Share

BAB 8

Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. 

 

Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. 

 

Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. 

 

Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. 

 

Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. 

 

"Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. 

 

Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi menjauh, membuka lembaran baru bersama keluarga Daren di sana. 

 

___

 

Daren menatapku. "Kamu yakin 'kan mau pindah?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk, "iya, aku sudah lelah, Ren, menghadapi mereka yang egois." 

 

Daren mengusap air mata yang kembali mengalir di pipiku, lalu membawaku masuk ke dalam pelukannya. 

 

"Puas-puaslah menangis, setelah ini kita buka lembaran baru bersama!" ucapnya. 

 

Tangisku semakin pecah, selama tiga tahun aku berusaha kuat menghadapi semua sendirian. Hari ini pertahananku runtuh, aku yang jarang menangis akhir-akhir ini sering menangis terlebih ketika sendirian. 

 

"Sudah nangisnya?" tanya Daren. 

 

Aku mengangguk. 

 

"Di sana nanti, kamu lanjutkan pendidikanmu. Kejar cita-citamu menjadi arsitek, buktikan sama mereka bahwa kamu bisa sukses!" ucapnya seraya menangkup wajahku. 

 

Terasa desiran aneh ketika tatapan kami saling bertemu, Daren mendekatkan wajahnya ke arahku. Hidung kami saling bersentuhan, bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya. 

 

Aku membuang wajah ke samping, lalu menjauhkan diri dari Daren. 

 

"Maaf Za, aku tadi khilaf!" ucapnya salah tingkah. 

 

Aku hanya mengangguk, lalu kembali membereskan berkas-berkas penting yang diminta Daren untuk mengurus kepindahanku ke Malaysia. 

 

Bukan aku tak peka dengan perasaan Daren, akupun memiliki perasaan yang sama dengannya. Hanya saja aku tak mau merusak hubungan persahabatan ini. 

 

"Omamu sudah dimakamkan, akhirnya dikremasi," ucap Daren. 

 

Aku mengernyit bingung. "Lho, Oma 'kan islam? Kenapa dikremasi?" 

 

"Kamu enggak tahu emang, kalau Omamu itu mualaf? Keluarganya yang lain masih beragama Hindu, tadinya mau dimakamkan seperti biasa tapi karena ada kendala entah apa, akhirnya ya pihak keluarga Omamu memutuskan untuk mengkremasi jenazah Oma di rumah duka grand heaven."

 

Aku melongo mendengar penjelasan Daren, aku yang notabene cucunya saja tak tahu silsilah keluarga Ayah. Karena sejak dulu, Mama tak pernah mengajakku berkunjung ke sana, begitu juga Ayah. 

 

"Kok kamu tahu?" tanyaku. 

 

"Kebetulan pamanku tinggalnya satu kampung sama Omamu, jadi buah bibir para tetangga kematiannya yang mendadak, dikait-kaitkan dengan kezalimannya selama ini pada tetangga. Banyak yang sakit hati karena ulah Omamu," terangnya. 

 

"Dia bukan Omaku!" tukasku. 

 

"Iya deh!" sahut Daren.

 

___

 

Hari ini, adalah hari terakhirku kerja. Daren memintaku berhenti kerja mulai besok, karena harus mengurus berkas-berkas yang cukup memakan waktu. Kami harus ke kantor imigrasi, karena aku tak mempunyai paspor. 

 

"Yah, enggak ada lagi deh teman gosipku!" celetuk Riana setelah mengetahui bahwa aku akan berhenti kerja.

 

"Kan bisa telponan, Markonah!" celetuk Pak Syam, managerku. 

 

Riana mencebik, "gak asih ah telpon-telponan, enakan ketemu langsung lebih dapat feelnya!" 

 

Pak Syam geleng-geleng kepala mendengar ucapan Riana. "Dasar biang gosip!" celetuknya, membuat Riana mendelik kesal. 

 

"Daripada situ bujang lapuk!" ucap Riana tak mau kalah. 

 

"Udah ah, ntar jodoh lho!" sahutku. 

 

Riana bergidik seolah jijik. "Amit-amit jabang bayi, ogah berjodoh sama aki-aki!" ucapnya membuatku tergelak. 

 

Usia Pak Syam memang tergolong sudah  sangat matang untuk menikah, entah kenapa lelaki berusia tigapuluh enam tahun itu belum juga mengakhiri masa lajangnya. 

 

"Kualat kamu nanti, ngatain saya aki-aki!" sahut Pak Syam, Riana menjulurkan lidahnya lalu melenggang pergi. 

 

___

 

Kupikir Ibu tak akan menemuiku lagi, tapi ternyata beliau kembali mendatangiku ke tempat kerja. Beruntung jam kerjaku sudah berakhir, Ibu datang tak sendirian beliau bersama Nenek dan juga adiknya yang terkenal nyinyir, Tante Mita. 

 

"Ibu mau bicara!" tegas beliau. 

 

Kuikuti saja maunya, toh sebentar lagi kami tak akan bertemu kembali. 

 

"Mau bicara apa? Di sini saja!" ucapku seraya duduk di gazebo depan cafe tempatku kerja. 

 

Nenek dan Tante Mita menatapku sinis, entah apa maksudnya. Padahal aku tak pernah mencari masalah dengan mereka. 

 

"Rumah yang dulu kenapa di jual?" tanya Ibu tanpa berbasa basi, menanyakan kabarku atau Nara pun tidak. 

 

UUD, ujung-ujungnya duit. 

 

"Tanyain aja ke ayah, yang jual rumah itu istri barunya ayah. Aku gak tahu apa-apa, kebagian duitnya juga enggak," jawabku. 

 

Ibu mencebik. "Jangan bohong kamu, Za! Ibu sekarang butuh uang, untuk biaya pengobatan adikmu!" ucapnya. 

 

Aku menaikan alis sebelah. "Adikku? Nara maksudnya? Pengobatan Nara sudah dibiayai keluarga Daren!" 

 

Ibu memutar bola matanya jengah. "Dira, Zahira! Bukan Nara, Ibu enggak peduli dengan anak itu, yang Ibu pikirkan sekarang masa depan Dira. Kasihan dia, kalau hanya punya satu tangan. Bagaimana masa depannya? Apa kamu enggak kasihan?" tanyanya dengan wajah kesal. 

 

Aku terkekeh. "Apa Ibu juga tak memikirkan Nara? Bagaimana masa depannya, jika epilepsinya belum sembuh, apa Ibu gak kasihan?" tanyaku membalikan ucapannya. 

 

Tatapanku beralih ke Nenek dan Tante Mita. "Apa kalian juga enggak kasihan? Anak kecil tanpa dosa ditelantarkan ibu kandungnya sendiri, kalian sebagai keluarga ibu kandungnya kok malah mendukung aksi ibunya?" ucapku membuat mereka membisu.

 

Tatapanku beralih ke arah Juriah, wanita setengah waras yang membawa anaknya berkeliling setiap sore. Kasih sayangnya pada sang anak begitu besar, bahkan meskipun ia tak waras, anaknya tumbuh dengan sehat dan pintar. 

 

Sementara Ibu yang sudah jelas waras dan berakal sehat, bahkan memiliki pendidikan tinggi hingga bergelar magister nyatanya tak memiliki hati nurani hingga menelantarkan anaknya sendiri. 

 

"Tolong Ibu, Za! Kalau sampai Ibu tak bisa membelikan Dira tangan palsu, Papamu akan menceraikan Ibu!" rengeknya. 

 

Aku menghela napas kasar. "Sudah kubilang, lelaki itu bukan Papaku! Lagipula kalau dia menceraikan Ibu, apa urusannya denganku? Haruskah aku peduli dengan nasib anda, sementara anda tak pernah peduli pada kami?" cecarku seraya menatapnya tajam.

 

Mungkin sekarang malaikat pencatat amal buruk, tengah mencatat dosaku karena berkata kasar dengan wanita yang konon katanya surga berada di telapak kakinya. Wanita seperti ini kah yang harus kuhormati dan kusayangi? 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status