Zain meloncat ke kasur untuk mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering.
Hep!
Zain berhasil menangkap benda tersebut. Ia melepas handuk di kepala yang melilit rambut panjangnya. Zain baru saja habis keramas.
Saat Zain hendak mengangkat panggilan dari Prita, Resti malah tiba-tiba datang dan segera merebut ponsel miliknya.
"Ketahuan kamu ya, Pri! Jam segini masih main hape. Pake teleponan segala lagi! Ibu sama kamu kan sudah sepakat bahwa kamu di jam segini belajar dan lanjut tidur! Apa gak puas seharian main hape?"
Rasanya ubun-ubun Zain ingin meledak mendengarkan omelan dari Resti barusan. Di rumahnya tidak ada yang seberani ini padanya. Tidak ada seorang pun yang berani membentak. Tidak ada seorang pun yang berani memarahinya. Apalagi karena soalan sepele seperti ini.
"Kenapa si ibu marah-marah terus!" Zain berteriak membuat Resti semakin naik pitam.
"Eh, kamu! Anak gadis makin berani sama i
"Ngapain lo di sini?" sinis Zain."Maksudnya?" Joan mengangkat kedua alisnya."Gue tanya ngapain lo ke warung butut ini?" sentak Zain kasar. Membuat Joan bertambah bingung."Hah?"Plak!Resti tiba-tiba datang. Ia langsung menjitak belakang kepala Zain seenak jidat. Kala Zain menengok ke belakang, Resti menatapnya penuh kobaran api."Aduh!" ringis Zain seraya menjamah kepalanya yang tadi kena pukul Resti."Apa-apaan kamu Pri? Ngatain warung sendiri butut?" protes Resti.Perasaan Resti semakin janggal kala melihat tingkah Prita yang semakin hari semakin aneh. Resti menelisik tubuh Prita dari bawah ke atas. Resti melihat dengan lekat. Kemudian mengembuskan napas berat kala tersadar wajah Prita tetaplah wajah Prita.Zain baru sadar ia sudah bukan lagi Zain. Ia adalah seorang gadis."Haha. Bercanda, Bu." Tawa Zain dengan tangan menggaruk lehernya."Nih, pempeknya. Silakan di nikmati ya, Tuan mu
Prita mengikuti langkah Zeno masuk ke salah satu ruangan kosong. Dindingnya terlihat putih bersih. Tak ada bercak noda maupun lumut.Di sudut paling kiri terdapat beberapa lukisan anak kecil yang terpanjang rapi.Prita mendongak melihat empat lukisan besar yang berjejer di atas sana.Prita membidikkan matanya."Meraka siapa?"Mendengar pertanyaan itu Zeno menoleh dan menghampiri Prita."Ada Zai? Lo lupa sama orang-orang yang ada di lukisan itu?"Deg!Prita menggaruk tengkuk lehernya. Kemudian tertawa."Ahaha! Bercanda, Kak," alibi Prita. Dalam hati ia terus merutuki dirinya.***Banyak orang yang singgah di kedai Yumarijomblo. Sampai-sampai Zain kewalahan mengantar banyak pesanan.Tak berapa lama kemudian ada Cici yang mengambil alih nampan yang ada di pangkuan Zain.Zain lekas pergi ke dapur dan mengistirahatkan dirinya. Ia duduk santai sambil mengipasi dirinya dengan
Zain berjalan santai menuju rumah. Ia ditemani Cici. Akan tetapi, mereka masih enggan membuka suara."Pri?" panggil Cici untuk memastikan.Zain menoleh."Hhmm?""Lo Prita bukan si?" tanya Cici masih bingung dengan semua perubahan Prita."Aneh lo! Gue Prita kali!" Zain tertawa. Dan tawa itu seperti dipaksakan."Tapi akhir-akhir ini--""Apa? Mau bilang gue aneh?" sela Zain."Lo tau kan Ci, kepala gue pernah kebentur pas kecelakaan.""Oh iya ya."***Prita turun dari motornya. Ia meminggirkannya di perempatan jalan itu lagi. Tak tahu kenapa, Prita sering sekali melihat wanita misterius itu berkeliaran di dekat sini. Akan tetapi cepat sekali wanita itu juga menghilang.Di saat yang tak disangka-sangka, Prita berjumpa kembali dengan wanita aneh itu. Prita berdiri tepat di depannya."Sebetulnya kamu siapa?" tanya Prita dengan rasa penasaran yang beranak pinak.Lagi-lagi wanita itu
Usai makan malam, Zain pergi ke kamarnya. Tak lupa wanita paruh baya itu juga mengikuti langkahnya. Zain mengambil beberapa hasil ulangan dari tasnya. Kemudian ia menunjukkan itu pada Resti satu per satu."ni ulangan matematika," kata Zain sembari memperlihatkan nilainya pada beliau.Melihat angka yang sangat tinggi itu, membuat Resti tercengang. Dan mungkin ini kalo pertama Resti melihat nilai mata pelajaran matematika sang anak begitu baik."Ini bahasa Inggris." Zain kembali memperlihatkan nilai berikutnya."Dan terakhir, biologi," ucap Zain semakin membuat mata Resti membulat."Wah, ini nilai, anak gua?" Tatap Resti tak percaya. Sungguh sempurna nilai yang di dapat sang anak."Nilaimu ini, Pri?" tanya Resti masih tidak bisa menelan salivanya sendiri. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya." Zain mengangguk mantap."Pinter kali anak emak!" Heboh Resti seraya mengusap kepala Zain penuh cinta."Bia
Setibanya di rumah sakit, Zain langsung diberi penanganan oleh dokter. Sementara keluarganya menunggu di luar. Delon mondar-mandir tak karuan. Ia sangatlah cemas dengan kondisi sang anak yang masih ada di dalam sana. Dan dokter pun belum keluar, sehingga ia tidak bisa mengetahui bagaimana kondisi sang anak sekarang. Untunglah. Tak berapa lama, pria dengan jas dan teleskop di dadanya keluar dari ruangan Zain. "Anak saya kenapa, Dok?" Delon langsung bertanya. "Anak bapak keracunan," jawab sang dokter membuat semua orang terkejut di sana. Kecuali Liana. Sebab wanita berparas bak nenek sihir itu adalah pelakunya. "Apa?" Kaget Liana. Tentu saja ia hanya pura-pura agar terlihat seperti ibu yang sedang mengkhawatirkan anaknya. Padahal pada nyatanya di dalam hati terdalamnya, Liana sangat bahagia. Dan ia juga mengharapkan Zain segera mati, agar rencana untuk menguasai harta Delon tidak ada penghalangnya lagi. "Kurang ajar. Siapa yang berani me
Kala Joan dan Joy membantu melepaskan Prita dari tali yang mengikatnya. Pink dan kedua temannya mengambil kesempatan dan segera berlari dari sana."Hei, kalian mau ke mana?" sentak Joan yang langsung ditahan oleh Joy."Jo, mending lo anterin Prita pulang. Kasian dia. Dia kelihatannya syok," alibi Joy. Sehingga Joan beralih lagi pada dirinya dan Zain."Lo giamna Joy? Lo ngga apa-apa kan?" Joa menelisik tubuh Joy khawatir.Joy tersenyum lalu bergeleng. "Gue gak apa-apa, Jo.""Prita kamu gak apa-apa?"Zain bergeleng. "Berkat lo dan dan cewek lo, gue gak apa-apa." Zain tersenyum santai. Dan senyuman itu membuat Joy kesal bukan main."Thanks, ya, Joy. Udah nyelametin gue," kata Zain seraya menepuk pundaknya.Joy menatap tajam. Menyembunyikan amarnya diam-diam.***Joan berakhir mengantarkan
Yudi memang sulit dibangunkan. Jika bukan suara ibunya yang terus-menerus masuk ke gendang telinganya, cowok itu tidak akan pernah bangun sampai magrib pun."Bangun atuh, a, di luar banyak temen kamu," seru sang ibu sekali lagi."A Yudi, bangun!" gertak sang ibu lagi. Kali ini lebih kencang mengarah ke salah satu telinga Yudi.Anak itu mulai menggeliat."Di luar ada temen kamu, tuh!" ucap sang ibu pada sang putri yang kini mulai membuka matanya secara perlahan."Siapa, Bu?" tanya Yudi."Kite, Yud. Molor Mulu lo," sambar Jali dan yang lainnya. Mereka sedang berdiri di ambang pintu dan berjalan masuk."Tuh, mereka masuk ke kamar kamu. Udah bangun dan cepet mandi. Ibu mau buka warung dulu yah. Kalo mau makan makan aja, sekalian ajak teman-teman kamu. Ibu pergi dulu." Pamit sang ibu."Makasih, Bu." Deo berucap."Ibu permisi dulu, ya. Kalian kalo mau apa-apa ambil aja." Dengan senang hati ibunya Yudi mempersilakan merek
"Aduh, ke mana juga ini si Pri? Udah dari tadi di tungguin belum balik-balik juga," gerutu wanita paruh baya yang sedang memimdahkan pakaian ke bagian pengering mesin cuci."Susul aja deh."Resti menutup pintu rumah. Dan segera melenggang untuk mencari sang anak yang entah ke mana. Padahal Resti hanya menyuruh putrinya untuk membeli sayuran di pasar. Akan tetapi, sampai saat ini anak itu belum pulang juga."Mau ke mana Bu Resti?" tanya Anum sang tetangga. Anum melihat Resti seperti terburu-buru."Mau nyusul si Pri belum balik dari pasar," sahut Resti bak ibu-ibu rempong."Ooh." Anum hanya ber oh ria, setelah itu melanjutkan aktivitasnya lagi; menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dedaunan.Resti tampak melihat seseorang yang percis seperti Prita. Untuk memastikan, Resti segera mempercepat jalannya."Wah, anak gue tuh!" Tunjuk Resti pada seorang gadis yang tengah bertengkar dengan seorang pria yang tampak asing."Wa