Share

BAB 4

[JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]

 

Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. 

 

Wanita itu benar-benar keterlaluan! 

 

"Za!" 

 

Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. 

 

"Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. 

 

Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. 

 

"Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. 

 

Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. 

 

"Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. 

 

Aku mengangguk lesu. 

 

Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!" gerutu Daren. 

 

Kali ini aku tak membantah ucapan Daren, apa yang dia ucapkan benar adanya. Jika Ayah memang peduli dengan Nara, pasti tadi malam tak akan pergi menuruti permintaan istri barunya. 

 

"Ya sudah, enggak usah dipikirkan. Sekarang ada kami, jadi jangan banyak pikiran ya!" ucap Bunda Rena, seraya merangkulku. 

 

___

 

Nara sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, demamnya sudah turun. Ia juga sudah siuman, tapi masih belum membuka matanya. Wajahnya begitu pucat, wajah yang biasa ceria itu mendadak sendu. 

 

Di ruang rawat hanya ada aku dan Daren, Bunda Rena pamit pergi menemui temannya, seorang dokter saraf. Beliau akan mengusahakan untuk kesembuhan Nara. 

 

Seandainya orang tuaku juga begitu, ah, seandainya ....

 

"Gila nyokap lo!" celetuk Daren, seraya menunjukan layar ponselnya ke arahku. 

 

Di i*******m Ibu memamerkan tiga buah tiket liburan ke Bali, ia juga memamerkan betapa lincahnya Dira berlari ke sana kemari. Gadis kecil itu, merenggut semua kebahagiaan Nara.

 

Keterlaluan! 

 

"Sudahlah, mungkin bagi Ibu hanya Dira anak satu-satunya yang hadir dalam hubungan penuh cinta dan restu orang tua. Sementara sama Ayahku, mereka menikah tanpa restu, tak ada dukungan keluarga dan lain sebagainya," ucapku seraya tersenyum miris. 

 

Daren mencebik. "Orang tua aneh! Ya salah mereka nikah tanpa restu orang tua, kok ngelampiaskannya ke anak yang gak berdosa!" gerutunya. 

 

Aku mengendikan bahu. Lebih memilih mencari tahu keberadaan Ayah, lelaki yang berjanji akan datang lagi ke sini nyatanya sama sekali tak menampakan batang hidungnya. Bahkan pesan yang dikirim tadi pagi sudah dihapus untuk semua orang, beruntung aku sudah mengambil tangkapan layar atau schreenshoot. 

 

Ternyata di i*******m Dela mengikuti akun kloninganku, cukup banyak followersku di akun itu, karena sering membagikan kata-kata bijak.

 

I*******m Dela kebetulan disetting untuk publik, setengah jam yang lalu dia memposting sebuah foto tengah dipeluk dari belakang oleh seorang pria.

 

Tentu saja pria itu, Ayah. 

 

Kubuka story instagramnya, mereka ternyata sudah tak berada di kota ini lagi. Ayah dan Dela pergi ke Lombok, berbulan madu. 

 

Kali ini kalian semua berbahagia di atas penderitaan kami, akan kupastikan suatu saat kalian merasakan sakit seperti yang aku dan Nara rasakan! 

 

___

 

"Ibu ... Nara kangen," 

 

Aku terkesiap ketika mendengar suara Nara, matanya masih terpejam. Sepertinya ia mengigau. Bu, apakah tak ada sedikitpun rindu untuk Nara? Apa selama ini rasa cinta dan kasih sayang kami padamu, hanya bertepuk sebelah tangan? 

 

"Nara ... ini Kakak," panggilku seraya mengusap punggung tangannya. 

 

Nara mengerjapkan kedua matanya. "Kok kita di sini?" tanyanya lirih. 

 

"Kemarin Nara kejang, jadi dibawa ke rumah sakit. Nara sekarang ngerasa badannya gimana?" tanyaku. 

 

Ia menggeleng. "Nara pengen ketemu Ibu," 

 

Aku menggigit bibir, tak mungkin aku berbohong lagi dengan mengatakan ibu sibuk kerja. Nara sudah cukup mengerti, terlebih melihat ibu teman-temannya yang setiap sore selalu pulang kerja tepat waktu. Rata-rata di tempat tinggal kami, suami istri sama-sama bekerja sehingga anak-anak mereka hanya bersama ART ataupun babysitter. 

 

"Ibu masih sibuk kerja, ya?" tanyanya lagi.

 

Aku mengangguk. 

 

"Sabar ya, sekarang 'kan ada Kakak. Sekarang Nara sembuh dulu, nanti baru ketemu Ibu," ucapku berusaha menyenangkan hatinya. 

 

Tak ada ekspresi apapun di wajah Nara, seolah sudah muak dengan kebohongan-kebohongan yang sering kuucapkan. 

 

____

 

Hampir seminggu di rawat, akhirnya Nara diperbolehkan pulang. Aku begitu terkejut, ketika di pagar terpasang spanduk bahwa rumah ini di jual tanpa perantara. Tertera nomor w******p Ayah dan Dela.

 

Bahkan beberapa barang kami sudah ada di luar. 

 

"Mbak kenapa gak ngasih tahu aku?" tanyaku pada Mbak Mira. 

 

Wanita berusia duapuluh tujuh tahun itu menggeleng. "Tadi pagi masih belum ada kok, Za!"

 

Aku menghubungi Ayah, tapi nomornya tak aktif. 

 

Sial, nomorku diblokir! 

 

Entah apa yang membuat Ayah setega ini pada kami, jika rumah ini di jual kami mau tinggal di mana? 

 

"Ke rumah Mbak aja dulu ya, Za. Kasihan Nara kalau terlalu lama di luar, mau hujan juga ini!" ucapnya. 

 

Aku mengangguk menyetujui ucapan Mbak Mira. Membuka pintu rumah pun sudah tak bisa, karena engsel pintunya sudah diganti. Ini semua pasti hasutan wanita gi la itu! 

 

Aku mengecek m-banking, saldoku bertambah. 

 

Kucek mutasi, ternyata tadi pagi Ayah transfer uang dengan catatan : nafkah terakhir. 

 

Perasaan ini tak bisa kugambarkan bagaimana hancurnya. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, duniaku hancur berantakan. Ternyata ancaman dan hasutan Oma dan wanita muda itu membuat Ayah takluk dan melupakan kewajibannya. Bukankah anak perempuan adalah tanggung jawab seorang Ayah sampai kami menikah? 

 

Ayah hanya mengirimkan uang sepuluh juta, sementara tabunganku sudah hampir habis karena membayar biaya rumah sakit yang tak ditanggung jaminan kesehatan, karena kami tak punya asuransi apalagi BPJS. Ditambah Nara sekarang harus rutin minum obat, sementara harga obatnya tak murah. 

 

"Mbak, bisa gak nanti minta tolong Adik ipar Mbak buat angkutin barang-barangku di depan rumah itu?" tanyaku. 

 

Mbak Mira mengangguk. "Bisa, Mbak akan selalu bantu kamu," ucapnya. 

 

Ayah benar-benar keterlaluan! 

 

Sesampainya di rumah Mbak Mira, aku menitipkan Nara di sana lalu mencari kontrakan tak jauh dari tempat kerja. Mencari kontrakan yang sesuai budget ternyata gak mudah, apalagi gajiku sebagai barista tak banyak.

 

Bagaimana caranya aku membayar Mbak Mira nanti? Bagaimana aku kerja, jika tak ada yang menjaga Nara? 

 

Kepalaku terasa ingin pecah, menanggung semua ini sendirian. Sementara kedua orang tuaku, mereka tengah berbahagia bersama keluarga barunya. Kami harus menanggung luka karena perbuatan mereka. 

 

Hidup ini tak adil! 

 

___

 

Jangan lupa bayar parkir dengan subscribe dan rate cerita ini ya! 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status