“Gue ada pacar kok!” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Jeanicka, meski jantungnya berdegup kencang dan otaknya menjerit panik. Semua bermula ketika ia harus menelan pil pahit: sang gebetan justru menggandeng mesra saudara tirinya—perempuan yang paling ia benci. Terlebih lagi, ucapan remeh si saudara tiri itu menusuk harga dirinya habis-habisan. Pacar? Itu jelas hanya khayalan. Tapi Jeanicka bukan tipe yang tinggal diam saat diinjak-injak. Harga diri harus dibela, gengsi harus diselamatkan. Masalahnya… siapa yang cukup gila untuk pura-pura jadi pacarnya dalam situasi ini? Bagaimana kalau bosnya, Nicholas Wiratama, yang paling menyebalkan itu jadi satu-satunya pilihan untuk Jeancika?
View More“Jeanicka, mana jadwal saya hari ini?”
“Jeanicka, kenapa berkas ini belum ada?”
“Jeanicka, kamu udah berapa tahun kerja sama saya, kenapa kayak gini aja masih salah?”
“Jeanicka—”
“Jean…”
“JEANICKA! BANGUN! ITU HP LO BUNYI TERUS! BOS LO NELFON!”
Jeanicka terlonjak. Rambut awut-awutan, mata masih sembab, pipi berbekas bantal. Dengan gerakan setengah panik ia meraih ponsel. Belum sempat dijawab, panggilan terputus, berganti notifikasi pesan masuk.
“Ya Tuhan… hari Sabtu loh, kenapa sih?” ia mendesis sambil membaca pesan.
Stacy menyembul dari pintu, ngikik. “Gue rasa bos lo tuh nggak punya konsep libur.”
Jeanicka merengut. “Dia nyuruh gue ikut malam ini. Nggak tau ngapain.”
“Lah! Kita kan ada reuni hari ini!”
“Yaudah bodo amat. Gue matiin notif.” Jeanicka melempar bantal.
Stacy menatapnya iba. “Sumpah, Nicholas itu bukan bos lagi, itu udah level poltergeist.”
Jeanicka mendengus, menepis beban yang menempel di dadanya. Suara ibunya sempat terngiang: ‘Berdirilah untuk diri sendiri.’ Itu cukup membuat dia bangkit.
“Jean, buruan siap-siap! Lo kan mau ketemu Bobby!” seru Stacy.
Nama itu bikin wajah Jeanicka langsung cerah. Bobby. Oke, hidupnya masih ada manisnya.
***
Reuni penuh tawa. Aula dihiasi lampu hangat, meja panjang penuh makanan ringan dan minuman bersoda. Orang-orang sibuk nostalgia, tertawa keras setiap kali ada cerita konyol masa kuliah diungkit. Jeanicka baru melangkah masuk, tapi pandangannya langsung tertumbuk pada pemandangan pahit: Bobby, pria yang dulu selalu bikin hatinya berdebar, menggenggam mesra tangan Helena.
Helena. Saudara tiri menyebalkan yang sudah cukup lama jadi sumber luka.
“Jean…” Stacy memandang khawatir.
Jeanicka menarik napas panjang. “Santai. Gue bisa.”
Helena menoleh, tersenyum ramah tapi menusuk. “Hai, Jean. Lama nggak ketemu. Eh, kalian udah liat? Aku sama Bobby sekarang bareng, loh.”
Jeanicka tersenyum tipis. “Oh ya? Baru ya?”
“Baru. Tapi serius deh, aku nggak heran. Bobby tuh tipe langka. Susah dicari. Nggak kayak…” Helena meliriknya dari ujung kepala sampai kaki. “…orang-orang yang sampai sekarang aja masih sendirian. Sibuk kerja, lupa cari pacar.”
Stacy mendesis, siap balas, tapi Jeanicka lebih dulu menyeringai. “Sendirian? Hah. Siapa bilang? Gue ada pacar, kok.”
Helena terkekeh pelan, matanya berkilat meremehkan. “Pacar? Serius? Atau jangan-jangan… pacar imajiner?”
Jeanicka menegakkan bahu. “Nyata. Dan… ganteng.”
Helena makin tertawa, menggandeng lengan Bobby lebih erat. “Yaudah, kenalin dong ke kita. Biar nggak dikira ngibul.”
Deg. Jeanicka sempat kaku sepersekian detik. Tapi gengsi lebih keras dari logika. “Bisa. Dia lagi di luar. Gue samperin dulu.”
Helena menyeringai puas. “Sip. Aku tunggu, ya.”
Jeanicka keluar aula dengan napas tercekat. Astaga, Jean… lo ngapain sih barusan? Mana ada pacar? Tapi langkahnya sudah kepalang jalan.
Koridor hotel lengang, hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang. Musik reuni masih terdengar samar. Jeanicka mengedarkan pandangan dengan panik—siapa aja boleh lah, asal bisa dijual jadi “pacar” dadakan.
Dan seakan semesta bercanda, matanya langsung menangkap sosok jangkung dengan jas rapi. Wajah dingin, sorot mata tajam. Nicholas. Bos gila yang bahkan di hari libur masih bisa bikin hidupnya berantakan.
Tapi kali ini—dia justru seperti penyelamat.
Jeanicka berlari kecil, jantungnya hampir meledak. Tanpa pikir panjang, ia maju dan meraih lengan Nicholas, memegangnya erat, dengan sedikit bergetar dia berkata,
“Pak Nicholas, tolong bantu saya, Pak.”
“Apakah ada yang lebih penting dari pekerjaan untuk dibicarakan pagi ini?”Suara itu dalam, dingin, dan bergema ke setiap sudut lantai 12. Seketika, semua bisik-bisik yang tadi meriah seperti pasar malam langsung padam. Seolah tombol mute ditekan bersamaan.Tidak ada yang berani menoleh. Tidak ada yang berani bernapas terlalu keras. Nicholas tidak perlu teriak, tidak perlu marah. Tatapan matanya saja sudah cukup untuk membungkam satu lantai penuh karyawan.Matanya bergerak perlahan, menyapu barisan demi barisan meja kerja. Seperti spotlight yang mencari tersangka di panggung gelap. Dan akhirnya, berhenti di satu titik.Jeanicka.Jantung Jeanicka seakan berhenti berdetak. Tenggorokannya kering, lidahnya seperti menempel di langit-langit mulut. Ia menelan ludah dengan susah payah, pipinya panas sampai rasanya bisa masak telur dadar.Tatapan itu terlalu lama. Terlalu menusuk.Baru setelah Nicholas mengalihkan pandangan, melangkah lagi dengan langkah mantap menuju lift, Jeanicka bisa bern
Begitu sampai di lobi gedung PT. Orama Group, suasana terasa agak aneh. Biasanya pagi-pagi suasana sudah ramai dengan karyawan yang lalu-lalang sambil menenteng kopi, tapi kali ini ada bisik-bisik kecil yang sepertinya… aneh.Jeanicka langsung menyadarinya, apalagi setelah mereka masuk lift. Beberapa orang sempat melirik, terus buru-buru berbisik ke temannya. Stacy yang sadar pertama kali langsung menyikut lengan Jeanicka pelan.“Eh, lo sadar nggak? Orang-orang pada bisik-bisik kalo ngeliat lo.”Jeanicka panik setengah mati. “Ya Tuhan… jangan bilang gosipnya udah nyebar sampai sini.”“Udah jelas lah.” Stacy menatap dengan ekspresi gue-udah-bilang. “Pantes tadi di Transjakarta ada dua anak magang Orama yang ikutan bisik-bisik sambil liatin layar HP. Fix, itu pasti foto lo.”Jeanicka rasanya hampir pingsan di tempat. “Gue nggak siap, Stace. Sumpah gue nggak siap.”Stacy malah ngakak. “Ya lo siap nggak siap, reality show lo udah mulai, Jean.”Lift berhenti di lantai 12. Pintu terbuka, da
“Stace, gue pamit dulu ya. Ada urusan sama Nicholas,” ucap Jeanicka sambil mencoba terlihat santai, padahal jantungnya sudah kayak marching band—suaranya membuat kupingnya sendiri panas.Stacy langsung sumringah, senyumnya seterang lampu sorot panggung konser. “Oke, oke! Jangan khawatirin gue, Jean. Enjoy your date, lovebirds!” Dia bahkan melambaikan tangan dengan gaya drama ala sinetron, lengkap dengan ekspresi sok haru.Jeanicka mau protes, lidahnya sudah siap menembak kalimat “bukan date, oi!” tapi belum sempat. Nicholas sudah menggandeng tangannya lagi, langkahnya mantap, aura garangnya membuat orang-orang yang melihat otomatis menyingkit. Beberapa kepala bahkan menoleh penasaran, bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara para tamu.Mereka melewati ballroom dengan cahaya lampu kristal yang berkilauan, musik pesta yang masih riuh. Kontras dengan suasana hati Jeanicka yang justru makin kacau. Setiap langkah terasa bagaikan spotlight yang menempel di kepalanya. Dia bisa merasakan t
“Sekarang kamu ikut saya.”Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir Nicholas. Dingin. Datar. Tanpa drama. Tapi buat Jeanicka—itu seperti sirene bahaya, alarm kebakaran, bahkan trompet kiamat.“I-ikut, Pak?” Jeanicka terlonjak dari kursi rotan, tubuhnya nyaris terpeleset kalau saja tangannya tidak cepat-cepat meraih sandaran. “Tunggu, tunggu. Ikut ke mana, Pak?”Nicholas menatapnya lurus. Diam. Tidak berkedip.Jeanicka langsung panik. “Oke, saya tahu saya bilang bakal lakuin apa aja buat Bapak. Apa pun. Iya, iya. Tapi itu bukan berarti saya mau melakukan segala tindakan kriminal, Pak! Saya tegasin, bukan Tindakan kriminal!”Mata Nicholas masih menusuk, dingin seperti es Arktik.“Kriminal tuh bahaya, Pak. Serius. Saya nggak mau jadi kaki tangan drug dealer. Jangan-jangan Bapak tuh sebenernya bukan CEO, tapi gembong narkoba? Hah? Orama Group cuman kedok doang? Astaga… saya nggak siap masuk BNN list.”Nicholas tidak menjawab. Tatapannya lurus, menusuk, seakan menembus sampai ke dasar piki
Suasana aula yang tadinya ramai dengan musik dan obrolan ringan mendadak terasa lebih berat. Beberapa pasang mata sudah sempat melirik sejak Helena terus melontarkan komentar sinisnya. Jeanicka berusaha tetap tenang di samping Nicholas, tapi hatinya jelas bergemuruh. Sedikit saja salah sikap, Helena pasti akan semakin puas menginjak harga dirinya.Nicholas masih dengan tenang merengkuh pinggang Jeanicka, seakan tak terganggu. Tatapannya dingin, Netra hitam itu sekali-sekali melirik ke arah Helena dan Bobby.“Sayang,” suara Nicholas terdengar rendah, cukup jelas terdengar oleh mereka yang berdiri dekat, “Kita mau pergi aja?”Jeanicka menoleh spontan. Suara itu terdengar lembut. Sementara itu, Helena terperangah mendengar Nicholas menyebut Jeanicka dengan panggilan penuh kepemilikan. Bobby yang sedari tadi memasang wajah jengah hanya menghela napas panjang, seolah makin malas mendengar perdebatan yang tak berkesudahan.Tanpa memberi kesempatan Helena membalas, Nicholas menggandeng tanga
Aula hotel malam itu penuh dengan cahaya lampu gantung yang berkilau. Suara gelas beradu dengan denting musik live band, tawa dan obrolan bercampur jadi satu. Namun, di sudut tertentu, atmosfer berbeda mulai terbentuk. Semua berawal dari satu kalimat Helena yang menusuk.“Serius nih, Jean? Lo mau bikin kita percaya kalo cowok ini pacar lo?” Helena melipat tangan di dada, matanya menelusuri Nicholas dari kepala sampai kaki. “Please deh. Lo pikir bisa ngibulin orang segampang itu?”Jeanicka tersenyum kaku. “Kenapa nggak? Lo tanya langsung aja, kalau nggak percaya.”Helena tertawa pendek, suara tawanya cukup nyaring sampai membuat dua orang di meja sebelah menoleh. “Ya ampun, lo masih aja sama kayak dulu, ya. Suka ngayal. Dari dulu juga kerjaannya cuma ngekorin orang. Gue nggak habis pikir aja, cowok setipe Mas Nicholas mau sama lo. Ngaca, Jean.”Jeanicka menegakkan bahu. “Helena, hidup gue bukan urusan lo. Kalau lo nggak percaya, itu masalah lo.”“Masalah gue?” Helena mendengus, lalu me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments