membuatnya berubah pikiran."Tapi abis ini Om harus temenin Arka ya? Om 'kan tadi udah janji, mau main bareng sama Arka!""Iya! Om janji!" balas Barra tersenyum, seraya mengusap sekilas rambut ikal kecoklatan Arka.Tanpa mereka berdua sadari, Kara semakin meremas kuat ujung floral dress-nya. Ia mencoba menahan segala letupan yang tengah meluap di hati. Tak menyangka dengan rasa sesak seperti ini, ketika berhadapan langsung dengan seseorang yang sudah menghancurkan dirinya dan mati-matian dilupakannya.Baru saja ia berdoa untuk jangan pernah renggut Arka dari sisinya, akan tetapi kenapa sekarang sosok ter
"Sebaliknya kau jangan salah sangka, Barra! Aku memang pertama kali melakukannya denganmu, tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah melakukannya dengan berbagai pria lain di luar sana setelahnya!"Salah satu alis tebal Barra terangkat, sedikit terkejut dengan ucapan yang cukup frontal dari wanita yang kini tengah menatapnya dengan berani."Jangan pernah tertipu dengan penampilanku, Barra! Aku tidak sebaik yang kau pikirkan!" lanjut Kara menambah dengan penuh penekanan.Kara memang berusaha mengerahkan segala alasan yang terlintas di dalam benaknya saat ini. Di dalam hati, ia berharap agar Barra segera percaya dan menjauh dari kehidupannya bersama Arka."Oke, kalau begitu siapa ayah kandung anakmu yang sebenarnya? Coba kau bawa orang itu tepat ke hadapanku, agar aku bisa segera mempercayai semua kata-katamu!""Tidak bisa! Dia sudah lama aku anggap mati!" jawab Kara cepat seraya menatap lekat dia manik mata coklat di hadapannya.Mendengar jawaban itu, Barra jadi tersenyum. Meski tatapa