Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah.
Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan memastikan semuanya sudah rapi. Gegas ia keluar dari kamar setelah mengambil tas dan kunci motor. Ia berjalan hendak menuju tangga. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika melihat Bi Ranti, pembantu rumah mereka, sedang menaiki tangga sambil membawa nampan berisi makanan. "Eh, Den Hero. Mau berangkat sekolah?" sapa Bi Ranti. "Iya, Bi. Ini lagi siap-siap dulu," jawab Hero sambil tersenyum. "Den, Bibi boleh minta tolong?" ucap Bi Ranti yang tampak ragu. Hero mengernyitkan kening, sampai kedua alis tebalnya saling bertautan. "Minta tolong apa, Bi?" "Tolong antarkan makanan ini, ya, ke kamar Non Veline. Soalnya bibi lagi masak ikan di dapur, takut gosong kalau ditinggal." Hero terdiam mendengar permintaan Bi Ranti. Semenjak semalam ia mengantarkan Veline ke kamarnya, ia memang belum sempat melihat gadis itu lagi, apalagi mengetahui bagaimana keadaannya sekarang. "Den, kenapa diem?" tanya Bi Ranti, ketika menatap Hero yang tampak bimbang. "Oh, nggak apa-apa, Bi. Ya sudah, sini," ujar Hero sambil mengambil alih nampan tersebut dari tangan Bi Ranti. "Bener ya, Den? Jangan sampai Den Hero nggak kasih makanan ini sama Non Veline, soalnya kata dokter tadi malam, Non Veline asam lambungnya kambuh lagi." "Asam lambung?" tanya Hero, sambil mengangkat satu alisnya. "Iya, Den, ternyata Non Veline punya penyakit asam lambung." "Baiklah, Bi. Bibi tenang saja," ujar Hero sambil mengambil alih nampan tersebut. "Terima kasih, Den." Saat Bi Ranti turun kembali ke dapur, Hero segera menuju kamar Veline yang ada di samping kamarnya, ia melangkah sambil membawa nampan berisi makanan itu dengan hati-hati. Tok! Tok! Hero mengetuk pintu dengan hati-hati, lalu meraih knop pintu dan membukanya perlahan. Setelah pintu terbuka tanpa suara, ia melihat Veline yang masih terbaring lemah di tempat tidur dengan wajah pucat. "Vel …," panggil Hero pelan. Veline mendongak dan menatap ke arah Hero yang sudah ada di kamarnya. "Hero, ada apa?" tanyanya sembari bangun dan terduduk di tempat tidur, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran divan. "Tadi Bi Ranti nitipin makanan ini sama gue. Dia bilang ini sarapan buat lo." "Tapi gue nggak lapar." "Lo nggak ingat kata dokter kalau asam lambung lo kambuh lagi?" Veline menatapnya bingung. "Lo tahu darimana kalau gue ada asam lambung?" tanyanya, sambil mengernyit heran. Terlebih lagi, ia tahu Hero tak ada di kamarnya saat dokter datang tadi malam. "Dari Bi Ranti, barusan," jawab Hero singkat, lalu menyodorkan mangkuk berisi bubur ayam ke arah Veline. "Udah, ayo cepet dimakan," desaknya dengan tegas, sampai membuat Veline tak punya pilihan lain. Veline menghela napas pelan, lalu mengambil mangkuk itu meski sebenarnya ia tidak terlalu bersemangat untuk makan. "Ya udah … terus, lo ngapain masih di sini? Emangnya lo nggak sekolah?" tanyanya. Hero hanya mengangkat bahu, ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya. "Gue mau lihat lo habisin dulu tuh buburnya," katanya sambil bersedekap dada, menatap Veline dengan serius. Veline mendengkus, ia merasa terganggu dengan kehadiran lelaki itu. "Nggak usah dilihatin, nanti gue juga pasti makan kok. Udah sana, berangkat! Nanti lo telat lagi." Hero masih tidak bergeming. "Emang lo gak sekolah?" Veline menatap Hero sambil mengangkat alis. "Kan gue lagi sakit, masa gue harus sekolah?" Hero mengernyit. "Itu cuma alasan lo aja, kan? Bilang aja lo seneng nggak sekolah." Veline tertawa kecil, ia sedikit menyeringai ke arah lelaki itu. "Ya buat apa gue sekolah kalau ujung-ujungnya lo pasti bikin gue kena hukuman." "Gue gak akan ngehukum lo kalau lo gak berbuat ulah. Makanya jadi cewek tuh yang patuh, jangan membangkang terus," balas Hero, sambil menatap gadis itu lebih intens. Veline mendengkus kesal, matanya menatap Hero tajam. "Patuh? Emang lo pikir gue anjing peliharaan lo?" Hero membungkukkan tubuhnya, menatap wajah Veline yang masih terlihat pucat. Perlahan, tangannya terangkat, dan tanpa aba-aba, ia mengacak rambut Veline dengan lembut. "Karena lo udah tinggal di rumah gue. Mulai sekarang, lo adalah anjing peliharaan gue." Veline tertegun, menatap wajah Hero yang begitu dekat dengan wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda di sana—wajah itu tampak lebih hangat, tak setegang atau sedingin biasanya. Dulu, mereka memang selalu bertengkar, tak pernah ada hari tanpa keributan kecil di antara mereka. Namun kali ini, ada yang membuat Veline tak mampu menahan tatapan itu lebih lama. Entah kenapa, kehadiran Hero yang sedikit lebih lembut ini justru membuatnya terdiam. Matanya bergerak memandangi wajah Hero dengan lebih saksama. Wajah Hero memang tampan, tak heran jika banyak siswi di sekolah tergila-gila padanya. Alisnya tebal dan simetris, hidungnya mancung, dan bibirnya yang selalu tampak menantang sering memancarkan pesona tersendiri. Bahkan sorot matanya, yang selalu terlihat tajam, kali ini terlihat lebih lembut, meski hanya sekejap. Suasana di antara mereka seolah meluruhkan semua konflik yang pernah ada. Veline merasa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya, sementara Hero tetap menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa natapnya dalem banget?" Hero bertanya ketika hening mulai mendera mereka. Veline tersentak kecil dan segera membuang muka ke arah lain. "Gak ada," jawabnya cepat, sambil mencoba menahan debaran pada jantungnya yang mendadak terasa lebih cepat. Hero hanya tersenyum tipis, lalu berkata, "Awas, nanti lo bisa jatuh cinta sama gue." Veline langsung menoleh dan melotot ke arah Hero. "Mana ada gue jatuh cinta sama lo. Meskipun di dunia ini cowok cuma lo doang, gue juga gak mau kali. Mending gue jomblo seumur hidup." Hero tertawa kecil, lalu menghela napas panjang sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Oke, gue pegang omongan lo. Tapi kalau nanti lo beneran suka sama gue, gue gak akan tanggung jawab." Veline mendengkus sambil mengibaskan tangan. "Gak akan," jawabnya tegas. Namun, Hero hanya tersenyum smirk, menikmati setiap ucapan Veline yang selalu menolak keberadaannya, seolah yakin bahwa cepat atau lambat, gadis itu akan kemakan omongannya sendiri.Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh