Di menit kamera dimatikan...“Please welcome, Merin Noella Amyra from class-A.” Suara wanita di dalam speaker memenuhi langit-langit aula. Tak disangka, ternyata Merin sudah berada di dalamnya. Meninggalkan drone yang dianggapnya sebagai benda bodoh.Perhitungannya tepat sasaran. Jika Eldric akan meluncurkan misi tepat saat namanya disebut, dia akan bergerak lima menit sebelumnya. Tentu saja, Eldric tidak akan membiarkan Iron dan Scarlett melabraknya setengah telanjang. Merin yakin dia akan mematikan fungsi sipir hologram mereka.Fungsi drone itu akan berhenti mendeteksi keberadaannya ketika di toilet. Saat itulah, Merin berganti peran dengan orang bayarannya. Dia akan meminta orang itu untuk bertahan sampai sebuah drone datang padanya.Merin keluar dengan setelan jaket denim, celana jeans, dan rambut yang dimasukkan ke dalam topi hitam. Gadis itu berdecih saat berhasil melewati drone itu.Dia merasa bangga karena telah mengambil alih keadaan hanya karena sembelit.“Periksa ke dalam!”
Dinding hati sudah berdiri megah di dalam sukmanya. Tak lekang dimakan waktu, bahkan semakin kokoh. Terhitung ribuan anak panah telah dipatahkan. Namun, hanya dengan sekali dekapan, si gadis bermata biru merasakan reruntuhan tak biasa. Dia tak sadar, air matanya mulai menggenang. Dia ingin menghentikan waktu. Merasakan lebih lama kehangatan yang telah dinantikan dalam separuh hidupnya.Sedetik, dia amat menikmati. Namun, pada detik yang lain, dia merasa takut. Untuk pertama kalinya, ketakutannya mencuat. Takut akan dihempaskan kembali oleh kenyataan bahwa pria dalam rengkuhan ini hanya melihatnya sebagai monster.Sistem telah dimatikan. Merin merasa penglihatannya mengkerut, menandakan fungsi bola mata aslinya telah kembali. Sementara itu, smartlens yang tertanam masih berada di sana. Menyalip ke belakang mata hitam mengkilatnya.Bahu gadis itu akhirnya melemas. Tangannya meremas lembut jas Eldric, sebuah percobaan untuk membuktikan tubuhnya dalam kendali. Merin terkekeh kecil, sangat
Nyaringnya decit para tikus semakin membuat jengkel seorang pria berbadan tegap. Berkali-kali dia mengorek telinga, tidak betah berada di sana. Namun, segala informasi harus langsung masuk ke telinganya. Hanya dia seorang. Tidak boleh ada yang terlewat, apalagi sampai bocor ke tangan orang lain.Gedung bekas pusat perbelanjaan itu tak membiarkan cahaya bulan masuk. Membuat separuh tubuh pria itu tertelan kegelapan.Ada orang lain yang berada di sana. Satu pria lainnya, tapi dalam versi yang menyedihkan. Melirih. Bersimpuh. Harga dirinya telah sepenuhnya hilang begitu dia bersujud di depan sepatu hitam mengkilat si pria tegap.“Katakan! Kenapa dia bisa muncul di tempat itu? Bukankah kamu bilang aturan tidak memperbolehkannya?” geram si pria tegap.“A-am-ampun, Tuan. Sa-sa-saya juga tidak mengerti. Semua arahan waktu mendadak kacau. Entah apa yang terjadi pada drone, sehingga kemunculannya saat lambat. Saya tidak—”“DIAM!” Sepatu itu menghantam wajah si pria menyedihkan.“Bukan itu yang
Dua jam sebelumnya . . .Merin menyipit sambil mengigiti telunjuk. Tanpa beralih dari Eldric yang berlagak sibuk menyiapkan sarapan. “Hmm, aku yakin dia dalam kondisi sadar,” gumamnya sendirian.Hanya dua lapis sandwich saja seharusnya tidak menyita waktu lama. Pria itu sengaja mengulur-ngulur waktu supaya cepat pukul delapan, jadi dia bisa langsung bekerja.“Argh, Profesor!” teriak Merin membuat Eldric berhenti bolak-balik.“Apa? Kamu sudah hilang kesopanan ya?” gerutu Eldric.Merin berdecih. “Lagi pula, usia kita tak jauh berbeda,”“Tapi, tetap saja—”“Argh, cepat beritahu aku! Tadi malam kamu benar-benar mabuk atau tidak?????” rengeknya. Ia menghampiri Eldric dengan menghentak-hentakan kaki.Eldric mengatupkan bibir, nada bicaranya melembut. “Sudah kubilang, aku mabuk.”“Jadi, kamu benar-benar tidak ingat?” tanya Merin lagi, “bohong! Pasti kamu ingat,”“I-i-ingat apa?” Eldric tergagap, menjauhi Merin yang mencondongkan wajahnya“Chu????” celetuk Merin. Eldric mengangkat alis. “Chuu
“Nona ... nona, sini biar kubantu bawakan bukumu,” seru Daffa.Poni panjangnya mengapung-ngapung saat mati-matian mengejar Merin. Bagaimana bisa gadis itu berjalan seperti cheetah? Gerutunya dalam hati. Sementara itu, Merin dengan ketus tak mengindahkan celotehan anak itu. Daffa tak menyerah. Meski ngos-ngosan, Daffa menaikkan tali ransel dan terus mengejar.“Nona ... aku juga tinggal di Indonesia loh! Kita bisa mengobrol banyak, Nona—”DUKK! Merin tiba-tiba berhenti. Sontak, Daffa menabrak punggungnya. Daffa kira, tahanannya itu akhirnya mau berbalik dan bicara padanya. Namun, Merin justru berdiri mematung. Menatap nanar orang di depannya.Daffa mengikuti ke mana mata gadis itu berlabuh. Dan, disanalah dia ...“Profesor Takeda?” celetuk Daffa.Merin menghela napas. Kedua ujung bibir ditariknya dengan penuh percaya diri. Gadis itu menjejalkan semua buku dipangkuannya pada Daffa, lalu berjalan layaknya model.“Akhirnya saya berkesempatan bertemu dengan anda, Profesor. Saya belum sempat
Meski dihimpun pada suatu ruang padat bernama bumi, tetap saja setiap makhluk tinggal di dunia yang berbeda. Berkat keistimewaannya, manusia bahkan membangun dunianya sendiri—yang kini dipijaki oleh seorang gadis yang sama gilanya.Merin mengintip dari jendela. Menyelisik situasi di segala sisi, bekas kekacauan terlihat jelas. Kawanan rusa itu benar-benar membuat area universitas jadi kotor. Tanaman-tanaman hias rusak semua, kotoran dan air liur berceceran baik di lantai maupun tembok.Beberapa di antara mereka berpencar, beberapa lainnya terbujur kaku menjadi mayat. Virus itu benar-benar menggiring mereka menuju kematian. Dan, Jangan aneh. Dunia ilusi ini memang dirancang untuk membuat Merin muak. Gadis itu menyipitkan mata, dia menggaris bawahi bahkan ini bukan permainan bertahan hidup—melainkan permainan sakit jiwa.Merin tidak akan lupa poin terakhir di surat perjanjian. Akan datang hari dimana semua penderitaannya ditayangkan dan dinikmati publik. Dengan begitu, masyarakat akan p
Sepasang bola mata menyala di balik pria berkepala rusa itu. Terselip tatapan nanar di dalamnya, dirancang penuh rasa muak, serta kesadisan. Manusia. Merin tahu pasti dia manusia. Caranya berkedip, deru napasnya, pergerakan dadanya—sebuah cerminan bagaimana manusia hidup.Namun, gadis itu tidak yakin apakah dia sungguhan atau hanya tipuan hologram. Besar kemungkinan, mereka telah menyewa manusia lain. Mengingat peristiwa tempo hari membuat manusia hologram terlalu beresiko dalam masa pengujian.Mendadak dalam satu entakan, jemari si pemburu mencengkeram leher Merin, mendorongnya hingga menghantam permukaan kaca. Gadis itu merasa linu seketika, tapi dia menahan erangannya. Sebab, para rusa itu bisa kapan saja memperumit suasana.Napas Merin mulai tersendat dan terbatuk-batuk.“Apa yang kamu inginkan?” tanya gadis itu dengan parau. Tanpa berhenti meronta, ia mencoba mengambil celah un
“Kamu tidak harus memenjarakan hatimu sendiri, hanya untuk menciptakan neraka.”Eldric terkesima mendengar kalimat yang dilontarkan sang ibu sebelum menutup teleponnya. Hatinya hening, berhenti berkecamuk. Kilasan memori tentang Merin mengawan di benaknya.Benar. Pasti ada alasan kenapa malam itu, ia melangkah menemui Merin. Mengkhawatirkan gadis itu setengah mati. Memerhatikan hal sekecil apa pun darinya. Larut dalam fantasi keindahan yang ditorehkan, hingga menciptakan secerca pelita di hati.Waktu istirahat hampir habis. Begitu Eldric masuk kembali, Prof. Takeda menyambutnya di depan pintu. Menyodorkan alat VR yang mengirimkan pria itu ke Fantasia, bergabung dengan Merin dan Daffa—sama seperti beberapa jam sebelumnya.“Lanjutkan tugasmu. Ingat, kita selalu terhubung dengan