Share

BAB 5

Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. 

 

Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. 

 

Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. 

 

"Zahira ya?" 

 

Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. 

 

Kemarin kami memang sempat berkenalan. 

 

"Tinggal di sini?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. 

 

"Bagaimana Nara? Apa baik-baik saja?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Insyaallah baik, saya permisi mau ambil barang dulu!" ucapku mengakhiri obrolan, tak mau terlalu dekat karena takut perasaan ini tak bisa diatur. 

 

Tahu diri Zahira, sekelas Dokter Tsabit mana mungkin mau sama wanita yang bibit bebet bobotnya gak jelas! 

 

Setelah ini pun, belum tentu aku bisa bertemu Ayah lagi. Semua akses komunikasi ia tutup, sehingga aku tak bisa lagi menelpon untuk sekedar say hello dan menanyakan kabar. 

 

___

 

Tenaga dan emosiku benar-benar terkuras hari ini, setelah berbenah dan membersihkan diri. Aku mengajak Nara makan bubur ayam yang tadi dibikinkan Mbak Mira. 

 

"Kok kita tinggal di sini, Kak?" tanya Nara. 

 

"Em ... sementara kita tinggal di sini ya, rumah di sana mau diperbaiki," alibiku. 

 

Nara mencebik. Mungkin ia kecewa, karena tak lagi bisa tidur di atas kasur empuk. Di tambah rumah petakan ini begitu sempit dan pengap, hanya ada kipas kecil dan bedcover sebagai alas tidur. 

 

Kekecewaanku pada Ayah semakin membuncah, begitu tega membiarkan kami terlantar seperti ini. Apa ia pikir, Ibu akan peduli dengan kami? 

 

"Semoga setelah ini, Kakak bisa membahagiakan kamu, Nara!" lirihku seraya mengusap rambut gadis kecilku itu dengan lembut. 

 

"Sekarang minum obat ya, Nara enggak boleh kecapean ya, nanti penyakitnya bisa kambuh. Minum obatnya harus rutin, supaya bisa cepat sembuh," ucapku seraya membantu Nara minum obat. 

 

Beruntung Mbak Mira masih mau menjaga Nara, meskipun aku tak mampu lagi memberi gaji. Wanita itu begitu tulus menyayangi Nara, sejak dulu ia ingin sekali memiliki anak tapi takdir berkata lain, rahimnya harus diangkat karena kanker. 

 

Drrt ... drrt .... 

 

Kulirik ponselku yang bergetar, tertera nama Daren di sana. Kugeser icon berwarna hijau. 

 

["Hei kamu di mana?"] tanyanya. 

 

"Di rumah lah, mau di mana lagi emang?" sahutku. 

 

Terdengar helaan napas kasar di seberang sana. ["Share loc, kata Mbak Mira rumahmu masih belum ada kasur. Tadi aku minta Mas Roni antarkan kasur sama lemari ke sana! Kasihan Nara kalau tidur enggak pakai kasur, nanti masuk angin!"] ucap Daren panjang lebar, tanpa memberi kesempatan aku menyanggah. 

 

Apa yang bisa kulakukan selain pasrah? 

 

Kukirimkan lokasiku, tak sampai lima menit. Mas Roni penjaga rumah Daren menghubungiku, mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan ke kontrakanku bersama temannya memakai mobil pick up. 

 

Nara masih asyik bermain barbie, hadiah dari Om Imran sama Bunda Rena. 

 

Sekitar setengah jam kemudian Mas Roni kembali menghubungiku. Ternyata dia sudah berada di depan kontrakanku, gegas kubuka pintu. Sesuai dugaanku, di atas pick up itu tak hanya kasur dan lemari. Bahkan ada karpet dan juga gorden. 

 

"Banyak banget Mas?" ucapku saat mereka menurunkan bahan makanan. 

 

Tanpa sadar mataku mengembun, orang lain yang tak ada ikatan darah dengan kami begitu peduli dan mengkhawatirkan kami. Kenapa mereka begitu tega menelantarkan kami, terutama Nara yang sedang sakit parah? 

 

Setelah Mas Roni pamit pulang, aku memasang sprei ke atas kasur berukuran 160×200 cukup luas untuk kami berdua. 

 

Lalu memasang lemari portable untuk menata baju-baju. Bahkan Daren juga membelikan rak portable untuk menaruh beberapa barang. 

 

Mereka menyediakan semua yang aku butuhkan, kompor mini dan peralatan makan. 

 

"Nara tidur ya, Kakak mau susunin baju-baju!" ucapku. 

 

Nara mengangguk, ia menatapku sendu. 

 

"Kak, Nara gak boleh ya dengar suara Ibu sebentar aja?" tanyanya. 

 

"Maksudnya mau nelpon Ibu?" tanyaku lagi. 

 

Nara mengangguk. 

 

"Nanti Kakak coba telpon ya, kalau diangkat Kakak bangunin Nara." 

 

Aku segera berbalik, tubuhku bergetar menahan tangis. Menelpon Ibu adalah suatu hal yang sangat mustahil, terakhir menelpon yang mengangkat suaminya dengan nada ketus mengatakan bahwa Ibu sibuk mengurus Dira, tak ada waktu untuk bertemu dan berbicara dengan kami.

 

Padahal, kami juga anak Ibu. Kenapa begitu susah, untuk sekedar menelpon atau berkirim pesan menanyakan kabar kami? 

 

Kuhela napas kasar, lalu mendongak berusaha menghentikan air mata yang semakin turun. 

 

____

 

[My beloved daughter, buah hati dan cintaku. Kamu terlahir penuh cinta dan kami rawat juga penuh cinta!]

 

Caption di status w******p Ibu, beliau mengunggah foto liburan mereka. Di sana ada keluarga Ibu juga keluarga suaminya, mereka tampak begitu bahagia.

 

Kulirik Nara yang asyik melahap roti bakar selai cokelat kesukaannya. 

 

Hatiku seperti di remas-remas tangan tak kasat mata, seperti ada jari-jari runcing yang turut menggores hati ini dengan dalam.

 

Seandainya aku dan Nara bisa memilih akan terlahir dari orang tua yang seperti apa, mungkin kami tak akan memilih mereka menjadi orang tua kami. 

 

Mereka yang membuat kami hadir di dunia ini, mereka juga yang menghancurkan dan membuang kami! 

 

Dengan akun kloningan kubuka akun i*******m Dela, rupanya pasangan pengantin baru itu tengah bulan madu ke singapore. Dari postingannya juga, aku baru tahu bahwa rumah itu sudah terjual.

 

Menzalimi anak sendiri, demi membahagiakan istri muda. 

 

Hebat sekali Ayahku. 

 

Aku kembali menyibukan diri dengan hal lain, melihat postingan mereka membuat luka dihati ini semakin terbuka lebar. 

 

Siang ini Daren dan Bunda Rena akan datang menjemput Nara, kebetulan aku kerja masuk siang. 

 

Drrt ... drrt ... drrt .... 

 

Ponselku kembali bergetar, tertera nama Ibu di sana. Tumben sekali beliau menelponku. 

 

Kugeser icon hijau, terdengar suara isak tangis diseberang sana. 

 

["Za, tolong Ibu, tolong adikmu!"] 

 

Aku bergeming mendengar suara Ibu. 

 

Adikku? Siapa? Nara baik-baik saja di sisiku. Apa Dira yang dia maksud? Sampai kapan pun aku tak akan menganggapnya Adik. Bagiku hanya Nara adik kecil kesayanganku. 

 

["Tolong, Dira kecelakaan masuk rumah sakit dan kekurangan banyak da-"]

 

Dengan cepat kuputuskan panggilan, entah aku harus bahagia atau sedih mendapatkan kabar ini. 

 

Lagipula, ia sedang liburan untuk apa jauh-jauh meminta tolong padaku?

____

 

Jangan lupa subscribe dan rate ya! 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status