Share

BAB 6

Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. 

 

[Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]

 

Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.

 

Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. 

 

"Kakak kenapa?" tanya Nara. 

 

Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. 

 

"Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. 

 

Aku tersenyum tipis. 

 

Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. 

 

Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yang terpenting sekarang Kakak akan terus membahagiakanmu. Suatu saat mereka akan menyesal telah menelantarkan kamu seperti ini. 

 

Terdengar suara ketukan di depan pintu, sepertinya Daren dan Bunda Rena sudah datang. Aku beranjak ke depan, aku mengernyit saat melihat dari jendela, yang terparkir di depan kontrakan bukan mobil Daren atau pun Bunda Rena. 

 

Saat kubuka pintu, tubuhku mematung menatap seorang wanita paruh baya dengan wajah angkuh menatapku. 

 

Dia, Oma. Wanita yang telah melahirkan Ayah, diusianya yang ke enampuluh tahun masih tetap segar dan kuat meski tak lagi muda. 

 

"Di sini ternyata kalian tinggal," ucapnya meremehkan, dengan tatapan yang begitu menghina. 

 

Ia juga menatap penampilanku dari atas sampai bawah, lalu tersenyum sinis. Senyuman yang kubenci.

 

"Ah, saya gak mau berlama-lama di rumah kumuh ini. Saya cuma mau memberi sebagian penjualan rumah anak saya, setelah ini jangan lagi ganggu kehidupan anak saya. Sampai kapanpun, saya tak akan pernah menganggap kalian cucu!" ucapnya panjang lebar seraya melemparkan amplop cokelat ke dadaku. 

 

Bahkan tanpa sempat kuraih, amplop itu terjatuh ke lantai. 

 

"Baik, akan saya anggap Ayah saya sudah mati, kami ini anak yatim piatu!" ucapku seraya mengambil kembali amplop cokelat itu, lalu menarik tangan beliau dan mengembalikan amplop berisi uang itu. 

 

"Kami masih bisa hidup, meskipun tanpa uang dan bantuan dari kalian!" tegasku. 

 

Harga diriku begitu tercoreng dengan perlakuannya, kami dianggap seperti pengemis. 

 

Oma tergelak, lalu melipat tangan di depan dada. "Paling juga sebentar lagi ngemis-ngemis ke anak saya, minta uang!" ucapnya seraya berlalu. 

 

Dadaku bergemuruh, kupejamkan mata lalu menghela napas kasar. Jantungku berdebar kencang, tubuhku bergetar. Kenapa mereka semua begitu jahat?! 

 

"Jangan menangis Zahira!" lirihku seraya menatap kepergian mobil sedan mewah itu. 

 

Aku kembali masuk ke dalam rumah, tangisku tumpah setelah pintu tertutup. Dulu, aku berharap Ayah tak mengabaikan kami seperti Ibu, tapi kenyataannya sama saja. Ayah lebih menuruti permintaan Oma dan istri barunya untuk meninggalkan kami. 

 

Apakah tak ada sedikitpun kasih sayang di hati mereka untuk kami? 

 

"Za!" 

 

Buru-buru kuhapus air mataku ketika mendengar suara Daren. Setelah memastikan, tak ada lagi bekas air mata di wajah ini aku kembali membuka pintu. 

 

Daren menatapku tajam. "Habis nangis?" tanyanya. 

 

Aku menggeleng, "kelilipan tadi."

 

Tentu saja itu hanya alasan, jika ia tahu Oma baru saja datang untuk menghina kami mungkin ia akan marah besar. 

 

"Nara mana?" tanyanya. 

 

"Ada di dalam, masuk aja. Tadi dia asik main boneka, oh iya, Bunda mana?" tanyaku. 

 

"Ke Indomaret katanya, nanti balik lagi," ucapnya seraya masuk ke dalam rumah. 

 

Aku membuka pintu dengan lebar, agar tak ada yang berpikiran buruk dengan kedatangan Daren. Terdengar gelak tawa Nara bermain bersama Daren. 

 

"Kamu gak bisa izin hari ini?" tanya Daren, ketika aku ikut bergabung dengan mereka. 

 

"Sudah kebanyakan izin, Ren. Nanti aku dipecat, emang kamu mau nafkahin aku kalau aku gak kerja?" gurauku. 

 

Daren menatapku serius. "Kalau kamu mau, yuk kita nikah! Aku sih siap aja nafkahin kamu lahir batin!" sahutnya. 

 

Aku tergelak. "Mana ada sahabat jadi manten!" 

 

"Eh, di perusahaan Ayahmu belum ada lowongan ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, aku tak mau terjebak perasaan dengan sahabatku sendiri. 

 

Daren menghela napas. 

 

"Belum ada," jawabnya singkat, lalu kembali bermain dengan Nara. 

 

___

 

Nara seminggu ini diajak orang tua Daren berobat ke Malaysia, entah dengan cara apa aku membalas kebaikan mereka pada Nara. Hampir setiap hari juga Daren datang mengantarkan makanan atau sekedar antar jemput aku ke tempat kerja. 

 

"Za, kemarin ada Ibu-Ibu nyari kamu!" ucap Riana, rekan kerjaku. 

 

"Siapa?" tanyaku. 

 

"Gak tahu, dia cuma tanya jam kerjamu. Katanya sih hari ini bakal datang ke sini lagi," ucapnya. 

 

Apa mungkin Ibu? Untuk apa dia mencariku? 

 

Kemarin Ibumemang menelponku menggunakan nomor Nenek, ketika ia selesai mengucapkan salam telpon kumatikan secara sepihak. 

 

"Kalau orang itu datang lagi, bilang aja aku gak ada ya! Takutnya orang jahat!" ucapku seraya pamit untuk melaksanakan salat zuhur. 

 

Usai melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim, aku mengecek akun facebookku, Ibu baru saja memposting foto Dira tengah terbaring di rumah sakit, tapi seperti ada yang janggal. Kemana tangan kiri, Dira? 

 

Begitu banyak komentar di postingan Ibu, mereka turut prihatin atas apa yang menimpa Dira. Ada juga yang mengingatkan bahwa mungkin ini karena perbuatan Ibu, yang menelantarkan aku dan Nara. 

 

Sejak video aku dan Ibu ribut viral di tok tok, akun f******k Ibu memang jadi ramai. Bahkan Ibu sempat membuat klarifikasi palsu, dengan mengatakan bahwa semua ini hanya kesalahpahaman, tapi tak ada yang percaya.

 

Aku kembali menutup sosial mediaku dan kembali ke tempat kerja. 

 

"Kenapa?" tanyaku pada Riana yang wajahnya tengah menekuk. 

 

"Ibu itu tadi datang lagi, kali ini dia ngehina kamu di depan manager. Untungnya Pak Manager gak percaya begitu saja, bahkan mengusir Ibu itu karena mengganggu kenyamanan pengunjung," ucapnya. 

 

Aku mengernyit. "Orangnya bagaimana?" tanyaku. 

 

Kukeluarkan ponsel, lalu menunjukan foto Ibu pada Riana. "Apa wajahnya seperti di foto ini?" tanyaku.

 

"Mirip sih, tapi yang ini lebih tua." 

 

Apa Nenek yang datang ke sini? 

 

"Ibu itu ngehina aku gimana?" tanyaku. 

 

"Katanya sih, gara-gara kamu cucunya jadi kecelakaan. Kamu gak mau nolongin, dan malah nyumpahin cucunya mati." Mendengar cerita Riana, mendadak emosiku kembali naik. Rupanya Nenek yang datang ke sini, bahkan memfitnahku seperti itu. 

 

Apa hubungannya kecelakaan Dira denganku? Padahal saat kecelakaan terjadi, mereka tengah liburan tanpa adanya aku di sana. 

 

Lagipula, untuk apa aku membuang-buang waktu menyumpahi Dira? 

 

Dasar keluarga aneh! 

 

___

 

Daren menjemputku seperti biasa, sebelum pulang ia membawaku makan malam. "Eh, tadi aku ketemu Ibumu di pegadaian," ucapnya. 

 

"Biarlah, aku gak peduli. Tadi juga Nenek datang ke tempat kerjaku, fitnah aku sebagai penyebab kecelakaan Dira," ucapku menceritakan kejadian tadi siang. 

 

Daren geleng-geleng kepala, mungkin tak menyangka ada orang yang begitu gila seperti keluargaku. Aku pun juga tak menyangka, bisa terlahir dari rahim wanita yang tak punya hati nurani. 

 

"Oh iya, Ayah sama Bunda mau ajak kamu juga pindah ke Malaysia. Apa kamu mau?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. 

 

Aku bergeming, kalau pindah ke sana apa enggak semakin merepotkan keluarga Daren? 

 

"Aku di sini aja, Ren," ucapku. 

 

Daren menghela napas. "Aku gak mungkin ninggalin kamu di sini sendirian Za, kebetulan Ayah nyuruh aku ngurusin perusahaan di sana. Ayah sama Bunda fokus dengan pengobatan Nara," ucapnya. 

 

Belum sempat aku berbicara, tiba-tiba rambutku seperti di tarik dari belakang. 

 

"Oh jadi di sini, kamu anak durhaka!" 

 

BUG! 

 

PLAK! 

 

"DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status