Di sebuah desa di Jawa Tengah, tersembunyi sebuah curug (air terjun) kembar yang indah, menjadi surga wisata bagi warga sekitar. Airnya jernih, kolamnya dalam dan tenang, dikelilingi oleh perkebunan karet dan hutan kecil yang lebat. Setiap hari Minggu dan hari libur, tempat ini selalu ramai. Anak-anak berenang, keluarga piknik, remaja nongkrong sambil selfie. Namun di balik keindahan itu, Curug Kembar menyimpan misteri tua: sebuah pohon karet yang mengeluarkan darah jika disadap, dan pohon dadap besar yang diyakini menjadi tempat bersemayam pusaka gaib: besi kuning. Warga percaya, pusaka itu adalah penjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib di sekitar Curug Kembar. Tapi ketenangan itu hancur saat seseorang, demi pesugihan, nekat mengambil besi kuning dari akar pohon dadap. Setelah pusaka itu diambil, kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi: orang kerasukan, penampakan sosok wajah merah, suara gamelan saat hujan turun, bahkan ada yang menghilang setelah masuk hutan. Puncaknya, saat hujan deras turun selama berhari-hari, tanah di atas curug longsor, menimbun kolam di bawahnya dan menyapu habis tempat rekreasi tersebut. Kini, Curug Kembar ditinggalkan. Tak ada lagi yang berani datang. Warga percaya gerbang dunia lain telah terbuka. Dan sesuatu... telah lepas dari dalamnya.
View MoreCurug Kembar. Dua aliran air terjun berdampingan yang jatuh ke satu kolam besar di tengah hutan kecil, seolah surga tersembunyi di Desa Kemuning, Jawa Tengah. Di balik hijaunya pepohonan dan gemuruh air yang menenangkan, ada desas-desus yang membuat bulu kuduk berdiri. Tentang tempat itu sebagai pintu—gerbang menuju dunia lain.
Setiap hari Minggu dan libur, curug ini ramai. Anak-anak tertawa, keluarga gelar tikar, dan muda-mudi berfoto di atas batu-batu besar di pinggiran kolam. Tapi warga setempat tahu, tempat ini tak bisa sembarangan diperlakukan. Arga, pria dua puluhan yang baru saja pulang ke desa setelah lama merantau, awalnya tak menghiraukan cerita-cerita mistis itu. Ia hanya ingin tenang, menjauh dari tekanan pekerjaan dan patah hati. Tapi sejak pagi pertama ia menginjakkan kaki di Curug Kembar, firasat buruk menempel seperti kabut yang enggan hilang. “Jangan terlalu lama di sana sendirian,” pesan Pak Darto, paman sekaligus orang tua satu-satunya yang masih ia punya. “Curug itu... bukan cuma tempat wisata.” Arga menatap Pak Darto heran. “Maksudnya, Paklik?” “Pohon-pohon karet di sana itu bukan pohon biasa. Pernah ada yang nekat nyadap, getahnya keluar merah. Darah. Bukan cuma itu... ada yang lihat sosok berwajah merah jalan di pinggir kolam. Dan yang paling angker... pohon dadap.” Arga terdiam. Ia memang sempat melihat pohon besar menjulang tak jauh dari curug, tampak menonjol di antara batang karet. “Kenapa pohon dadap?” “Di bawahnya, ada yang bilang tertanam pusaka-pusaka tua. Tapi nggak ada yang berani gali. Katanya, tempat itu dijaga. Kalau ada yang coba-coba... bisa hilang tanpa jejak.” Cerita itu terasa seperti dongeng, tapi tak bisa dipungkiri, malam-malam di desa ini terasa berbeda. Udara lebih dingin, suara lebih sunyi, dan Curug Kembar selalu mengeluarkan suara gemuruh aneh tiap lewat tengah malam. Seolah ada sesuatu yang bergerak di balik airnya. Dan malam itu, Arga mendengar suara samar. Seperti suara seseorang memanggil namanya dari arah curug. Pelan. Memanjang. “Argaaa…” Ia menoleh spontan ke arah jendela. Gelap. Tapi seolah ada bayangan berdiri di kejauhan. Diam. Menatap. Keesokan paginya, Arga menyusuri jalur setapak menuju Curug Kembar. Biasanya hari Minggu tempat itu ramai oleh keluarga dan muda-mudi yang piknik, tapi pagi itu terasa sepi. Bukan karena cuaca—matahari terang, langit biru bersih—tapi suasananya ganjil. Terlalu hening. Tak ada satu pun pengunjung. Bahkan warung-warung di dekat gerbang masuk pun tutup. Arga berjalan sendiri, langkahnya bergema di jalan berbatu. Saat ia melewati papan kayu bertuliskan “Curug Kembar – 300 meter”, hawa di sekitarnya berubah. Udara terasa dingin padahal matahari sedang terik. Ia menengok ke sekitar. Pohon-pohon karet berdiri rapat dan sunyi, batangnya tinggi, lurus, dan seperti sedang memperhatikan. Jalanan mulai menurun, menuju kolam besar tempat air dari dua curug jatuh bersamaan. Tapi Arga berhenti di tengah jalan. Di depannya, pohon karet tua berdiri mencolok. Ada bekas sadapan lama di batangnya. Arga mendekat dan mengernyit. Dari celah luka itu, bukan getah putih yang menetes… tapi cairan kental kemerahan. Warna darah. Dia mundur perlahan. Nafasnya memburu. Tak jauh dari situ, berdiri pohon dadap raksasa. Di sanalah, kata warga, tempat yang paling keramat. Tak ada yang berani mendekat sendirian, apalagi saat matahari belum tinggi. Warga desa sudah lama memberi peringatan: Jangan sekali-kali ke Curug Kembar sendirian. Bukan hanya karena rawan licin… tapi karena tempat itu dijaga. “Kalau bukan hari libur atau rame-rame, jangan nekat,” begitu kata Pak Darto malam sebelumnya. Dan sekarang, Arga merasakannya sendiri. Tak ada tawa, tak ada langkah, hanya suara air jatuh yang menggema seperti mantra panjang dari dunia lain. Di balik keindahan curug itu, tersembunyi sesuatu yang tak terlihat… tapi bisa terasa. Mengintai. Arga akhirnya tiba di tepi kolam. Air dari dua curug jatuh bersamaan, menciptakan riak luas di kolam bundar berwarna kehijauan. Indah, memang indah—tapi sunyi yang melingkupinya membuat tempat itu lebih terasa seperti altar, bukan objek wisata. Ia melangkah mendekat, duduk di batu besar dekat kolam. Dari sini ia bisa melihat jelas kedua air terjun yang jatuh dari tebing setinggi hampir dua puluh meter. Di antara kedua aliran air itu, tumbuh hutan kecil. Tak lebat, tapi gelap, dan penuh suara aneh—gemerisik tanpa angin, dan kadang seperti bisikan lirih entah dari mana. Di tengah menikmati pemandangan, Arga melihat sesuatu bergerak di bawah air. Cepat. Seperti bayangan. Ia sempat berdiri, menajamkan mata, tapi tak ada apa-apa selain pantulan awan dan pepohonan. Tiba-tiba dari arah kanan, terdengar suara patahan ranting. Arga menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi saat itu pula, bulu kuduknya berdiri. Aroma anyir tercium samar, seperti darah segar. Ia buru-buru meraih ransel dan memutuskan untuk kembali. Entah kenapa, nalurinya berteriak agar ia tidak menunggu lebih lama. Saat berbalik, langkahnya terhenti. Di sisi jalan, antara pepohonan karet, berdiri sesosok perempuan. Diam. Jaraknya cukup jauh, wajahnya tak terlihat jelas. Tapi rambutnya panjang menjuntai, dan gaunnya putih kusam seperti usang digerus tanah. “Bu…?” Arga memanggil, suara gemetar. Sosok itu tak menjawab. Tapi perlahan, melangkah mundur… dan menghilang ke dalam pepohonan, seperti ditelan kabut. Arga langsung lari, napas terengah, tak menoleh lagi hingga sampai ke motor. Dan saat mesin motor menyala, ia tak sadar… di ujung belakang jaketnya, menempel sehelai rambut panjang basah, seperti baru saja keluar dari kolam. ---Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Kabut tipis menggantung di atas jalanan berbatu yang menuju bukit, membuat pandangan Arga dan Ningsih terbatas hanya beberapa meter ke depan. Mereka berjalan beriringan, Arga membawa sebuah tas kain yang berisi besi kuning, sedangkan Ningsih sesekali menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengikuti. > Ningsih: “Ga, rasanya kayak ada yang ngikutin…” Arga: “Aku juga ngerasain. Jangan berhenti jalan, Nis. Kita harus cepat sampai ke gubuk Dimas.” Suara hutan pagi itu aneh—tak ada kicau burung, hanya suara langkah kaki mereka yang menginjak dedaunan basah. Beberapa kali, Arga merasa tanah di bawahnya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan. Di tikungan terakhir sebelum bukit, angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa aroma anyir yang membuat mereka spontan berhenti. Dari balik kabut, samar-samar terlihat bayangan sosok tinggi berdiri diam di tengah jalan. Bayangan itu tidak bergerak, tapi Arga mera
Sejak malam itu, Arga tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat siluet pintu yang sama—dua pohon dadap yang berdiri tegak, dan di antaranya sebuah celah gelap yang tampak berdenyut, seperti napas makhluk hidup. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dimas. Gubuk itu berdiri di bukit hutan karet, di bawah dua pohon beringin kembar yang seakan menjadi gerbang dunia sendiri. Dimas sudah menunggunya di serambi, seperti tahu Arga akan datang. > Arga: “Mas… makhluk itu bilang pintu berikutnya sudah menunggu. Maksudnya apa? Jalur keenam?” Dimas: “Semua jalur saling terhubung. Menutup satu bukan berarti akhir. Jalur keenam berbeda—lebih tua, lebih berbahaya. Kau tak bisa menutupnya dengan keris lagi.” Arga: “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Dimas: “Cari sumbernya. Jalur keenam punya penjaga, dan penjaga itu tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.” Arga mengernyit. > Arga: “Siapa penjaganya?” Dimas tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan, waja
Arga masih duduk di bale-bale rumahnya, pikiran berkecamuk memikirkan pertemuan tadi sore dengan penjaga Gong. Sosok tua itu berbicara pelan namun penuh tekanan, setiap kata seolah membawa bobot bertahun-tahun pengetahuan tentang batas dunia.> “Yang kamu lihat malam itu bukanlah makhluk biasa. Itu sisa dari apa yang sudah kamu lewati di Jalur Kelima. Gong ini… hanya bisa menjaga desa kalau pintunya tidak terbuka terlalu lama,” kata penjaga itu sambil menatap gong kuningan besar di balai desa.“Sekarang, ada yang sudah terlanjur keluar. Dan itu terikat padamu, Arga.”Arga hanya mengangguk, merasa darahnya berdesir.> “Kalau itu terikat padaku, berarti aku juga yang harus menahannya.”> “Benar. Tapi jangan berpikir kamu bisa melakukannya sendiri. Makhluk itu punya satu tujuan: mencari pintu baru. Kalau dia berhasil… semua yang kita kenal bisa hilang.”Malam itu, Arga pulang dengan kepala penuh beban. Di rumah, Ningsih sudah menunggu, wajahnya pucat.> “Mas… aku ngerasa ada yang aneh di
Pagi itu, suasana desa masih terasa berat. Arga duduk di beranda rumah neneknya, memandangi jalan setapak yang masih basah oleh embun. Semalam, tangan hitam itu hampir menerobos keluar dari jalur kelima, dan satu-satunya hal yang menghentikannya hanyalah dentang gong misterius.Ningsih muncul membawa dua cangkir teh hangat.> “kamu nggak tidur sama sekali ya, mas?”Arga menggeleng pelan.> “aku nggak bisa. Suara gong itu masih kedengeran di kepala ku. aku yakin, ada seseorang—atau sesuatu—yang nyelametin kita.”Tak lama kemudian, Pak Lebe datang. Wajahnya lebih kusut dari biasanya, matanya merah tanda kurang tidur. Ia duduk di kursi bambu di depan mereka dan langsung bicara tanpa basa-basi.> “Kita harus cari tau siapa yang mukul gong itu. Kalau dia benar-benar penjaga jalur, mungkin cuma dia yang bisa bantu kita nutup pintunya selamanya.”Arga menatap Pak Lebe serius.> “bapak punya petunjuk?”Pak Lebe menghela napas panjang.> “Sedikit. Ada cerita lama tentang seorang penjaga yang t
Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti
Arga, Ningsih, dan Pak Lebe akhirnya berhasil melewati lorong gelap jalur keenam. Tangan-tangan hitam yang tadi meraih mereka menghilang begitu saja ketika cahaya kebiruan dari keris Arga semakin terang, membentuk semacam perisai di sekeliling mereka. Dengan napas terengah-engah, mereka bertiga akhirnya keluar dari lorong sempit itu. Udara berubah—lebih hangat, lebih nyata. Di hadapan mereka terhampar hutan biasa, basah oleh embun malam. Tidak ada lagi langit kelabu, tidak ada lagi bisikan yang meracuni pikiran. Ningsih terduduk di tanah, memeluk lututnya sambil menangis pelan. “Aku… aku pikir kita nggak bakal bisa keluar.” Arga berjongkok di sampingnya, mengusap punggungnya. “Kita sudah di luar. Sudah selesai. Jalur itu sudah kita lewati.” Pak Lebe berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah hutan dengan wajah serius. “Tidak, ini belum selesai,” katanya pelan. “Jalur keenam hanya satu dari banyak gerbang. Setiap kali kita menutup satu, yang lain akan mencari celah untuk terbuk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments