Tersimpan dalam Diam

Tersimpan dalam Diam

last updateLast Updated : 2025-02-26
By:  poetically destroyedOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
81views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Sejak kelas 10, Alana diam-diam menyukai Alfa Raynard—kakak kelasnya yang dingin, pintar, dan tak terjangkau. Alfa hanya pernah punya satu mantan, dan sejak putus, ia semakin tertutup. Alana tahu perasaannya sepihak. Tapi ketika takdir mulai mempertemukan mereka dalam kebetulan-kebetulan kecil, ia mulai bertanya-tanya: apakah perasaannya benar-benar tak terlihat, atau Alfa sebenarnya menyadarinya?

View More

Chapter 1

Tersimpan dalam Diam

Pagi itu, suasana sekolah tidak jauh berbeda dari biasanya. Koridor ramai oleh siswa yang saling bercanda, beberapa berjalan santai, sementara yang lain tergesa-gesa menuju kelas. Suara langkah kaki bercampur dengan obrolan riuh, menciptakan latar belakang yang biasa bagi Alana setiap pagi.

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu ia cari.

Tatapannya melayang tanpa tujuan yang jelas, meski hatinya sudah tahu siapa yang sedang ia cari. Dan seperti sudah menjadi rutinitas, sosok itu berdiri di tempat yang hampir selalu sama setiap pagi—di depan kelasnya, bersandar santai di kusen pintu dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Alfa Raynard.

Pria itu seperti pusat gravitasi kecil di sekolah ini—tidak pernah berusaha menarik perhatian, tapi tetap menjadi sorotan. Bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu terlihat mencolok dalam kesunyiannya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat keren, seolah ia baru bangun tidur dan tidak peduli dengan penampilannya, padahal justru itu yang membuatnya semakin menarik.

Alana menelan ludah, buru-buru menunduk sebelum kepergok. Jantungnya berdebar lebih cepat, seperti kebiasaan setiap kali ia menangkap sosok itu dalam pandangannya. Sudah hampir dua tahun sejak ia pertama kali menyukai Alfa, tapi perasaan itu masih tetap tersimpan rapat, tak pernah berani muncul ke permukaan.

"Lo nggak denger gue manggil, ya?"

Sebuah tangan menepuk bahunya, membuat Alana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Bianca, sahabatnya, sudah berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresi penuh selidik.

"Eh, apa?" Alana mengerjapkan mata, mencoba fokus.

Bianca menghela napas panjang. "Lo lagi-lagi ngelamun sambil liatin Alfa, kan?"

Alana langsung panik. "Apaan sih, nggak kok!"

Bianca mendengus. "Gue sahabat lo, Al. Udah hafal banget kebiasaan lo. Kalo lo tiba-tiba diem dan tatapan lo kosong, pasti lagi liatin dia."

Alana tertawa hambar, mencoba mengalihkan perhatian. "Lo aja yang terlalu curiga."

"Yakin?" Bianca menyipitkan mata. "Coba jawab, hari ini kita ada tugas apa di OSIS?"

Alana terdiam. Otaknya bekerja keras mencoba mengingat, tapi nihil. Ia benar-benar tidak mendengar apapun tentang tugas OSIS karena pikirannya sudah teralihkan sejak tadi.

Melihat ekspresi kosong Alana, Bianca mendecak. "Ketauan, kan? Duh, Alana, kapan lo sadar kalo naksir doang tapi nggak berani deketin itu capek sendiri?"

"Gue nggak naksir."

"Kalo bukan naksir, kenapa lo udah suka dari kelas 10 sampe sekarang?"

Alana tercekat. Pertanyaan itu sederhana, tapi sulit dijawab. Kenapa ia masih menyukai Alfa, padahal pria itu bahkan tidak pernah benar-benar melihat keberadaannya?

Namun, sebelum ia sempat menemukan jawaban, sesuatu membuatnya terpaku.

Di kejauhan, tepat di tempat Alfa berdiri, tatapan mereka bertemu.

Detik itu juga, Alana merasakan dadanya mencelos.

Alfa sedang melihat ke arahnya.

Sejenak, dunia terasa berhenti.

Bukan. Bukan sekadar melihat. Tatapan itu terasa nyata, tajam, tapi tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Seolah Alfa memang sengaja menatapnya, tapi tidak benar-benar tertarik dengan apa yang ia lihat.

Alana buru-buru menunduk, pura-pura sibuk membuka buku catatan di tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia tidak tahu apakah itu karena senang atau gugup.

"Lo kenapa?" Bianca mengerutkan kening, mengikuti arah tatapan Alana tadi. "Eh, jangan bilang Alfa liat ke lo?"

"Enggak!" Alana cepat-cepat menyangkal.

Bianca menatapnya curiga. "Lo bohong pasti."

"Udah, gue duluan ke kelas." Alana buru-buru melangkah pergi, meninggalkan Bianca yang masih berusaha memproses situasi.

Langkahnya cepat, tapi pikirannya tertinggal di belakang. Apakah Alfa benar-benar melihatnya? Atau hanya kebetulan?

Satu hal yang pasti, perasaan yang ia simpan dalam diam sepertinya semakin sulit untuk dikendalikan.

***

Alana mempercepat langkahnya menuju kelas, tapi pikirannya masih berputar-putar di satu hal—tatapan Alfa.

Itu hanya sekian detik. Sekilas. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah pria itu, tapi rasanya cukup untuk membuat dunia Alana sedikit berguncang.

Kenapa dia lihat gue?

Mungkin memang kebetulan. Mungkin Alfa hanya sekadar menoleh dan matanya tidak sengaja bertemu dengan Alana. Atau mungkin... mungkin dia sadar kalau gue dari tadi liatin dia?

Pikiran itu membuat Alana semakin panik. Gawat. Kalau beneran ketahuan, bakal malu banget.

"Al, lo jalan buru-buru banget sih?"

Bianca berhasil menyusulnya, sedikit terengah. "Lo dikejar setan, apa gimana?"

"Nggak, gue cuma buru-buru masuk kelas aja," jawab Alana seadanya.

Bianca masih memasang ekspresi curiga, tapi tidak memaksa. Mereka akhirnya tiba di kelas dan segera masuk sebelum bel pertama berbunyi. Alana menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.

Tapi saat ia duduk dan membuka bukunya, pikirannya masih penuh dengan sosok yang tadi berdiri di depan kelas 12.

***

Hari berjalan seperti biasa. Jam pelajaran terasa panjang, dan meski tubuhnya duduk di kelas, pikiran Alana melayang entah ke mana. Sesekali, ia melirik ke luar jendela, membiarkan angin yang berembus masuk sedikit mendinginkan pikirannya yang berantakan.

Saat bel istirahat berbunyi, Alana belum juga bisa benar-benar tenang.

"Lo ikut kantin, nggak?" tanya Bianca sambil merapikan bukunya.

Alana menggeleng. "Lo duluan aja, gue masih kenyang."

"Seriusan?"

Alana mengangguk. Ia memang sedang tidak ingin makan. Lagipula, ia tahu kantin bakal penuh dan ramai, dan itu bukan tempat yang ingin ia datangi saat pikirannya sedang kacau begini.

Bianca akhirnya pergi, meninggalkan Alana sendirian di kelas. Suasana mulai sepi seiring dengan siswa-siswa lain yang pergi beristirahat.

Alana bersandar di kursinya, menatap langit-langit sambil menghela napas. Kenapa gue jadi segini kepikiran cuma gara-gara tatapan doang?

Ia mengusap wajahnya pelan, mencoba mengalihkan fokus. Tapi sebelum ia benar-benar bisa menghilangkan pikirannya tentang Alfa, seseorang masuk ke dalam kelas.

Langkahnya tenang. Biasa saja. Tidak ada kesan ingin menarik perhatian.

Tapi bagi Alana, itu seperti dentuman keras yang memenuhi ruang kosong.

Alfa.

Detik itu juga, Alana menahan napas.

Pria itu berjalan masuk, tanpa melihat ke arah mana pun. Langkahnya terarah menuju meja paling belakang—tempat yang biasanya ia tempati saat mengunjungi kelas ini, entah untuk urusan OSIS atau hanya sekadar menunggu sesuatu.

Alana tidak tahu harus berbuat apa.

Ia berpikir untuk pura-pura fokus pada buku, tapi tangannya sudah terasa kaku. Ia ingin bersikap biasa, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat.

Dan seolah keadaan belum cukup menegangkan, suara Alfa terdengar.

"Ini kelas lo?"

Ia menoleh, memastikan bahwa pria itu benar-benar berbicara kepadanya.

Dan ya.

Tatapan Alfa kini tertuju padanya. Tidak tajam, tidak penuh emosi, hanya datar seperti biasanya. Tapi tetap saja, itu lebih dari cukup untuk membuat Alana kehilangan kata-kata.

"Iya," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya.

Alfa mengangguk kecil, lalu menarik kursi dan duduk di bangku belakang tanpa berkata apa-apa lagi.

Suasana kembali hening.

Alana masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Kenapa dia tiba-tiba nanya kayak gitu?

Tapi secepat pertanyaan itu muncul, ia sadar bahwa mungkin ini bukan hal yang besar. Mungkin Alfa hanya bertanya karena tidak tahu. Mungkin itu hanya formalitas.

Namun, tetap saja—bagi Alana, itu lebih dari sekadar percakapan singkat.

Karena selama dua tahun menyukai pria itu dalam diam, ini adalah pertama kalinya mereka berbicara.

Alana masih terpaku di tempatnya. Tangannya mencengkeram ujung buku yang terbuka di atas meja, meski pikirannya tidak benar-benar membaca apa yang ada di sana.

Pikirannya terus mengulang momen tadi—suara Alfa yang terdengar tenang dan santai, tatapannya yang sekilas mengarah ke Alana, lalu bagaimana pria itu langsung duduk di bangku belakang tanpa mengatakan apa pun lagi.

Seharusnya ini bukan hal besar.

Seharusnya, ini hanya percakapan biasa.

Tapi bagi Alana, satu kalimat sederhana itu terasa seperti bom waktu yang membuat detak jantungnya tak beraturan.

Dari sudut mata, ia bisa melihat Alfa duduk bersandar di kursinya, memainkan pulpen di antara jari-jarinya. Pandangannya terarah ke luar jendela, seperti sedang menikmati angin yang bertiup masuk.

Alana menelan ludah, ragu-ragu apakah ia harus membuka pembicaraan atau tetap diam.

Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Al, lo masih di sini—"

Bianca muncul di ambang pintu, lalu langsung berhenti begitu melihat pemandangan di dalam kelas. Matanya melebar, lalu beralih ke Alana dengan tatapan penuh arti.

Alana buru-buru memberi isyarat dengan matanya, meminta sahabatnya untuk tidak bertanya macam-macam.

Tapi, tentu saja, Bianca tidak akan melewatkan momen langka ini begitu saja.

"Eh? Alfa?" Bianca menoleh ke pria itu, lalu kembali menatap Alana. "Ngapain lo di sini?"

Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya mengalihkan tatapannya dari jendela ke Bianca, lalu kembali ke Alana sekilas.

"Nunggu seseorang," jawabnya singkat.

Alana hampir menghembuskan napas lega. Syukurlah, berarti ini bukan karena dirinya. Alfa ada di sini bukan karena alasan khusus yang berkaitan dengannya.

Tapi anehnya, ada sedikit rasa kecewa yang muncul.

Bianca masih menatap Alfa selama beberapa detik sebelum akhirnya berdeham. "Oh... Oke. Ya udah, Al, lo ikut ke kantin nggak? Gue udah balik lagi, nih."

Alana menimbang sejenak. Sejujurnya, ia tidak benar-benar lapar, tapi berada di satu ruangan dengan Alfa dalam keadaan hening seperti ini justru lebih menyiksa.

"Ikut, deh," katanya akhirnya.

Ia berdiri, merapikan bukunya, lalu melirik sekilas ke arah Alfa. Pria itu tidak menunjukkan reaksi apa pun, hanya kembali menatap ke luar jendela, seolah tidak peduli.

Tapi saat Alana dan Bianca melangkah keluar, Bianca berbisik di dekat telinganya.

"Lo sadar, kan, dia sempat ngeliatin lo tadi?"

Alana nyaris tersandung. "Apaan sih? Enggak!"

Bianca terkekeh. "Percaya deh, Al, tatapan cowok cuek kayak Alfa tuh kadang nggak bisa ditebak. Tapi yang jelas, tadi dia sempat liat lo sebelum lo pergi."

Alana menggeleng cepat, mencoba mengabaikan ucapan Bianca. Paling dia cuma kebetulan aja liat ke arah gue.

Tapi meski begitu, langkahnya terasa lebih ringan saat menuju kantin.

Dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, ada secercah harapan kecil dalam hatinya—mungkin, hanya mungkin, Alfa mulai sadar akan keberadaannya.

***

Kantin sekolah selalu ramai saat jam istirahat, penuh dengan siswa yang sibuk mengantre makanan, berbicara dengan teman, atau sekadar duduk menikmati suasana. Alana berjalan di belakang Bianca, berusaha mencari tempat yang sedikit lebih sepi.

"Gue nggak nyangka sih," Bianca membuka suara, "Lo akhirnya ada interaksi juga sama Alfa setelah dua tahun naksir diem-diem."

Alana mendesah. "Itu bukan interaksi. Dia cuma nanya ini kelas gue atau bukan."

"Ya tapi tetep aja!" Bianca menoleh dengan mata berbinar. "Gue udah pasrah lo bakal jadi secret admirer selamanya. Tapi ternyata semesta ngasih lo kesempatan juga."

Alana mendengus pelan. "Lo ngomongnya kayak gue bakal tiba-tiba deket gitu sama dia."

"Siapa tahu? Mungkin ini awalnya."

Alana ingin menyangkal, tapi entah kenapa, kata-kata Bianca terasa menggantung di pikirannya.

Apa mungkin?

Mereka akhirnya mendapatkan tempat duduk di salah satu sudut kantin. Bianca mulai menyantap makanannya dengan santai, sementara Alana hanya memainkan sedotan di gelasnya.

"Gue penasaran deh," Bianca kembali berbicara setelah beberapa menit, "Lo dari awal kenapa sih bisa suka sama Alfa?"

Alana terdiam. Itu pertanyaan yang sebenarnya sudah sering ia tanyakan pada dirinya sendiri, tapi sampai sekarang pun ia belum menemukan jawaban yang pasti.

"Apa ya..." Ia mengaduk-aduk pikirannya. "Dulu pertama kali lihat dia pas awal masuk sekolah, dia tuh beda aja. Nggak kayak cowok-cowok lain yang berisik atau sok asik. Alfa tuh diem, tapi auranya tuh kuat."

Bianca terkikik. "Auranya kuat? Lo dengerin diri lo sendiri nggak sih? Ini kayaknya udah bukan suka biasa, tapi hampir kayak lo ngefans."

Alana mendengus, tapi tidak membantah.

Ia masih ingat betul, pertama kali melihat Alfa adalah saat upacara pertama di tahun ajaran baru. Pria itu berdiri di barisan kelas 11 saat itu, mengenakan seragam rapi dengan wajah tanpa ekspresi. Ia tidak berbicara, tidak terlihat antusias, tapi tetap saja matanya menangkap Alfa lebih dari siapa pun.

Dan sejak saat itu, perasaan itu tumbuh perlahan.

"Lo tahu nggak?" Bianca tiba-tiba berbisik sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Ada rumor yang bilang Alfa dulu pernah pacaran sama cewek di sekolah ini."

Alana sudah tahu tentang itu.

Seluruh sekolah tahu.

Tapi tetap saja, mendengar Bianca membicarakan itu sekarang terasa sedikit menusuk.

"Namanya Kirana," Bianca melanjutkan, "Kakak kelas kita yang lulus tahun lalu. Katanya sih mereka cuma sebentar, dan Alfa yang mutusin."

Alana diam, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul.

Dulu, saat pertama kali mendengar nama Kirana, perasaannya campur aduk. Kirana adalah sosok yang hampir sempurna—cantik, pintar, dan dulu ketua OSIS. Tidak heran kalau Alfa memilihnya. Tapi yang membuat semua orang penasaran adalah kenapa hubungan mereka begitu cepat berakhir?

Ada banyak spekulasi, tapi Alfa tidak pernah memberi penjelasan.

Dan seperti biasa, pria itu tetap menjadi misteri.

"Gue sih yakin Alfa bukan tipe yang gampang pacaran," Bianca bersandar santai. "Mungkin Kirana itu satu-satunya cewek yang berhasil bikin dia tertarik."

Alana menggigit bibirnya pelan. Dan itu berarti, kesempatan gue hampir nggak ada.

"Eh, tapi lo tahu nggak?" Bianca kembali berbisik. "Katanya Kirana sempet balik ke sekolah beberapa minggu lalu. Lo nggak penasaran mereka bakal balikan atau enggak?"

Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat.

Kirana kembali ke sekolah?

Dan itu artinya, ada kemungkinan dia dan Alfa masih punya hubungan yang belum selesai?

Alana menunduk, menatap gelas minumannya yang sudah setengah kosong.

Tiba-tiba, perasaan yang tadi sempat melayang karena interaksi kecil dengan Alfa, perlahan-lahan jatuh kembali ke tanah.

***

Sepulang sekolah, Alana berjalan pelan menuju gerbang, membiarkan Bianca mengoceh tentang drama kelas mereka hari ini. Tapi pikirannya tidak benar-benar fokus.

Dari kejauhan, matanya menangkap sosok Alfa yang baru keluar dari gedung sekolah. Pria itu berjalan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, ekspresinya tetap sama—datar dan sulit ditebak.

Alana buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Al, lo mau pulang jalan kaki atau naik angkot?" tanya Bianca.

"Hah?" Alana mengangkat kepala dengan ekspresi bingung. "Oh... naik angkot aja, deh."

Bianca menatapnya dengan curiga. "Lo kenapa sih? Dari tadi kayak nggak fokus gitu."

"Nggak apa-apa," jawab Alana cepat.

Tapi Bianca tidak sebodoh itu. Tatapannya mengikuti arah pandangan Alana tadi, lalu langsung menyeringai begitu menyadari siapa yang sedang diperhatikan sahabatnya.

"Alfa lagi?"

"Bianca!" Alana buru-buru menarik tangan Bianca menjauh dari gerbang sekolah sebelum suara sahabatnya itu semakin menarik perhatian.

Bianca tertawa kecil. "Ya ampun, lo masih aja begini."

Alana mendesah, berusaha mengabaikan rasa malunya. "Ya gimana? Gue nggak bisa ngontrol ini juga."

Mereka akhirnya tiba di halte tempat angkot biasa berhenti. Bianca masih memasang ekspresi jahil, tapi untungnya ia tidak lagi mengungkit soal Alfa.

Namun, tepat saat mereka akan naik ke angkot, sebuah motor berhenti tidak jauh dari mereka.

Dan Alana melihatnya.

Alfa.

Tapi bukan itu yang membuatnya terdiam.

Melainkan sosok cewek yang baru saja menghampiri Alfa, tersenyum lebar sambil melepas helmnya.

Cewek itu cantik. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya terlihat familiar—dan Alana sadar, dia tahu siapa dia.

Kirana.

Mantan pacar Alfa.

Alana tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Kirana terlihat nyaman berdiri di samping Alfa. Bahkan, sesekali ia tertawa kecil.

Dan Alfa?

Meskipun ekspresinya tetap datar, tapi ia juga tidak menjauh.

Hati Alana terasa mencelos.

"Al," Bianca memanggil pelan, menyadari perubahan ekspresi sahabatnya.

Alana buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk mengeluarkan uang ongkos dari sakunya.

"Udah yuk, naik."

Bianca tidak bertanya apa-apa lagi. Mereka masuk ke dalam angkot, dan begitu kendaraan itu mulai melaju, Alana tidak bisa menahan diri untuk melihat ke belakang sekali lagi.

Di sana, Alfa masih berdiri di tempat yang sama.

Dan Kirana masih bersamanya.

Saat itu juga, Alana merasa semua harapannya—yang sempat tumbuh sejak siang tadi—perlahan mulai pudar.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Alana hanya diam. Angkot berguncang pelan melewati jalan yang mulai sepi, tapi pikirannya tetap terpaku pada satu hal—Alfa dan Kirana.

Jadi, rumor itu benar? Kirana kembali. Dan kalau dia menemui Alfa, apa artinya mereka akan balikan?

"Lo yakin nggak apa-apa?" suara Bianca memecah lamunannya.

Alana menoleh, lalu memaksakan senyum kecil. "Iya. Cuma capek aja."

Bianca menghela napas, tapi tidak mendesak lagi.

Begitu sampai di depan rumahnya, Alana mengucapkan selamat tinggal lalu masuk ke dalam. Rumahnya sepi—orang tuanya masih bekerja, dan kakaknya belum pulang dari kampus.

Ia langsung naik ke kamarnya, melempar tas ke atas kasur, lalu merebahkan diri.

Hening.

Namun, dalam keheningan itu, pikirannya semakin gaduh.

Kenapa dia harus melihat pemandangan itu? Kenapa harus hari ini, setelah untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih dekat dengan Alfa?

Matanya menatap langit-langit. Mungkin, ini memang cara semesta mengingatkannya.

Bahwa sejak awal, Alfa adalah seseorang yang terlalu jauh untuk digapai.

Bahwa perasaan ini seharusnya tidak pernah tumbuh.

Tapi sekuat apa pun ia mencoba menolak, ia tahu satu hal pasti—suka dalam diam itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dihapus.

Dan untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa menghela napas, berharap esok hari pikirannya bisa sedikit lebih tenang.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status