Share

BAB 7: Sang Penyelamat

Author: LeeNaGie
last update Last Updated: 2024-06-14 15:14:27

ARINI

Pagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.

Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.

“BERHENTI LO, KUNYUK!!”

Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!

Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.

Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir dirinya siapa sampai semena-mena begini? Apa seluruh orang kaya kelakuannya kayak gitu? Ah, paling nggak ada Kak Toni dan Lova yang masih baik sama gue.

Di sekolah ini, hanya mereka berdua yang memperlihatkan kepedulian terhadap siswi dari kelas menengah seperti gue. Sisanya? Hanya bermanis muka menjelang ujian dan ulangan harian. Kesal juga sih. Rasanya nggak enak dimanfaatkan sama si Kaya, tapi apa boleh buat, demi kenyamanan selama bersekolah di sini terpaksa dituruti.

Jangan tanya lagi gimana mereka rebutan ingin satu kelompok dengan gue, ketika guru memberi tugas. Beuh, berbagai makanan dan minuman tersedia di atas meja sebagai sogokan, agar mau bantuin mereka. Ada juga yang langsung tarik gue ke kantin ingin mentraktir makan siang.

Hari ini berlalu dengan cukup baik, meski hati masih gondok dengan kelakuan si Kunyuk tadi pagi. Ketika pergantian jam pelajaran, tiba-tiba kebelet pipis. Nggak tahan lagi, gue langsung berdiri ingin beranjak ke toilet.

“Mau ke mana, Rin?” tanya Lova sebelum gue keluar dari kelas.

“Biasa, toilet. Udah kebelet nih,” jawab gue menoleh sekilas kepadanya.

“Ikut.”

Lova kini bergelayut manja merangkul lengan ini.

“Eh, lo kudu hati-hati sama geng Chibie, Rin. Bahaya tuh mereka. Jangan cari gara-gara deh,” nasihat Lova entah keberapa kalinya sejak kemarin.

“Iya, Bawel. Dari kemarin ngomongnya itu mulu ih,” cibir gue disambut gelak tawanya.

“Habis ngeri bayangin kalau lo sampai di-bully sama mereka. Nggak ada yang bakal tolongin kalau sampai kejadian.”

“Lo juga gitu dong?”

Lova menggeleng cepat sambil menggoyangkan tangannya ke kiri dan kanan, lantas menyelipkan rambut sebahunya di belakang telinga. Dia mendekatkan bibir ke telinga dan berbisik, “Gue memang nggak akan tolongin lo secara langsung, tapi pasti cari bantuan.”

“Baik banget sih lo jadi teman.”

“Iya dong. Masa gue biarin lo kesusahan.” Lova menaik-naikkan alis tebalnya.

Kami kemudian tertawa sambil memasuki toilet, setelahnya masuk ke bilik berbeda. Lega rasanya setelah melepaskan yang tadi mengganjal. Gue berdiri lagi dari kloset dan membuka kunci pintu. Loh, ini pintu kenapa jadi nggak bisa buka?

“Lova?” panggil gue.

“Kenapa, Rin?” sahut Lova dari bilik paling ujung. Kalau nggak salah dia masuk ke bilik yang dekat dinding tadi.

“Pintu bilik tempat gue kok nggak bisa dibuka ya?”

“Masa sih?”

Nggak lama terdengar pintu bilik terbuka, mungkin itu yang ditempati Lova.

“Tolong lihatin dong, Lov,” pinta gue.

Lova nggak nyahut lagi setelah itu.

“Lova? Lo masih di luar, ‘kan?”

Hening. Suara Lova nggak terdengar lagi. Perasaan jadi nggak enak. Nggak mungkin dia ninggalin gue sendirian terkunci di dalam sini.

“Lova?” panggil gue lagi mulai panik sambil menggedor pintu.

Tiba-tiba tubuh ini sudah basah dengan air. Siapa yang punya kerjaan nih? Spontan gue mendongakkan kepala ke atas dan melihat salah satu anggota geng Chibie yang samperin ke kelas kemarin. Dia tertawa diiringi yang lainnya. Dada seakan bergelora sekarang. Keseeel.

Gue jadi paham kenapa Lova nggak nyahut dari tadi. Pasti sekarang pergi cari bantuan, seperti apa yang dikatakannya sebelum kami tiba di sini.

“Gue udah kasih peringatan sama lo, jangan deketin Brandon. Eh, masih aja deketin dia,” tutur suara cempreng disambut tawa yang lain.

“Apapun yang terjadi, jangan lawan mereka, Rin,” kata Lova kemarin terngiang.

Oke, Ri. Tenang, jangan sampai terpancing dengan kelakuan mereka. Ini air juga bukan air kotor. Rileks, batin gue menyabarkan diri.

Gue harus menelepon seseorang sekarang. Tangan bergerak merogoh saku. Ponsel mana, ponsel? Seketika panik melanda saat ingat handphone ada di dalam tas. Asli hari ini apes. Pagi tadi digangguin si Kunyuk, sekarang digangguin si Chibie. Kalian orang kaya kenapa sih selalu nge-bully orang biasa kayak gue?

Jadi ingat Shan Chai di serial yang pernah booming lima tahun lalu. Dia diperlakukan kayak gini juga gara-gara ngelawan Dao Ming Si. Apa mereka kayak gini ke gue gara-gara ngelawan sama si Kunyuk? Ah, pengin maki-maki cowok dekil itu jadinya.

Kedua tangan kini saling berpagutan sambil mengusap lengan, karena tubuh mulai kedinginan. Toilet terasa dingin sehingga badan perlahan menggigil. Gue nggak suka terlihat lemah begini, Apalagi ketika kedinginan.

Please, Lov. Cari bantuan agar gue bisa keluar dari sini, rintih hati ini.

“Kalian ngapain di sini?” Tiba-tiba terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga. Suara nggak terlalu berat dan paling enggan didengar sekarang.

Seluruh cewek yang entah berapa orang di luar sana serentak terdiam mendengarnya. Suasana hening beberapa saat, gue nggak tahu apa yang sedang terjadi. Nggak lama terdengar pintu dibuka dari luar. Sepasang tangan langsung memasangkan jaket di tubuh yang sekarang menggigil. Sang Penyelamat akhirnya datang juga.

Tanpa sadar, kaki melangkah mengikuti arah ke mana orang ini membawa gue. Pandangan sempat melihat ke arah Lova yang menunjukkan raut lega. Yakin banget, pasti dia yang meminta pertolongan. Di luar toilet ternyata banyak siswi yang berdiri melihat ke arah kami berdua.

“Apa yang terjadi, Bran?” tanya seorang siswa yang gue nggak kenal.

Sesaat diri ini tersentak, ketika menyadari orang yang nolongin gue adalah si Kunyuk. Perlahan kepala bergerak melihat ke arahnya yang masih merangkul bahu ini meninggalkan keramaian. Mata berkedip pelan dengan bibir sedikit menganga. Ngapain dia nolongin gue lagi sekarang? Ini nggak mimpi, ‘kan?

Si Kunyuk diam saja, tanpa merespons pertanyaan siswa tadi. Kakinya terus melangkah menaiki tangga. Gue kayak orang bego pakai ikut-ikutan dia segala. Gimana kalau dia culik terus sekap gue? Seketika diri ini bergidik membayangkannya.

Tak lama, pintu terbuka dan terlihat cahaya terang matahari pukul 10.00 yang bagus untuk berjemur. Ternyata dia membawa gue ke atap gedung sekolah. Si Kunyuk menarik lagi jaket tadi.

“Buka baju lo sekarang,” suruhnya membuat mata ini membulat seketika.

What?

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 74: From Just Friend to Just for Fun

    BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 73: Ingin Berjumpa denganmu Sekali Saja

    BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 72: Perasaan yang Tidak Tenang

    BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 71: Sesuatu yang Salah

    ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 70: Missing You

    ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 69: My (Her) Wedding Day

    ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status