Share

Chapter. 11

      Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.

Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.

Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis.

"Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.

Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.

Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.

"Nak, Ibu tinggal ke dapur dulu, ya." Ibu menepuk pelan pundak Dewa, dan menatapku lembut.

"Bu, aku lapar. Aku ikut ke dapur, ya." Tanpa menghiraukan Dewa aku menggandeng lengan ibu, mengajaknya ke dapur bersama.

"Lho, Nak Dewa ini kan dari tadi nungguin kamu, mbok ya disapa dulu dong. Masa sama calon suami cuek begitu," cerocos Ibu, "kayak musuhan." Ibu melirikku tak suka. Sementara Dewa seakan menjadi orang paling tabah.

"Gak papa kok, Buk. Udah biasa dicuekin cewek jutek." Dewa memamerkan gigi putihnya. Sementara Ibu melirik ke arahku sekilas lalu kembali menatap Dewa.

"Sabar ya, Nak. Aira memang galak, tapi percayalah, dia sosok gadis yang baik dan perhatian." Ibu mencoba memberi kesan baik tentangku pada Dewa, harusnya aku berterima kasih pada Ibu, tapi sayang ada sedikit penolakan tentang apa yang Ibu ucapkan barusan.

"Percuma, Bu. Orang kalau sudah tak suka, akan terus dinilai buruk tanpa melihat sisi baik orang tersebut."

"Nggak juga, gua suka kok sama lo meski sering nyebelin," timpal Dewa membuat sudut bibir Ibu tertarik ke atas.

"Masa bodoh." Bibirku maju beberapa senti.

"Dih, liat tuh, Bu. Aira kumat."

"Kamu yang kumat!"

"Lo, lah."

"Ish, cowok nyebelin."

"Cowok keren, dong." Alis Dewa naik turun.

"Childish!" Aku mulai kesal dan melangkah meninggalkannya menuju dapur, sementara Ibu geleng-geleng kepala menatap aku dan Dewa bergantian.

Aku merasa menang saat aku berhasil meninggalkannya sendirian.

“Ayo, ikut ke dapur, temenin Aira makan,” ajak ibu, membuatku menaikkan alis tanda protes.

“Gak, Bu. Bisa-bisa nanti Aira grogi diliatin calon suami.”

Ya, ampun, Dewasa! Hiii.

 ***

     

      Baru kusadari ternyata persiapan untuk pernikahan besok sudah hampir selesai. Mulai dari ruang tamu yang didekor sedemikian rupa. Meja, kursi dan karpet semua sudah tertata rapi.

Kulihat Ayah dan Ibu sedang berbincang dengan orangtua Dewa, mereka terlihat sangat akrab menampakkan rona bahagia dari wajah dan cara mereka berbicara. Di sana, aku tak melihat Dewa. Di mana dia?

Dari balik tirai yang menutupi perbatasan ruang belakang menuju dapur dengan ruang tamu, pelan-pelan aku menyelinap keluar rumah melalui pintu samping dapur yang menghubungkan pekarangan belakang.

Wow, luar biasa. Di taman ini ternyata juga sudah didekor sangat cantik. Aku suka dengan warna putih berpadu biru dan merah muda yang lembut. Meja-meja, kursi, tirai, bunga-bunga dan stand-stand menu makanan yang didesain tidak umum, unik dengan sticker full colour.

"Nggak usah melongo gitu kale, ini semua ide gua."

Dewa muncul secara tiba-tiba, menyilangkan tangan di dada dan senyum sebelah.

Aku buru-buru menutup mulut dan bersikap biasa. "Oh, keren juga," pujiku tulus. Tapi aku penasaran dari mana Dewa mendapatkan inspirasi dekorasi ruang pernikahan seperti ini.

"Pasti lagi mikir kenapa ide gua sehebat ini, iya kan?"

Dih, mulai kumat!

Aku mengibas rambut ke belakang, meliriknya jengkel. "Paling juga nyontek di buku-buku desain, atau ... searching di gugel." Aku menyeringai. Apalagi? Aku tahu dia tipe laki-laki kaku dan tak paham seni.

Dewa mendekat dan berucap pelan, "Lo nggak tahu, kan, kalo gua ini seniman. Gua bisa desain apa aja, dekor ruang apa aja, nulis, juga melukis." Dewa bicara semakin pelan, "Sssttt, jangan kaget gadis jutek, gua memang nggak pernah pamer keahlian seni gua."

Bola mataku membesar tak percaya, seakan yang barusan kudengar hanya bualannya saja. Pikiranku kembali mengingat pesan Salsa waktu itu, dia mengatakan kalau Dewa seorang penulis. Ah, benarkah Dewa seorang seniman? Tapi ...

"Nggak usah dipikirin, ntar setelah kita nikah, lo pasti tau semuanya," tambah Dewa, sekali lagi dia seakan bisa membaca pikiranku.

Aku masih terdiam, mengangguk kecil dan menatapnya lekat. Sekarang aku sadar, kenapa Dewa sangat berbeda dengan pengusaha-pengusaha lainnya, seperti Ayah yang kaku dan ayahnya yang sangat menjaga sikap. Sementara Dewa, liar, semaunya sendiri, dan tampil bergaya meski sering kulihat ia memakai pakaian formal.

Dadaku berdesir, kenapa hari ini Dewa terlihat tampan dan ... berbeda di mataku?

***

Hari yang ditunggu-tunggu oleh kedua orangtuaku dan Dewa akhirnya tiba.  Aku hampir tak percaya sudah sah menjadi istri seorang pengusaha muda yang sukses. Laki-laki yang Ayah pilihkan untukku, untuk putrinya yang keras kepala ini.

Dewa menoleh, menatap wajahku penuh haru. Kedua matanya berkaca-kaca membuat keningku mengerut tak mengerti. Ia tersenyum penuh arti. Aneh, kenapa Dewa terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini?

Dasar cengeng!

Kuhindari tatapan Dewa, dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan, semua tampak sangat bahagia atas pernikahan kami, terutama wajah orangtuaku pun kedua orangtua Dewa.

Hari ini, sejarah baru bagiku, menyandang status istri dan juga menjadi seorang ibu nantinya. Demi Ayah, demi Ibu demi orang-orang yang kucintai meski cinta itu belum tumbuh secara utuh. Namun besar harapan di lubuk hati, Dewa tetap sabar menerima ketidaksempurnaan kasih yang kumiliki untuknya. Perjalanan cukup berat memang, tapi aku pastikan namanya akan selalu ada dalam setiap doa-doa yang kupanjatkan pada Tuhan.

Momen memasangkan cincin di jari membuatku menahan napas beberapa detik. Harusnya bukan Dewa yang memasangkan cincin itu tapi Hyun Joon! Dewa segera berdiri dan kotak cincin sudah ada di tangannya. Perlahan, aku ikut berdiri, berusaha menarik sudut bibir agar bahagianya terlihat natural. Menjulurkan jari pada Dewa, siap untuk dipasangkan tanda ikatan pernikahan.

"Kamu cantik, Aira," ucap Dewa sepelan mungkin. Tapi tetap cuek walau banyak orang senyum-senyum mendengar rayuannya.

Dasar tukang gombal!

Aku tersenyum, sekali lagi senyum paling manis yang kubuat. Setelah cincin terpasang, kucium punggung tangan laki-laki yang sudah sah jadi suamiku ini. Apa lagi yang kulakukan, bukankah tradisi sebuah pernikahan begitu adanya? Seorang istri harus mencium punggung tangan suami dan suami berkasih sayang mengecup kening istri. Kami harus terlihat bahagia layaknya pasangan pengantin yang saling mencinta.

Oh, Tuhan!

Ah, drama ini terlalu manis bagiku.

Kami kembali duduk dengan khidmat, mendengar nasihat-nasihat pernikahan yang menjelaskan dengan gamblang bagaimana kewajiban dan hak suami-istri dalam menjalankan rumah tangga. Pernikahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Tuhan.

Aku melirik ke arah Dewa, tidak kudapatkan raut konyol yang selama ini sering kulihat. Dia serius, fokus, dan sangat antusias menyimak banyak nasehat rumah tangga. Aku melihat kesungguhannya dalam hal ini.

"Dengerin, jangan ngeliatin mulu. Gua ngeri kalo lo jadi naksir." Ujung matanya melirikku sekilas, dengan nada menyebalkan seperti biasa. Dewa sadar sejak tadi aku memperhatikannya.

Pipiku memanas, jelas aku malu. Bukan karena ucapannya, tapi ... pada diri sendiri. Mencuri pandang dan berpikir liar itu sangat tidak sopan. 

 ***

      "Semoga bahagia selalu, Sayang." Ibu menciumiku dan memeluk erat. Air matanya tumpah ruah. Begitu juga Ayah, beberapakali dia mengelus rambutku dan mengecup pipi, matanya berkaca-kaca, haru juga terlihat sangat bahagia.

"Maaf, Ayah sudah egois. Tapi Ayah yakin kamu akan bahagia sama Dewa." Ayah memelukku, setelah Ibu pelan-pelan melepaskan pelukannya dan menyeka air mata.

"Aku bahagia, Ayah. Percayalah," lirihku. Ayah merenggangkan pelukannya, ia menatap dalam kedua mataku dan mengangkat tangannya menghapus satu titik air di sudut mataku.

"Ayaaah!" Kembali kupeluk laki-laki terhebat dalam hidupku, Ayah yang luar biasa bagiku dan suami paling tangguh yang Ibu miliki.

Tak ada alasan untuk dendam, atau benci dengan apa yang terjadi. Aku tak yakin dapat membahagiakannya secara materi, karena aku sendiri bukanlah wanita hebat yang banyak pekerjaan hingga dapat mengumpulkan pundi-pundi kekayaan,  hanya pernikahan ini barangkali dapat membahagiakan batinnya. Kukira, sekiranya aku mampu, Ayah tak butuh materi dariku. Tapi cinta.

Selesai sungkem pada orangtuaku, kini aku diberi banyak cinta dan doa dari kedua orang tua baru, Ayah dan Ibu mertua. Dua pasang mata di hadapanku berbinar bahagia.

"Doa kami selalu untukmu dan Dewa, Nak. Kebahagiaan ini sangat luar biasa bagi kami. Mimpi itu terwujud untuk menyatukan kalian. Mimpiku dan mimpi Ayahmu." Ayah mertua berucap lembut, matanya sama seperti mata Ayah. Mata yang memiliki banyak cinta dan harapan besar pada kami.

"Ibu mencintai kalian," ucap Ibu mertua. Mengecup kening dan memelukku hangat.

Ah, kenapa dadaku sesak. Seandainya aku menolak kasar pernikahan ini, sudah pasti aku melukai hati orang tuaku dan orang tua Dewa.

"Terima kasih, Bu, Pak. Aira akan belajar menjadi istri yang baik untuk Dewa."

Ya, istri yang baik. Aku sendiri saja agak asing mendengarnya.

Selanjutnya tiba acara resepsi. Kegiatan paling melelahkan, bagaimana tidak, bibir wajib melengkung memamerkan senyum ramah pada setiap tamu undangan. Kebanyakan tamu Ayah dan Pak Mertua, orang-orang penting dalam bisnis mereka. Sengaja Ayah memilih resepsi di rumah, agar lebih private dan hangat dengan orang-orang terdekat.

Entah kenapa pikiran konyol itu tiba-tiba datang, aku berharap Hyun Joon datang walau rasanya itu tak mungkin terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status