"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
"Nin, aku akan rujuk dengan Sita."Hanin terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut Dimas, suaminya."Rujuk? Menikah kembali dengan Sita maksudnya?"Dimas patah-patah mengangguk. Menyesap teh manis hangat buatan Hanin, untuk menetralisir kegugupannya. Teh beraroma melati itu terasa hangat di tubuhnya, membantunya menjadi lebih relaks."Aku memikirkan anak kami, Nin. Tahun depan Rindu masuk SD. Aku ingin mendampinginya dalam proses pertumbuhannya." Dimas menghindari tatapan Hanin dengan mencomot bolu gulung isian teh hijau di depannya."Lalu, bagaimana dengan anak kita? Kau tidak ingin mendampinginya?" Hanin mengelus perutnya yang membuncit, tujuh bulan usia kehamilannya.Dimas menarik napas. Tarikan napas yang terdengar sangat berat."Kau masih mencintai Sita, Mas?" Mata Hanin mulai berkaca.Dimas terdiam. Diletakkannya kembali bolu gulung yang belum sempat digigitnya itu."Iya, Mas? Kau masih mencintainya?" Hanin menggigit bibir.Pelan Dimas mengangguk."Lalu, kenapa menikahi
"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya mel8abuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka."Sejak kapan pembicaraan kembali bersama itu kalian mulai, Mas?" Hanin mengelap air mata den
"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk."Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?Cinta? Ah…Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya."Maafkan aku, Nin. Sita tidak ingin berbagi." Dimas mengangkat kepalanya. Menatap Hanin yang bersimbah air mata. Duh. Entah kenapa perasaanya tidak rela melihat wanitanya itu dibalut luka."Aku akan segera mengur
"Hanin?" Sita terkejut saat membuka pintu. Tidak menyangka orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya adalah Hanin. Tergesa Sita menutup keluar dan menutup pintu."Mas Dimas dan Rindu baru saja berangkat. Tadi kata Mas Dimas kau tidak ikut karena kurang enak badan, ternyata kau menyusul. Kenapa tidak mengabari Mas Dimas dulu?" Sita tersenyum ramah. Mempersilahkan Hanin duduk di kursi teras depan rumah."Aku memang menunggu mereka berangkat, Ta." Hanin tersenyum menatap wanita cantik di hadapannya.Kening Sita berkerut mendengar jawaban Hanin. Ada perlu apa istri mantan suaminya ini kemari?"Boleh kita bicara di dalam? Seingatku, setiap hari minggu aku dan Mas Dimas kemari selama hampir dua tahun ini, kau tidak pernah mempersilakan aku masuk." Senyum Hanin masih menghiasi wajah teduh itu."Ada perlu apa kemari, Nin?" Sita mengabaikan perkataan Hanin. Dia mulai tidak nyaman dengan kehadiran wanita berjilbab merah jambu itu."Kalian ada rencana rujuk?" Hanin menangkap rona tidak nyaman
Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Hanin memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian d
"Ayaaaaaah." Rindu berteriak riang saat melihat Dimas turun dari mobil. Berlari kencang menyongsong kedatangan ayahnya.Dimas tertawa. Lelaki itu segera berjongkok dan merentangkan tangan. Menyambut putrinya ke dalam pelukan."Tante Hanin." Rindu tersenyum menyadari ada Hanin di dekat mereka. Gadis manis berbando merah itu melepaskan pelukan Dimas, bergegas meraih tangan Hanin. Salim.Hanin tertawa kecil melihat Rindu menggerak-gerakkan kepalanya. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.Hanin dekat dengan Rindu, malah pernah mereka sangat dekat, melebihi kedekatan Rindu dan Sita. Beberapa kali Sita sempat menitipkan Rindu pada Hanin saat dia bekerja. Namun semenjak Sita merasa kedekatan mereka semakin intens, Sita membatasinya.Sebagai sesama wanita Hanin menyadari Sita merasa sedikit tidak nyaman Sejak saat itu Hanin sedikit menjaga jarak. Berinteraksi seadanya dengan anak sambungnya itu. Padahal bagi Hanin, anak Dimas adalah anaknya juga. Tetapi karena Sita kurang be
"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya."Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu."Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring."Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya."Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita."Kit