Share

BAB 7

"DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" 

 

Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. 

 

"Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" 

 

PYAR! 

 

"Tante!" 

 

Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. 

 

Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. 

 

Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. 

 

"Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. 

 

Dadaku naik turun mengikuti deru napasku yang tak beraturan. 

 

"Dira kecelakaan itu bukan salahku! Tapi kelalaian kalian!" tegasku.

 

Wajah yang masih terlihat cantik diusianya yang tak lagi muda itu, mendadak pias. 

 

"Jangan kebiasaan mengkambing hitamkan orang lain, untuk melindungi diri sendiri!" ketusku, seraya melepaskan tangan Ibu dengan kasar. 

 

Ibu membuang wajahnya ke arah lain, lalu mendengkus kasar. "Memang ini salah kamu 'kan, pasti kamu yang nyumpahin Dira supaya cacat!" ucapnya tetap menyalahkanku. 

 

Aku tergelak. "Untuk apa aku mendoakan keburukan untuk orang lain? Seharusnya Ibu mikir! Kemarin Ibu ngatain Nara penyakitan 'kan? Bisa jadi ini teguran untuk Ibu!" 

 

Kali ini Ibu benar-benar membisu, tak lagi menyahuti ucapanku. 

 

"Jangan pernah lagi anggap kami anakmu, seperti yang anda bilang, hanya Dira permata hati anda!" ucapku seraya beranjak meninggalkan Ibu. 

 

Tak lama Daren menyusulku kembali ke mobil. 

 

"Kepalamu berdarah!" ucapnya seraya mengusap keningku. 

 

Aku bergeming, rasa sakit ini tak seberapa dengan sakitnya hati ini. Bisa-bisanya kesalahan mereka, dilimpahkan kepadaku. Apa hubungannya Dira diamputasi dengan aku? Kecelakaan itu terjadi kan karena kelalaian mereka, membiarkan Dira bermain dipinggir jalan, hingga terjadi kejadian nahas itu. Kebetulan berita kecelakaan Dira, masuk portal berita di sosial media.  

 

 Kuhela napas kasar. "Ayo pulang, Ren! Aku lelah," lirihku seraya memejamkan mata. 

 

___

 

"Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanya Riana ketika aku baru sampai di tempat kerja. 

 

"Maksudmu?" tanyaku.

 

Gadis berperawakan mungil itu menatapku cemas. "Tadi pagi aku lihat di tok tok, i*******m, f******k lagi ramai bahas perkelahian antara Ibu dan anak, ternyata itu kamu. Gila memang Ibumu, bisa-bisanya menyalahkan kamu!" cerocosnya.

 

Zaman sekarang jika terjadi keributan atau apapun itu cepat sekali viral, banyak sekali orang yang lancang merekam kejadian tanpa seizin yang bersangkutan. Tapi, ini juga salah Ibu yang marah-marah di tempat umum. 

 

"Ya begitulah," sahutku. 

 

Riana menepuk bahuku. "Sabar ya!" ucapnya. 

 

"Thanks." 

 

Kepalaku sedikit pusing hari ini, terlebih memikirkan tawaran dari Daren yang mengajakku untuk pindah ke negara tetangga. 

 

"Apa ikut aja ya? Tapi takutnya merepotkan Bunda Rena," gumamku. 

 

Ting! 

 

Ponselku berbunyi, kulihat dari jendela notifikasi ada w******p dari nomor tak dikenal.

 

[Tolong kamu buat klarifikasi tentang keributan tadi malam, sudah cukup istri ....]

 

Aku menaikan alis sebelah, pasti suaminya Ibu. 

 

Kuabaikan saja pesan itu. Sampai kapanpun, aku tak akan pernah menjelaskan tentang apapun ke media. Kita ini siapa memang? Artis? Lagi pula keributan itu Ibu yang memulai, dia saja yang klarifikasi kenapa harus aku? 

 

Ting! 

 

Kembali ponselku berbunyi, kali ini dari Daren. 

 

[Omamu meninggal, tadi Ayahmu nelpon Ayahku, nyuruh kamu untuk datang ke sana,]

 

Tak ada rasa sedih atau rasa yang lain, ketika mengetahui wanita yang menemuiku minggu lalu kini telah tiada. 

 

Lalu, apa urusanku untuk datang ke sana? Bukankah wanita tua itu bilang, ia tak akan pernah menganggapku bagian dari keluarganya?

 

Mungkin Ayah sudah membuka blokirannya padaku, tapi sayang aku sudah memblokir dan menghapus nomornya dari ponselku. 

 

[Aku tak akan datang ke sana, mereka hanya orang lain bagiku!] 

 

Setelah membalas pesan Daren, aku juga memblokir nomor suami Ibu tanpa membaca pesannya. Lalu kuhapus semua nomor keluarga Ayah dan Ibu, aku tak mau lagi ada sangkut paut dengan mereka. 

 

Toh, mereka yang lebih dulu membuangku. Menjadikanku seperti anak yatim piatu. 

 

"Kita lihat saja nanti, anak tak berguna dan anak penyakitan ini, suatu saat akan membuat kalian menyesal telah membuang kami!" gumamku. 

 

___

 

Setelah tak berhasil membujukku untuk klarifikasi, rupanya Ibu akhirnya membuat klarifikasi di f******k dengan air mata buayanya, menangis seolah terzalimi.

 

"Sebenarnya saya tak akan seperti ini jika anak itu tak keras kepala, sejak dulu selalu membangkang dan menyalahkan saya,"

 

Lagi-lagi, pernyataan palsu dia lontarkan. Miris sekali, di saat orang tua di luar sana, melindungi anak-anaknya. Hanya Ibu yang menjatuhkan dan merusak mental anak-anaknya. 

 

Miris sekali. 

 

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh. Sepintar apapun Ibu menutupi kesalahannya, suatu saat pasti akan terbongkar. Biarlah saat ini ia berusaha menarik simpati para netizen. Orang cerdas pasti tahu mana yang salah dan benar. 

 

Beruntung, aku tak pernah memakai foto atau data asli ketika bermain sosial media. Bahkan selama duapuluh tahun hidup, aku tak pernah mengunggah fotoku di f******k ataupun i*******m.

 

"Zahira!" 

 

Tubuhku mematung kala melihat Ayah dan Dela ada di depan kontrakan, mau apa mereka ke sini? Kenapa mereka bisa tahu alamatku di sini? 

 

Aku berdiri dari dudukku, menatap mereka datar. Terutama si perempuan norak yang bergelayut manja di lengan Ayah. 

 

"Ada apa ke sini?" tanyaku tanpa basa basi. 

 

Ayah menghela napas kasar. "Omamu meninggal, Oma tak bisa dikuburkan kecuali kamu datang ke sana. Sejak tadi ada saja halangannya ketika dikuburkan," ucap beliau dengan wajah muram. 

 

"Apa hubungannya dengan saya?" sahutku cuek. 

 

Dela mendengkus. "B0d0h banget sih!" gumamnya masih bisa kudengar. 

 

Aku menaikan alisku sebelah. "Maaf sampai kapanpun saya tak akan menemui jasad Ibu anda ataupun kuburannya, bukankah dulu dia bilang aku dan Nara bukanlah cucunya?" sinisku. 

 

Ayah mengusap wajahnya kasar. "Kali ini saja Za, maafkan Omamu," ucap beliau memohon. 

 

Aku tergelak. "Giliran salah satu dari kalian mati saja, memohon-mohon ke sini. Kemarin kemana saja? Malah nyumpahin adikku cepat mati!" ucapku seraya menepis tangan Ayah yang hendak menyentuh bahuku. 

 

Ayah tampak keheranan. "Siapa yang nyumpahin, kemarin Dela bilang adikmu sudah sembuh dan kembali normal, bahkan kamu yang meminta Ayah menjual rumah di sana, untuk bayar rumah sakit sama kuliah," ucapnya panjang lebar. 

 

Sementara Dela wajahnya mendadak pucat. "Mas, sudahlah, kalau dia gak mau, kita pulang aja!" rengeknya. 

 

"Tunggu dulu!" ucapku seraya mengeluarkan bukti transferan terakhir Ayah dan pesan yang dikirimkan Ayah terakhir kali, untungnya sudah kuschreenshoot. 

 

"Ini siapa pengirimnya? Lagi pula, bukannya Ayah tahu, kalau aku enggak kuliah. Biaya perawatan Nara di rumah sakit juga sudah dibayar pakai uang tabungan," jelasku. 

 

Ayah menatap Dela nyalang, baru pertama kalinya aku melihat Ayah menatap orang semengerikan itu. 

 

"Ayah sama sekali gak pernah nulis itu, apalagi transfer dengan catatan seperti itu, minggu lalu bahkan Dela mengatakan sudah mengirimkan uang untuk kamu!" ucap Ayah lagi. 

 

Aku mengendikan bahu. "Ya, tanya saja sama j4l4ng Ayah, uangnya dikemanain. Lagian percaya aja sama perempuan kayak dia!" sahutku. 

 

"M-mas, a-ku bisa jelasin!" ucap Dela ketakutan. 

 

PLAK! 

 

Satu tamparan mendarat di wajah mulusnya.

 

"Mas, aku ini lagi hamil!" rengeknya dengan mata berkaca-kaca.

 

Ayah mencengkram wajah Dela. "Bisa-bisanya kamu dan Mama bersekongkol membohongiku!" ucap Ayah geram. 

 

Oh, ternyata Oma juga turut terlibat. 

 

"Makanya Yah, jangan terlalu buta hingga menutup mata dan hati. Sampai enggak bisa membedakan mana yang benar dan salah!" sinisku. 

 

"Oh iya satu lagi, semoga mama kesayangan Ayah dilapangkan kuburnya. Dan orang-orang yang sudah ia sakiti memaafkan kesalahannya, kecuali aku. Sampai kapanpun aku tak akan memaafkannya!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah, kututup pintu dengan keras.

 

___

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status