Untuk pertama kalinya, Merin berjalan tidak sendirian di bawah langit kota. Tidak—sampai sebuah drone mini menjelma sebagai 'sipir penjara'. Meski anti bising, Merin bisa menebak keberadaan drone itu dengan lirikan matanya. Sekali pun alat itu menyelinap di balik bangunan.
Di penjuru tempat lain, hanya ada Tim Fantasia di markas baru mereka.
"Bagaimana? Apa kita munculkan mereka sekarang?" tanya Loey dengan datar.
Eldric menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari big screen.
"Tunggu sebentar lagi."
Ia kembali mengawasi pergerakkan Merin, sekecil apa pun itu. Tiba-tiba, Merin menghentikan langkah di depan kantor stasiun televisi. Beberapa orang terlihat berkerumun sambil menatap lurus layar raksasa yang tengah memutar berita eksklusif. Kelopak mata Merin berkedut, situasi familier yang ditunjukkan media membuatnya muak.
BERITA TERKINI: TRAGEDI PEMBUNUHAN MAHASISWI EAGLE TECH.
ISABELLA LIU DITEMUKAN TEWAS DI TANGGA DARURAT ( .... )
DIKETAHUI PELAKU YANG DIRAHASIAKAN IDENTITASNYA LANGSUNG MENYERAHKAN DIRI.
PIHAK UNIVERSITAS DAN KEPOLISIAN SEPAKAT MENJADIKAN KASUS INI UNTUK PENGUJIAN RESMI PROYEK FANTASIA.
Headline berita menjadi lebih besar.
SEBUAH TATANAN HUKUM BARU; APA ITU PROYEK FANTASIA?
Merasa malas mendengar penyiar itu menjelaskan lebih jauh, Merin memutuskan untuk pulang. Namun, baru satu langkah dia berjalan. Obrolan dua orang siswa perempuan menahan langkahnya.
"Ish, keenakkan. Si pelaku harusnya langsung dihukum mati saja," seru gadis ber-ponytail.
Sambil menyilangkan tangan, Merin memerhatikan mereka dengan tatapan tajam. Pikiran-pikiran menyenangkan mulai menjalar. Berusaha memilah-milah permainan seru apa yang bisa membuat kedua bocah itu meringis kesakitan.
Teman disampingnya tampak tertawa ngeri. "Haha benar, lagian proyek apa itu? Buang-buang waktu saja. Membiarkan penjahat berkeliaran bareng kita? Ide gila! Gimana kalau kita sampai dalam bahaya?"
Merin menunggingkan bibir. Alisnya berkerut. Persetan dengan pikiran-pikiran itu, tangannya benar-benar sudah gatal ingin langsung menjambak rambut mereka.
"Bocah-bocah berengsek," gumam Merin sambil melangkah menuju mereka.
Eldric hampir terkekeh melihat ekspresi Merin di dalam layar.
"Sekarang," instruksinya pada Loey.
Lagi dan lagi, langkah Merin tertahan. Lebih tepatnya, ia hampir terjungkal sebab tiba-tiba drone itu menghujani tanah dengan laser biru. Tak disangka malah muncul 2 orang asing sekaligus di depannya. Seorang laki-laki berseragam putih dengan garis biru di kedua bahunya. Sementara itu, di sampingnya berdiri perempuan berambut pink dengan seragam yang sama.
Merin membelalak. Sambil mengatur deru napasnya, ia menerka-nerka siapa mereka.
"Kalian hantu?!" tanyanya keheranan.
Laki-laki itu berdecih sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Si gadis pink menatap Merin dengan senyum ceria. Tiba-tiba, penglihatan Merin terhalang oleh tulisan-tulisan yang terjulur di depan wajah gadis itu.
IDENTIFIKASI KARAKTER PENGENDALI ...
PINK SCARLETT – MISI KEBAIKAN
MEMBANGUNKAN NURANIMU;
MEREDAM EGOMUUSIA 18 TAHUN
Lincah dan ceria.
Disclaimer : jangan membuatnya kecewa
Mulut Merin menganga. Lantas dia dengan cepat beralih pada si anak laki-laki.
Blue Iron – Misi Berbahaya
Membangunkan ego dan logikamu
Usia 19 tahun
tempramental
Disclaimer: jangan membuatnya marah.
Sejenak, kepala Merin terasa berat. Dia menurunkan pandangan sambil terus mengerjapkan mata dengan cepat. Mencoba menghilangkan tulisan-tulisan itu dan akhirnya berhasil. Seolah tersedot kembali oleh pupil matanya.
Merin mendongak. "Wah, dunia ini membuatku merinding. Mereka bahkan menciptakan manusia bohongan."
"Apa?! Manusia bohongan? Berani-beraninya!" geram Iron. Dengan mata membara, ia mendekati Merin dengan tangan terkepal. Scarlett lantas menariknya mundur dan menyela di antara mereka.
"Kami hanya sistem, tapi jangan mengingatkan Iron. Dia sensitif," bisik Scarlett.
Merin menunggingkan bibirnya. "Well, bisa kuatur."
Senyum Scarlett merekah, menampilkan gigi kelinci yang menggemaskan. Ia menurunkan bahunya supaya terlihat seperti manusia yang bernapas.
"Nah, Merin ... kamu telah mengidentifikasi kami. Selama 6 bulan, kamu akan menjalankan berbagai misi tak terhitung. Terbagi menjadi dua sih, aku memegang misi kebaikan dan kakakku—Iron memegang misi berbahaya. Bila kamu berhasil melewati satu misi, maka masa hukuman kamu hanya akan sampai pengujian berakhir. Namun bila gagal, masa hukumanmu akan ditambah 3 tahun setelah berakhirnya masa pengujian."
"Wah kalian benar-benar jagonya membuat orang menderita," sungut Merin sambil menyilangkan tangan.
"Oh iya, satu lagi. Sesuai peraturan, kamu tidak bisa bertemu Profesor Eldric apalagi meminta bantuannya," ungkap Iron.
"Dasar pelit! Membiarkanku menjalankan proyeknya sendirian? Yang benar saja!" protes Merin.
Iron menggertakkan gigi. "Kamu pikir untuk apa kami di sini, hah?!"
"Bagaimana jika aku memaksa? Aku bisa saja menerobos markas," timpal Merin.
Ekspresi Scarlett berubah datar. "Mereka sudah pindah ke markas baru. Universitas memberinya masa cuti selama pengujian."
"Sial," gerutu Merin, "baiklah, kapan misi pertamaku dimulai?"
Iron mengangkat dagunya. Menatap tajam sesuatu di belakang Merin.
"Sekarang."
Sontak Merin mengikuti di mana tatapan Iron berlabuh. Dia berbalik dengan dengan perlahan. Ekor matanya mulai menangkap jalan raya dengan lalu lintas yang padat. Telinganya mulai menangkap suara bising kendaraan yang saling mengebut.
Kini matanya telah sempurna melihat apa yang terjadi. Seketika Merin menangkup mulut dengan kedua tangan. Adrenalinnya melonjak ke titik puncak. Dia tidak pernah merasa segelisah ini. Apa yang dilihatnya sekarang adalah cerminan dari ketakutannya selama ini.
Mati dengan penderitaan.
***
Pintu otomatis markas bergeser dengan sendirinya. Pertanda sensor infra red mendeteksi langkah seseorang. Eldric dan timnya langsung menoleh dengan ekspresi berbinar.
"Profesor Takeda!" seru Jasper.
Jas putihnya tampak kebesaran serasi dengan janggut tipis dan rambut yang juga telah memutih sepenuhnya.
"Kalian tampak sangat sibuk rupanya," ucap Prof. Takeda.
Eldric beralih sejenak dari layar utama yang berada lebih tinggi. Tangannya memegang tepian tangga.
"Anda sudah kembali dari Jepang, Prof."
Profesor bergegas menghampirinya dengan bersemangat. "Tunggu, biar aku yang ke sana untuk melihat penemuan barumu itu."
Eldric menyambut Profesor Takeda dan mengawasi Merin bersama. Begitu bola mata Prof. Takeda memantulkan sinar dari layar, ia berdeham. Profesor senior itu menaikkan kacamata bulatnya sambil menggelengkan kepala.
"Sungguh misi pertama yang merepotkan."
"Apa yang—" Tenggorokan Merin terasa dicekik. Jerit tangis seorang anak menusuk ke gendang telinganya. Anak perempuan berusia 3 tahun itu berada dalam gendongan ibunya. Meski dalam dekapan orang terdekatnya, sang ibu justru berusaha mengantarkan hidupnya pada kematian. Keduanya berdiri di tengah jalan, sementara klakson mobil saling bergumul sambil berusaha menghindar.
Iron menyilangkan tangannya. "Waktumu satu menit," cetusnya, lalu dibenarkan oleh timer yang muncul dari smartlens.
Langit yang semula tampak baik-baik saja mendadak mendung. Gemericik hujan datang bersama petir, lalu perlahan menyembur jalanan.
"Kamu mau aku menyelamatkan mereka? Untuk apa? Kenapa mesti aku?" tanya Merin dengan suara meninggi.
"Yang jelas jika salah satu dari mereka mati, maka kamu gagal."
"Sialan."
"Waktumu terus berjalan, Merin," ujar Scarlett.
Eldric mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja, lalu berhenti saat suara berat Profesor Takeda membuyarkan konsentrasinya.
"Aku tahu gadis itu," ujar Prof. Takeda, "dia salah satu mahasiswi jurusanku dan ya ... gadis itu terlahir tanpa empati, seorang sosiopat."
"Tidak aneh, Prof. Aku bisa menebak dari sorot matanya. Dia membuatku muak," timpal Eldric.
Tangan Merin terkepal hebat. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu berlari sambil mendesah. Bunyi klakson semakin nyaring saat ia menerobos jalanan.
"Tante! Tante—jangan melakukan ini, kita harus menepi!" pekik Merin. Ia berusaha menarik tangan wanita itu. Namun, tangannya langsung diempaskan begitu saja.
"Siapa kamu? Berani-beraninya ikut campur! Pergi! Biarkan aku mati dengan anakku! Untuk apa kami hidup bila suamiku pergi begitu saja."
Merin meremas rambutnya dengan keras. Tubuhnya terus bergerak demi menghindari mobil.
"Kalau begitu, matilah sendiri! Jangan ajak anakmu!"
"Apa hakmu!?"
"Dan apa hakmu mengambil nyawa anak ini?"
"Aku ibunya!!!"
"Tidak," pekik Merin, "aku kenal wanita sepertimu. Wanita yang tidak dilahirkan menjadi seorang ibu."
Entah apa yang terjadi, hati Eldric tiba-tiba berdesir. Untuk pertama kalinya, dia melihat Merin dengan sorot mata berbeda. Ia memperhatikan setiap rintik hujan yang jatuh melewati wajahnya. Bibir gadis itu mulai bergetar. Namun, matanya tetap tangguh seperti biasanya.
Alis Eldric berkerut ketika ia semakin menatap dalam Merin. Hawa dingin dan sepi seolah mengetuk lembut hatinya. Ia teringat pekikan Merin kala itu. Mereka akan membunuhku, bila aku merusak reputasi mereka.
"Dasar kurang ajar!"
PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Merin.
Eldric terperajat. Deru napasnya mendadak tak beraturan. Entah mengapa langkahnya berbalik dan mencoba menyusul Merin. Namun, Prof. Takeda langsung menahan tangannya.
"Ada apa?" tanya Profesor.
Ketiga temannya pun menoleh.
"Eldric, apa kamu kaget karena karakter hologramku terlalu kasar?" timpal Olivia.
Eldric berdeham sambil kembali ke posisi semula. "Ah, tadi aku cuma melamun."
Jerit tangis si anak dan derum mesin saling bergumul. Ditambah suara klakson nyaring yang tiba-tiba membelah jalanan. Klakson itu berasal dari bis sekolah yang melaju dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Kepala si sopir muncul dari jendela sambil melambai-lambaikan tangan.
"MINGGIR! REM BOLONG!"
Dengan panik, Merin menautkan kedua tangan pada tubuh si anak. Mencoba menariknya dari dekapan sang ibu. Namun, wanita itu justru menguatkan dekapannya.
"Inilah saatnya," lirih wanita itu sambil terpejam.
"Yang benar saja!"
Merin tidak kehabisan akal. Dia mengigit lengan wanita itu sehingga dekapannya melonggar. Si anak berpindah ke tangannya dalam satu tarikan. Kendaraan lain telah menepi sejak jalanan aspal itu bergetar. Jarak antara Merin dengan bis itu semakin sempit.
BLASS!
Tepat 5 detik sebelum bis itu melindas mereka, Merin mengunci leher si wanita dan mendorongnya menepi bersama. Teknik ini dilakukan Merin supaya jika wanita itu melawan, lehernya akan tercekik. Meski begitu, lengannya terlihat lecet karena terus dicakar.
"Dia memang pintar," celetuk Eldric, "Loey, kembalikan ke situasi semula."
Tanpa menyaut, Loey menginput deretan script sebagai penerjemah antara dirinya dengan sistem di komputer.
Telunjuknya menghentak tombol enter. Gelembung pesan pun muncul.
Back to real world?
Tanpa ragu, anak itu menekan opsi yes.
Dada Merin naik-turun ketika sampai di trotoar. Dia terpejam sesaat sambil menelan ludah. Ketika matanya kembali terbuka, dia terdiam seribu bahasa. Bibirnya sedikit menganga melihat ibu dan anak itu perlahan terkikis angin. Gema tangis dari si anak masih terbayang di benaknya, sebelum akhirnya aktivitas lalu lintas mengembalikan alam kesadaran.
***
Sebuah notifikasi menyembul dari smartlens-nya.
CONGRATULATION!
KAMU MEMENANGKAN MISI PERTAMA.
Reward : Tidak ada misi selama 24 jam.
"Dasar pelit," gerutu Merin.
"Kamu harusnya bisa bersyukur bisa kembali hidup normal walau sehari." Merin terperajat ketika Iron menyela. Dia berbalik, menatap secara bergantian kakak beradik itu.
Merin menyipit. "Tadi itu apa? tipuan lagi?"
"Situasi level kedua, duniamu ditidurkan," ungkap Scarlett, "saat smartlens-mu diaktifkan, ia akan memproyeksikan karakter hologram ke alam bawah sadarmu. Mengambil situasi persis dari dunia nyata, sementara 'dunia nyatamu' ditidurkan."
Alis Merin berkerut. "Apa yang terjadi saat dunia nyataku ditidurkan?"
"Kamu berdiri mematung. Tidak bergerak, bahkan tidak berkedip—seperti robot mati," timpal Iron sambil mengelilingi Merin dengan seringai. Anak itu mencoba mengintimidasinya.
"Kalian gila? Orang-orang akan mengiraku mati berdiri!"
Scarlett mengarahkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah drone. "Jika benda itu bisa memunculkan kami, maka keberadaanmu juga bisa disamarkan. Tentu saja selama ada kami berdua, kami akan berusaha menjaga tubuhmu di dunia nyata."
"Kecuali jika kamu gagal misi, ya ... kami akan segera memberitahu tukang gali kubur," sela Iron, sementara Scarlett langsung mencubit kakaknya pelan.
Merin berdecih sambil berlalu begitu saja. Sontak membuat mata Scarlett membulat.
"Kamu mau kemana?" tanyanya sedikit berteriak.
"Aku capek, kalian merepotkan."
***
Sudah terhitung lima kali erangan Jasper beradu dengan suara ketikan Loey.
"Ah, akhirnya hari ini selesai juga. Ternyata sulit juga harus was-was tiap saat," celoteh Jasper.
Eldric menyeruput secangkir kopi latte di tangannya. "Jangan khawatir, keamananmu itu sulit ditebus."
Mendengar pujian Eldric, Jasper langsung berdecak semangat sambil mengibaskan kepalanya. "Ha, tentu saja!"
Olivia terbiasa dengan situasi menggelikan ini, hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia menghampiri Eldric, menyodorkan beberapa lembar berkas di mana terdapat foto Merin di pojok kanan atas.
"Ini yang kamu minta," ujar Olivia, "kamu menyuruhku memeriksa latar belakang gadis itu kan?"
Eldric mengangguk dengan senyum tipis. "Terima kasih," Ia lalu beringsut. "Sudah hampir larut, kalian boleh pulang."
Loey akhirnya melepaskan jemarinya dari atas kibord setelah seharian seperti mesin. Satu-satunya yang menandakan ia manusia hanya deru napasnya, itu pun hampir tidak terdengar. Orang asing mungkin akan salah paham dengan sikapnya, teman se-timnya tidak mempermasalahkan hal itu. Sebab, di dalam portofolionya tertulis, "Aku sulit bersosialisasi, tapi akan kulakukan yang terbaik."
Dan terbukti, posisinya sebagai operator system mampu membuat proyek berjalan dengan baik.
"Aku duluan," pamit Loey dengan suara tipis. Jasper terkesiap sambil merangkulnya.
"Ayo bareng!" Eldric dan Olivia sempat melambaikan tangan pada mereka.
Eldric menoleh. "Kamu tidak pulang?"
"Ini mau," celetuk Olivia. Ia menyambar tas ransel dan menautkan pada sebelah bahunya. "Malam ini bagian kamu berjaga ya?" Pertanyaan gadis itu disambut anggukkan oleh Eldric.
"Betul."
"Ya sudah, aku pulang dulu ya."
Selepas Olivia meninggalkan ruangan, kesunyian langsung tercipta. Sebelum akhirnya ponsel Eldric bergetar cukup lama. Guratan senyumnya langsung terukir begitu menyadari siapa yang menelepon.
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o