Malam itu Roro dan Jaka terus berbincang tentang semua yang terjadi selama mereka tinggal terpisah. Roro percaya saja saat Jaka mengatakan jika dia sudah tidak ada hubungan lagi dengan Irawan, saudara sepupunya yang mereka yakini adalah orang dibalik semua ini.Jaka memang sengaja berbohong demi ketenangan istrinya yang sedang mempersiapkan persalinannya."Hey, kamu sudah di sini?" tanya mertua laki-laki Jaka dengan sinis. "Kamu masih berani datang rupanya?"Jaka mengertukan keningnya lalu berdiri sambil menatap pria tua yang wajahnya terlihat begitu lelah."Pak, maaf baru ketemu. Jaka...""Nggak usah minta maaf," potong Bapak begitu ketus. "Kamu berani datang aja Bapak udah senang."Meski mengatakan kata 'senang' tapi sungguh wajah itu tidak menampakkan kesenangan. Lebih ke wajah kesel dan itu tidak bisa dibohongi. "Kamu mau apa kemari?" tanya Bapak melirik ke arah menantunya yang belum sempat membaringkan tubuhnya setelah perjalanan yang panjang."Mau ketemu Roro, Pak. Lama tidak j
Psst!Danu menatap tajam ke arah Jaka yang berkata terlalu lantang menurutnya. Dia lalu menarik tangan supir muda itu dan tentu Jaka jadi semakin bingung saja. "Gimana maksudnya, Pak?" tanya Jaka namun kali ini dengan nada yang lebih rendah."Iya, ada polisi kena tembak. Tapi kita belum tau gimana ceritanya. Pokoknya kamu antar saja petinya secepatnya ke rumah sakit, nanti kita baru bicarakan lagi kemungkinan yang terjadi."Jaka mengangguk cepat lalu menoleh ke arah Bowo yang menunggu aba-aba selanjutnya. "Kita pergi sekarang," perintah Jaka dan kernet itu segera bersiap.Mereka berdua yang sudah dapat surat jalan dan upah kerja segera menuju mobil pick up dimana sebuah peti sudah siap diantarkan.Peti itu warnanya coklat dan jelas di mata Jaka warnanya masih bersih, seperti peti yang baru selesai finishing.Mereka lalu duduk masing-masing, Jaka memegang kemudi dan Bowo bersandar di kursi samping. Mata keduanya masih memperhatikan jalan saat akhirnya tiba di jalan utama Malang-Suraba
"Aa--aapa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Jaka dengan bibir bergetar kuat."Aku tidak tau, Mas. Yang aku tau, kalau kita sampai masuk ke gerbang ini maka kita tidak akan kembali," jawab Bowo dengan tatapan kosong."Tidak, pasti ada cara untuk keluar dari sini. Tidak mungkin aku diam saja. Anakku mau lahir dan aku tidak boleh menyerah begitu saja, Bowo!""Terus kamu mau apa? Kita sudah masuk ke sini karena ulahmu, Mas. Kamu yang salah! Jangan malah marah kalau kamu jelas-jelas salah. Mikir, Mas!"Jaka terdiam sesaat lalu melihat sekeliling yang masih saja gelap bahkan semakin gelap saja. Dia semakin tidak tau apa yang harus dia lakukan sekarang hingga dia ingat apa kata Roro saat dia sedang dalam keadaan terjepit seperti saat ini. "Berdoa," desis Jaka lalu mulai membaca doa-doa pendek sebisanya hingga hatinya yang tadinya begitu galau perlahan bisa kembali tenang."Apa yang kamu lakukan?" tanya Bowo yang saat itu melihat tubuh Jaka mulai bersinar."Jangan ganggu," pinta Jaka t
"Hey, Pak Tua, siapa kamu?" teriak sosok yang keluar dari peti yang tertutup rapat itu kepada Gunawan yang masih menyapu jalan."Kamu yang siapa? Kenapa kamu ganggu putraku?" teriak Gunawan begitu menakutkan."Hah! Anakmu? Siapa yang kamu aku sebagai anak? Dia!" tunjuk sosok itu lalu tersenyum miring ke arah Jaka. "Penakut seperti dia tidak pantas kamu aku sebagai anak!""Kamu!" Gunawan mendekati sosok itu lalu menunjuk tepat di antara dua alis pria yang begitu lancang menghina Jaka. "Kamu mau cari masalah, ya?"Hahahaha!Tawa mengelegar terdengar dari sosok bertubuh pendek berwajah ketus itu menertawakan Gunawan yang dia anggap salah mendidik putranya. "Dia itu penakut! Mana pantas kamu anggap dia putramu, Pak!""Hey!" Wajah Jaka memerah dan dia tidak sanggup lagi menahan amarahnya. "Kamu bilang aku siapa?"Sosok itu melirik ke arah mobil butut yang digunakan Jaka sebagai pengantar peti mati lalu menyeringai. "Kamu cuma supir miskin yang tidak pantas aku takuti. Kamu tidak pantas dia
"Apa kita harus kembali ke sana?" tanya Jaka ragu."Tidak! Kita pulang saja, Mas."Jaka menarik tangan Bowo kuat hingga pria bertubuh mungil itu terdorong kebelakang. "Kenapa?" tanya Jaka marah.Karena Bowo paham apa yang membuat temannya ini marah, dia hanya tersenyum tipis agar Jaka tidak semakin kesal. "Mas, tidak semudah itu masuk ke sana. Kita butuh mereka membuka pintunya dulu," jelas Bowo dnegan tutur yang lembut.Jaka yang mendengar penjelasan dari Bowo kemudian menggangguk pelan tanda setuju dengan apa yang dikatakan Bowo. "Jadi kita pulang saja?"Bowo mengangguk kuat. "Ya, nanti saat pintu itu terbuka, kita akan kembali masuk dan menyusul ayahmu,"Keduanya kemudian melangkah menuju mobil meninggalkan rumah sakit tempat mereka mengirimkan peti mati. Mata Jaka masih lesu membuat Bowo memintanya duduk di samping kemudi saja ketimbang terjadi hal buruk pada keduanya.Jaka tidak menolak, dia memang sudah kehilangan semua semangatnya begitu tau kesalahan besar ini dia lakukan. M
"Baik," Jaka tiba-tiba mendapatkan keberaniannya dan melakukan apa yang diperintahkan Dumadi.Dia menembus dinding dan sedetik kemudian mulai mengenali tempatnya berada. Matanya menyapu sekeliling mencari sang ayah dan benar saja sosok yang dia cari sedang duduk seperti menunggu kedatangannya kembali."Ayah!" Jaka berlari cepat lalu menarik tangan pria tua yang matanya bercahaya melihatnya. "Ayo, kita pergi.""Alhamdulillah," Kaki Gunawan langsung menapat ke tanah lalu melangkah cepat mengikuti Jaka yang sudah tidak sabar untuk pergi."Cepat!" Teriakan Dumadi menggema dan mata Jaka menatap tajam ke arah dia harus keluar."Ayah, ayo!" pinta Jaka yang melihat langkah pria tua itu tidak bisa lebih cepat. Saat Jaka melirik ke arah ayahnya yang berjalan semakin lambat di belakangnya, Dumadi mulai cemas. Tenaganya sudah banyak berkurang untuk menahan terbukanya pintu astral di depannya. "Jaka, cepat!" pintanya tapi Jaka malah memutar tubuhnya ke arah Gunawan. "Aku tidak sanggup, Jaka. Kak
"Terima kasih, Mas. Kalau nggak ada Mas, aku pasti masih ada di dunia hitam itu," ucap Gunawan pada Dumadi temannya yang akhirnya dia temui setelah sekian lama."Eh, kenapa harus minta maaf kepadaku?" tanya Dumadi lalu terkekeh.Pertemuan itu akhirnya jadi pertemuan yang manis karena Gunawan memang sudah lama tidak melihat sosok teman yang selalu saja membantunya selama hidup.Gunawan juga berterima kasih pada dukun yang dia tau masih berhubungan dengan Irawan, yang masih menjadi misteri andilnya di kehidupan baru mereka ini."Kamu pasti lelah, kenapa tidak tidur dulu," potong Dumadi lalu melirik ke arah Jaka yang nampak bingung di tengah percakapan ayah dan temannya ini."Tidur?" Jaka menghela nafas panjang sebelum akhrinya bangkit dari tempat duduknya. "Ya, aku akan tidur. Sebentar saja.""Lama juga nggak papa," imbuh Gunawan yang memang ingin bertanya banyak pada teman dukunnya itu."Oh," Jaka lalu melangkah menuju kamar dan mulai membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur nyaman y
"Baik, kalau begitu aku akan segera pergi ke pabrik,"Dumadi tersenyum mendengar perkataan Jaka yang begitu bersemangat setelah dia menuturkan apa yang akan terjadi hari ini.Dia bisa tau semuanya, karena pria tua ini memiliki kemampuan meramal hingga tidak sulit baginya membaca apa yang akan dihadapi Jaka sejam yang akan datang.Setelah bersiap, Jaka bergegas pergi ke pabrik bersama Dumadi dengan berjalan kaki. Setiba di pabrik, dua orang pria berbaju polisi nampak berdiri di gerbang pabrik kemudian mencegat Jaka yang datang dengan mengendarai sepedah motornya."Selamat pagi," Pria berbaju polisi itu kemudian memasang posisi hormat ke arah Jaka membuat kening pemuda ini berkerut."Pagi, ada apa ya, Pak?" tanya Jaka lalu menghentikan motornya."Kami dari kepolisian. Semalam ada pencurian di pabrik sehingga pabrik di tutup untuk sementara selama proses penyelidikan," jelas polisi tadi dengan wajah yang begitu serius."Astaga," gumam Dumadi yang berdiri di samping Jaka. "Setahuku tempat