Share

PART 4

Aku sudah tidak heran ketika mobil yang dikendarai Mas Adjie ternyata berhenti di depan sebuah hotel. Seorang petugas valet segera menyambut kami dan menggantikan posisi Mas Adjie yang segera turun, lalu mengulurkan tangannya ke arahku yang juga sudah keluar dari mobil beberapa saat sebelumnya. 

 

"Kita ketemu klien di sini, Pak?" tanyaku basa-basi.

 

"Iya, Livia. Aku sudah siapkan ruangan untuk meeting kita. Ayo!" ajaknya kemudian. Lalu kami pun beriringan menuju lobby hotel. 

 

Saat aku dan Mas Adjie sampai di depan counter receptionist, seorang petugas cantik segera menyambut suamiku dengan ramah. Dan ternyata benar, Mas Adjie segera menerima kartu akses yang disodorkan petugas itu padanya. 

 

Tak berapa lama kemudian, kami pun telah berada di sebuah ruangan kamar presiden suite di hotel tersebut. Aku sedikit ragu ketika tadinya Mas Adjie membuka kamar dan mengajakku masuk. Tapi sepertinya mungkin aku salah. Ada ruang tamu kecil di ruangan itu yang kupikir memang dipesannya untuk menerima seorang tamu. 

 

"Duduklah, Livia. Mau minum apa?" tawarnya. Dan tentu saja aku harus berpura-pura sangat kikuk dengan tawaran itu.

 

"Tidak, Pak. Tidak perlu. Bapak yang butuh apa, biar saya ambilkan," kataku.

 

"Kamu tidak hanya cerdas, tapi ternyata juga manis sekali, Livia. Dan sepertinya aku mulai menyukaimu," komentarnya menggoda.

 

"Biasa saja, Pak. Saya bawahan anda. Jadi sudah seharusnya begitu." Aku pun berpura-pura tersenyum malu-malu. 

 

"Baiklah, tolong ambil dua botol minuman di mini bar. Kalau kamu mau snack ambil sekalian juga," ujarnya sambil melonggarkan sedikit dasinya dan mulai mendudukkan diri di sofa.

 

Tak banyak bertanya, aku pun menuruti kata-katanya. Lalu kembali dengan membawa dua botol minuman yang dipesannya. 

 

"Maaf, kalau boleh tau jam berapa kliennya datang, Pak?" 

 

"Duduklah dulu. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Sebentar lagi dia datang. Dia masih di perjalanan."

 

"Ooh begitu. Baiklah." 

 

Aku pun segera mengambil tempat duduk di seberang suamiku dan mulai menyesap minumanku, sementara dia mulai membuka laptop yang tadi dibawanya di dalam tas kerja.

 

"Kamu tau, Afika dulu adalah mantan sekretarisku."

 

"Istri anda, Pak?" Aku hampir tersedak saat dia tiba-tiba menceritakan soal istri barunya di tengah-tengah dia mengamati layar benda pipih di depannya. 

 

"Iya, istriku."

 

"Oh, benar-benar wanita yang sangat beruntung,"  pujiku setengah bergumam. 

 

"Menurutmu begitu? Dia beruntung memiliki aku?" Dahinya mengernyit padaku.

 

"Saya rasa begitu."

 

"Kamu salah, Liv. Aku bukan orang yang sempurna. Jadi sebenarnya Afika tidak seberuntung itu. Justru dia yang banyak mendukungku selama ini sampai aku bisa sukses seperti sekarang." Dia menjelaskan dengan panjang lebar tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Matanya terus saja menatap benda di depannya, sementara bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. 

 

Sebenarnya aku sangat kaget mendengar pernyataan Mas Adjie barusan. Dia ternyata begitu memuja Afika. Bahkan mengklaim bahwa kesuksesannya sekarang adalah buah dari usaha Afika.

 

"Berarti anda yang beruntung memiliki Bu Afika, Pak." Aku terus saja mengikuti ritme pembicaraan itu. Entah apa sebenarnya yang kucari. Tapi aku mulai mengendus bahwa peran Afika begitu besar dalam usaha menyingkirkanku setahun yang lalu. 

 

"Yaa, bisa dibilang begitu. Meskipun tidak seluruhnya benar. Sebagai lelaki aku punya keinginan yang tak bisa dia berikan."

 

"Maksud, Bapak?" Aku menjeda kalimatku saat melihat sorot matanya mulai serius saat menoleh menatapku. "Emm maaf, Pak. Seharusnya saya tidak bertanya seperti itu. Maafkan saya."

 

"Tidak apa-apa. Kamu boleh bertanya. Sebagai istri, Afika itu terlalu dominan untukku. Dia terkadang sulit untuk dikendalikan. Tapi hal yang paling menyedihkan dari semua itu adalah," Mas Adjie berhenti dari kalimatnya. Menatapku sekilas untuk kemudian seperti membuang muka ke arah lain. "Dia tidak bisa memberikanku keturunan," lanjutnya dengan nada getir. 

 

"Oh, maaf Pak. Saya tidak bermaksud ...," kataku berpura-pura menyesal. Walaupun sebenarnya aku pun kaget dengan pernyataan terakhirnya itu.

 

"Tidak perlu minta maaf, itu kenyataan."

 

"Tapi bukankah anda dan ibu sudah memiliki seorang putra?" Tiba-tiba aku teringat Joe. Mungkin ini bahan obrolan yang bagus untuk sedikit mengorek informasi.

 

"Joe?" tanyanya. 

 

"Iya, yang tadi siang datang ke kantor bersama ibu." Aku mengangguk membenarkan. 

 

"Dia anakku dengan mantan istriku terdahulu." 

 

"Oh."

 

"Sebelum Afika, aku sudah memilki istri, namanya Ana. Tapi dia meninggal dalam  sebuah kecelakaan. Itu sebenarnya yang dimaksud Joe tadi. Dia menyangka kamu adalah Ana. Padahal kalian berdua jauh berbeda."

 

"Benarkah?" 

 

"Tidak. Itu tidak benar. Joe hanya ngawur. Ana tidak ada apa-apanya dibanding kamu. Kamu jauh lebih cantik. Kamu bahkan melebihi Afika."

 

Aku menahan nafas. Dia mulai membual dengan kata-kata rayuan. Bahkan dia mengungkapkan rahasia kelemahan istrinya padaku yang notebene baru sehari bekerja sebagai sekretarisnya. Apakah begitu tidak bahagianya kehidupannya dengan Afika sehingga Mas Adjie berbuat seperti ini? Atau ini memang sudah jadi sifatnya? Merayu seorang wanita dengan menjelekkan wanita lainnya.

 

"Jujur Livia, seandainya aku belum punya istri. Kamu pasti yang akan kupilih untuk mendampingiku. Kamu tidak hanya cantik, tapi pandai dan ..."

 

"Dan apa, Pak?" tanyaku malu-malu melihatnya menghentikan kalimatnya dan justru memandangi wajahku penuh sorot kekaguman. 

 

"Dan kamu wanita yang penurut, kurasa. Bukan seorang pembangkang."

 

Aku yakin mulutku membulat sekarang. Tapi aku harus tetap bersikap wajar. Aku baru menyadari bahwa kemungkinan besar yang dia sebut pembangkang itu adalah Afika. Aku yang dulu saat menjadi Ana juga adalah wanita yang penurut. Bahkan terlqlu penurut. Seorang wanita rumahan yang hanya bisa berkata 'iya' pada setiap perlakuannya. Bahkan dengan bodohnya bisa ditipu, dibuang, dan diperdaya.

 

"Ana dulu juga penurut. Tapi sayang, dia tidak pintar dan tidak cantik sepertimu. Kamu sempurna, Liv." 

 

Tak kusadari dalam keterjutanku tadi, Mas Adjie saat ini ternyata sudah duduk disampingku. Entah kapan dia berpindah tempat. Tapi aku sangat gugup. Jantungku berdebaran tak karuan. Lelaki ini, yang sekarang begitu dekat denganku dan hanya berjarak beberapa inch saja ini, meskipun orang yang sangat jahat, bagaimanapun pernah menjadi seseorang yang paling kupuja. 

 

"Tidak Livia, kamu harus kuat. Jangan lemah." Suara bisik hatiku mulai memberontak. Itu juga doktrin yang selalu diberikan Mas Bondan padaku. 

 

"Kalau sedikit saja kamu menyerah pada Adjie. Maka rencana kita akan gagal. Berhati-hatilah, Ana." Terngiang kata-kata Mas Bondan yang selalu diulangnya padaku.

 

Aku menahan nafas saat perlahan wajah Mas Adjie mendekat. Namun aku tahu bahwa aku harus menghindar. Bukan untuk membuatnya tersinggung, tapi untuk membuatnya semakin penasaran dan tergila gila. 

 

Dia sedikit memiringkan wajah saat melihat tubuhku sedikit condong ke belakang. Sepertinya dia ingin marah, tapi mulutnya menyinggingkan senyum nakal. Hingga beberapa menit kemudian bel pintu kamar berbunyi dan menyelamatkanku. Aku menarik nafas lega.

 

"S*al!" umpat Mas Adjie lemah. Lalu membenarkan letak dasi yang tadi sempat dilonggarkannya. Sementara aku kembali ke posisi semula dengan deheman kecil yang kukeluarkan untuk kembali menata suasana. 

 

"Tolong bukakan pintunya, Livia," perintahnya. 

 

"Baik, Pak," sigapku seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami sebelumnya. 

 

Aku berjalan menuju pintu kemudian mulai membukanya perlahan. Tapi mataku segera membulat saat kulihat siapa yang sedang berdiri di depanku saat ini. 

 

"Mas Bondan?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status