Tepat seminggu selepas dari acara grand opening Pastel Dreams Cafe. Suasana gelap mulai menyelimuti kafe yang nyaman. Malam telah datang.
Nagita mendesah pelan, ketegangan terus menyertai seiring waktu berjalan. Bayangan makan malam bersama Daniel membuat Nagita merenung lama. Bagaimana jika Jordan mengetahui ini? Nagita tidak ingin menciptakan kesalahpahaman. Laura jadi semakin merasa bersalah saat melihat ekspresi Nagita. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menyulitkan, sungguh. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Laura tidak enak hati. Laura berharap Nagita masih mau memaafkan dirinya, meskipun ia merasa ada yang mengganjal. Pria bernama Daniel itu sengaja menyodorkan kakinya hingga Laura tersandung dan kehilangan keseimbangan. Namun, Laura tidak punya keberanian untuk meluruskan. Orang kaya seperti Daniel punya kuasa untuk membalikkan fakta. Nagita menjawab dingin, "Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah, Laura. Kita hanya kurang beruntung bertemu pria seperti itu." "Tapi, Nona ...." Nagita dengan cepat menepuk pundak Laura, menyemangati. "Tidak ada kewajiban yang membuatmu harus memikirkan nasib seseorang," potongnya seakan sudah tahu apa yang Laura pikirkan. Nagita lalu mengambil secangkir kopi hangat di meja, menyesapnya dengan khidmat. "Pria itu bagian dari masa laluku," Nagita mulai bercerita. "Saat aku sengaja meninggalkannya, ia pernah berkata akan kembali setelah menyelesaikan segala urusannya." "Dan dia benar-benar kembali ...," sahut Laura merinding. "Apa ia akan balas dendam pada Nona?" Nagita berpikir sejenak. "Entahlah," jawab Nagita yang tak ingin berpikir terlalu keras. "Ah, kenapa aku jadi memikirkan pria itu? Jordan jauh lebih baik, tentu saja." "Tapi Nona, kenapa Tuan Jordan sore tadi tidak bisa menemani fitting baju pengantin? Di acara penting seperti grand opening saja, Tuan Jordan bahkan terlambat. Setelah itu, ia pergi begitu saja tanpa memberitahu Nona." Nagita mendengus. Fakta yang diungkapkan Laura seakan menikam jantung Nagita. "Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud ...." Laura merutuk dalam hati karena berbicara ceplas-ceplos seperti itu di depan Nagita. "Aku mengerti kesibukannya dan itu tidak masalah," sahut Nagita menghibur diri. Ia mencoba mengingat kembali kenangan indah bersama Jordan untuk menenangkannya. Bel kemudian berdenting, menandakan seorang pengunjung tiba. Daniel memasuki kafe dan segera mencari keberadaan Nagita di antara kerumunan orang. Saat mata keduanya bersatu, dunia seakan berhenti. Suara musik klasik seolah meredup, yang ada hanyalah suara detak jantung yang berdebar kuat, berdentum. Daniel dan Nagita terperangkap dalam momen. Tatapan itu .... Nagita merasa ada kerinduan di balik mata Daniel yang tajam. Nagita berdeham, lantas dengan cepat menguasai diri dan menyerahkan kunci kepada Laura. "Kunci kafe kalau sudah waktunya tutup." "Baik. Hati-hati, Nona," sahut Laura sembari tipis-tipis melirik Daniel penuh waspada. Sebenarnya apa yang direncanakan pria matang seperti Daniel? Ia tidak mengerti jalan pikiran orang kaya. Mereka selalu bersikap semena-mena. "Apa kau pikir aku akan melakukan sesuatu yang buruk pada bosmu?" tanya Daniel risih melihat tatapan ragu Laura seolah ia adalah penjahat. "Tidak usah ikut campur dan jaga batasanmu." Laura menunduk sembari menelan ludah. "Tidak perlu khawatir, Laura," jawab Nagita cepat. "Aku bisa mengatasi ini." Suara Nagita begitu tegas saat mengatakan itu. Ia tidak mengenal takut. "Aku pulang lebih cepat. Pria ini mengambil waktuku. Bukankah begitu, Tuan?" "Panggil aku Daniel." Nagita memutar mata. "Terserah." Perempuan itu segera berlalu, melangkah lebih dulu menuju pintu keluar. "Ayo, aku tidak sabar menghabiskan isi dompetmu," ujar Nagita sembari terus melangkah. "Bawa aku ke restoran paling mahal di kota ini." *** Namun, tujuan pertama yang mereka kunjungi bukanlah restoran, melainkan apartemen Jordan. Nagita memohon pada Daniel agar membiarkannya menemui Jordan terlebih dahulu. Nagita cukup terkejut karena Daniel berbaik hati mengabulkan permintaannya. Mau bagaimanapun juga, Nagita perlu menemui Jordan secara langsung untuk membicarakan ini. Nagita tidak ingin Jordan salah paham dan menganggap dirinya seorang pengkhianat. "Aku ikut masuk," sahut Daniel saat mereka baru saja tiba di apartemen. "Tidak perlu," tolak Nagita, menggeleng tegas. Membiarkan Daniel ikut menemui Jordan bukanlah pilihan yang bijak. Terlebih keduanya sempat berseteru dua tahun lalu. "Aku sendiri bisa mengatasi ini," tambah Nagita bergegas melepas seatbelt. Ia membuka pintu mobil, keluar dengan tergesa untuk menghindari perdebatan. Nagita melangkah cepat. Tak ingin Daniel nanti menunggunya lama di dalam mobil. Apartemen Jordan berada di lantai delapan belas. Segera Nagita menuju lift yang membawanya bergerak ke lantai atas. Maka di sinilah Nagita sekarang. Ia memencet deretan angka pada panel tombol pintu apartemen, menekan password yang sudah lama Jordan beritahu dan Nagita hapalkan. Gadis itu mengernyit saat pintu terbuka dan ruangan dengan cahaya remang-remang langsung menyambutnya. Hanya ada sinar lampu yang sepertinya berasal dari kamar Jordan. "Jordan?" panggil Nagita. "Kamu udah tidur?" Nagita masuk sambil meraba, mencari-cari saklar lampu di ruangan tempat ia berpijak. Cahaya lampu seketika menerangi penglihatan Nagita ketika ia berhasil menemukannya, mengungkap dengan pasti keadaan apartemen itu. Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat ruangan dibiarkan berantakan begitu saja, seolah penghuninya tak punya waktu untuk membereskan, atau barangkali sang penghuni tengah sibuk pada sesuatu hal yang lebih diprioritaskan. Mata Nagita lantas tertuju pada sofa di sudut ruangan. "Tas siapa?" gumam Nagita ketika melihat sebuah tas perempuan tergeletak di sana. Langkah kaki Nagita terus menyusuri lorong, melanjutkan pencariannya, menciptakan ketegangan yang semakin terasa di udara. Detak jantung Nagita berdegup cepat seiring langkahnya menuju kamar Jordan. Sebuah sensasi tidak nyaman merambat di sepanjang tubuhnya, mencari jawaban dengan perasaan gelisah. Tiba di depan kamar pria itu, Nagita berujar dengan gemetar. "Jordan, kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah desahan samar yang terdengar dari balik pintu. “Ah … Jordan ….” Nagita mematung. Selama beberapa detik, ia terdiam dengan tubuh yang terasa kebas. Susah payah ia menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Sejak melihat tas di ruang tamu tadi, perasaannya sudah tidak karuan. Nagita sudah berusaha mengusir kemungkinan buruk itu dari kepalanya. Akan tetapi, suara desahan demi desahan yang saling bersahutan di dalam sana meluluhlantakkan pertahanannya. Tangan Nagita gemetar saat terulur untuk membuka pintu kamar tersebut. … Tidak terkunci. Pemandangan menjijikan yang menyambutnya membuat Nagita merasa sesak sekaligus mual. “Jordan!”Nagita diam-diam melangkah menuju apartemen Jordan. Ini sudah larut malam, lorong apartemen sudah lenggang, menjadi kesempatan untuk Nagita lebih leluasa masuk dengan tenang. Jordan yang masih terkapar di rumah sakit adalah suatu kesempatan emas untuk Nagita. Ia bisa lebih leluasa mengobrak-abrik ruangan Jordan sampai ponselnya ditemukan. Setelah memencet tombol angka password apartemen Jordan, pintu lantas terbuka. Nagita melesat masuk, lalu menutup pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Nagita nekat kembali menyelinap masuk, mengingat ia belum sepenuhnya menyusuri ruangan Jordan. Nagita belum puas sampai ponselnya berada tepat di tangannya. Sekarang ia harus fokus menemukan benda pipih itu hingga ketemu. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia bergerak menuju ruang tengah. Ia menyapu ke seluruh ruangan, mencoba berpikir keras. Di mana pria itu menyembunyikan ponselnya? Apa berada di laci meja kerja? Nagita mengingat-ingat, ia pernah memeriksa sekilas saat itu. Dan seingatn
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk