“Kamu nggak kerja?”
“Kamu sendiri?” Asa memilih bertanya balik pada Athalia.
“Hari ini aku lagi cuti,” jawab Athalia. Perempuan itu melirik jam tangannya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. “Udah lewat dari jam istirahat, lebih baik kamu kembali ke kantor. Ini gedung kantor kamu kan?”
“Kok kamu tahu?”
Athalia terkekeh pelan. “Aku kenal ibumu, jadi aku tahu pasti kamu itu siapa.”
Asa tersenyum malu mendengar ucapan Athalia yang lugas tersebut. Ia sempat lupa dengan fakta kalau Athalia kenal langsung dengan ibunya. Minimal Athalia pasti tahu di mana ia sekarang—di kantor Sadira Group.
“Beneran nggak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanya Asa pada akhirnya. “Kamu nggak perlu ditemenin?”
“Aku baik-baik aja kok.”
Asa menaikkan satu alisnya, sangsi dengan kebenaran kata-kata Athalia. Tidak ada orang yang langsung bisa baik-baik saja setelah kejadian seperti tadi.
“Beneran, Sa,” tegas Athalia sekali lagi. “Kamu balik kerja aja gih. Aku nggak enak sama kamu kalau kamu telat lebih lama lagi.”
Melihat bagaimana Athalia benar-benar berusaha meyakinkannya, Asa pun menghela napas. Ia mengangguk dan bangkit meninggalkan Athalia sendirian di meja yang berada di sudut tersebut.
Athalia terpana untuk beberapa saat. Perempuan itu sendiri tak menyangka kalau Asa akan pergi begitu saja. Namun, dugaannya meleset karena lima menit setelahnya lelaki itu kembali dengan sepiring red velvet roll cake di tangannya.
Asa meletakkan piring itu di meja dan mengatakan, “Dimakan ya, Tha. Kalau adekku lagi sedih, makan manis bisa agak sedikit membantu dia.”
“Kamu baik banget sih, Sa,” gumam Athalia tanpa sadar.
Asa tersenyum teduh. “Bukan baik banget, Tha. Aku cuma melakukan sesuatu yang harusnya kulakukan. Nggak mungkin aku melengos begitu aja di saat aku kenal kamu.”
Setelah itu, Asa benar-benar pamit dari hadapan Athalia. Athalia menatap punggung Asa yang makin lama makin jauh dari pandangannya.
Kemudian perempuan itu menunduk dan menatap gelas plastik berukuran venti berisi dark mocca frappuccino dan red velvet roll cake tersebut dengan hati yang gamang. Dari semua orang yang melintas di hidupnya, hanya Asa yang berbalik untuk menolongnya.
Orangtuanya, kakak-kakaknya, teman-temannya—mereka semua berbalik memunggunginya, menjauhinya seolah-olah ia adalah virus.
Mungkin karena Asa juga tak tahu siapa dirinya, maka dari itu ia bersedia menolong Athalia.
Andai dia tahu siapa Athalia sebenarnya….
Getar ponselnya yang ada di saku membuyarkan lamunan Athalia. Perempuan itu langsung buru-buru mengambil ponselnya dengan tangan gemetar supaya tak terlambat untuk membalas pesan itu.
Marcell: Babe, barusan Mama bilang dia abis ketemu kamu. Kamu ngapain nurutin ajakan Mama sih?
Marcell: Kan aku bilang, cuekin aja.
Marcell: Kamu ngobrol apa aja sama Mama?
Athalia: Aku mana mungkin nolak ajakan mama kamu, Sayang.
Athalia: Nggak banyak hal penting yang kami obrolin kok.
Marcell: Bohong.
Rasanya jantung Athalia terasa berhenti berdetak saat itu juga ketika Marcell membalas hanya dengan satu kata itu.
“Tha.”
Athalia tak sengaja melempar ponselnya ke meja karena terkejut. Beruntung seseorang dengan cepat menangkap ponsel tersebut dan mengembalikannya pada Athalia.
“Asa,” gumam Athalia dengan tak percaya. “Kamu ngapain di sini?”
“Kayaknya aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini, Tha.”
“Hah?” Athalia tak bisa menahan diri untuk tidak melongo. Kini Asa berdiri di hadapannya sambil membawa tas laptop. “Terus? Kamu mau bolos?”
“Nggak juga, Tha.”
“Tapi kamu bawa tas,” tunjuk Athalia. “Asa, beneran, aku nggak apa-apa. Kita kan baru kenal juga, aku nggak mau ketika kita belum kenal begini tapi aku udah ngerepotin kamu.”
“Nggak ngerepotin kok. Anggap aja aku lagi bosen kerja di ruanganku.”
Athalia menggeleng tak setuju. “Tapi kamu bisa dimarahin atasan kamu.”
“Sesekali jadi karyawan bandel nggak apa-apa kok.”
Dengan cepat, Asa mengambil piring berisi kue yang belum disentuh dan membawanya ke kasir. Ia meminta pegawai Starbucks tersebut membungkus kue itu dan setelah selesai, ia kembali ke meja Athalia.
“Yuk.”
“Ke mana?”
“Aku tahu tempat yang bisa bikin kamu lupa sejenak sama apa pun yang jadi beban pikiranmu saat ini.”
Ragu-ragu, Athalia bangkit dari kursinya dan mengikuti Asa. Ia menukar KTP-nya untuk access card sementara yang diperuntukkan untuk tamu di gedung tersebut.
Setelahnya, Asa mengajak Athalia ke lift yang ada di sudut dan hampir tak terlihat jika dari tempat biasa orang menunggu lift yang berjejer.
“Kenapa kita naik lift yang ini?” Athalia tak terlalu bodoh untuk tidak mengenali lift di hadapannya ini adalah lift yang biasa dipakai petinggi perusahaan.
“Karena yang ini nunggunya nggak lama.” Asa memberikan cengirannya. “Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok, kalau itu yang kamu khawatirin.”
“Aku percaya sama kamu kok,” tukas Athalia sambil menatap refleksi mereka di pintu lift. “Kamu anaknya Tante Padma, pasti sebaik beliau.”
Asa tersenyum kecil. “Kamu terlalu cepat percaya sama orang, Tha.”
“Kamu sendiri juga gitu. Kita baru kenal tiga hari yang lalu dan nggak komunikasi lagi setelah pertemuan waktu itu, but here I am.”
Kini ganti Asa yang melirik Athalia. “Aku tahu mamaku nggak sembarangan mengenalkan perempuan ke aku.”
Kali ini Athalia terkekeh dan hal itu ditangkap Asa dengan baik. Kalau sedang begini, rasanya baru ia menemui Athalia yang tiga hari lalu ia temui.
Athalia dan wajah murung bukan kombinasi yang bagus, pikirnya.
“Kamu jangan bilang mamamu kalau kita ketemu lagi,” canda Athalia saat lift terbuka dan mereka bergegas masuk. “Nanti mamamu berekspektasi kalau kita akan kencan lagi.”
Asa terbatuk begitu mendengarnya. “Oke, kalau itu maumu.”
Reaksi Asa terlihat lucu di mata Athalia. Perempuan itu pun berkata, “Kasihan kamu kalau harus deket-deket sama aku. Jadi cukup tiga hari yang lalu dan hari ini aja kita bisa ketemu dan ngobrol begini.”
Rasanya baru kali ini Asa gatal ingin bertanya kenapa mereka hanya boleh bertemu sampai hari ini saja, tapi ia menahan diri untuk tidak melakukannya karena Asa takut, pertanyaannya akan kembali membawa kesedihan di mata Athalia.
Hal yang berbulan-bulan setelah hari itu baru disadari Asa, kalau hal tersebut bukanlah hal yang ia sukai.
Asa takkan suka melihat Athalia sedih seperti hari ini, di pertemuan kedua mereka.
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq