Home / Romansa / KEMELUT CINTA / Kesempatan dari Bu Asih

Share

Kesempatan dari Bu Asih

Author: Terbitha
last update Last Updated: 2024-04-01 05:28:51

Jam sepuluh malam, mataku belum sedikit pun mengantuk. Padahal biasanya aku sudah menguap lebar-lebar tidak lama setelah azan Isya terdengar.Tapi kali itu pikiranku terpusat pada Dokter Aldo dan Bu Asih.

Suasana malam itu begitu sunyi. Sejak makan malam berakhir, Bu Asih memilih masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Sementara Dokter Aldo ada di ruang duduk, tenggelam dalam buku yang dibacanya.

Pikiranku benar-benar kacau. Bu Asih menelpon Bu Yati kaoan saja lalu pasti semua akan menuduhku sebagai remaja bermasalah. Padahal yang aku lakukan hanya mengantar Gita ke rumah sakit.

Didorong oleh keinginan bertahan hidup, aku memberanikan diri menemui Dokter Aldo. Awalnya dia tidak menghiraukan kehadiranku. Tapi aku tetap mendekatinya.

"Dokter Aldo," sapaku. "Saya perlu bicara."

Dokter Aldo menutup bukunya. "Ada apa?"

"Saya minta izin untuk tetap tinggal di sini."

Hening. Dia tidak menanggapi ucapanku. Kami hanya saling tatap beberapa detik sampai kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kejadian siang itu," kataku tersendat. "Saya nggak tahu sama sekali tentang kehamilan Gita. Dokter nggak berhak menilai diri saya seperti itu di hadapan Bu Asih."

"Seperti apa?" tanya Dokter Aldo minta kejelasan.

"Mendukung seks bebas," jawabku tegas.

"Dengar ya, temanmu itu bukan pasien pertamaku yang usianya masih belasan tahun. Alasan mereka pun macam-macam. Ada yang merasa reinkarnasi Perawan Suci, ada yang bilang hamil karena berenang. Nah! Sekarang kamu mau membela temanmu dengan alasan apa?"

"Saya percaya dia hamil seperti yang Dokter bilang. Tapi saya sama sekali nggak mendukung kelakuannya. Dia nggak pernah cerita soal kehamilannya."

"Lalu sekarang apa? Kamu mau kami mengambil resiko menampung cewek seperti kamu?"

"Seperti apa? Saya seperti apa?" tantangku.

"Kamu bisa aja menyeludupkan pacarmu ke dalam kamar. Nenekku penglihatannya sudah rabun. Kamu dengan mudah bisa membawa panda ke kamarmu lalu bilang itu karung beras. Nenekku nggak akan melihat perbedaannya."

"Saya nggak punya pacar!" kataku kesal. "Mana ada cowok yang mau jadian dengan cewek seperti saya. Si yatim piatu yang nggak jelas di mana orang tuanya. Lagi pula saya ini kere. Bahkan ponsel pun saya nggak punya. Setiap tahun saya mendapat baju bekas dari donatur dan baju itu seringkali berupa kaus oblong bukan dress ala Korea. Kesempatan saya untuk dapat pacar saat ini adalah nol persen."

"Lalu sekarang mau kamu gimana?"

"Izinkan saya tinggal di sini. Saya nggak tahu harus tinggal di mana lagi. Sebagai balasannya saya akan memasak dan merapikan rumah sehingga Bu Asih nggak perlu lagi langganan katering."

Dokter Aldo menarik napas panjang. "Oke. Kita coba seminggu. Aku akan bicara dengan Nenek."

Aku tersenyum senang.

"Kamu berhutang budi dengan aku, Marla," kata Dokter Aldo.

****

Keesokan paginya.

Bu Asih menatapku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Dia duduk di sofa tunggal bak Ratu Elizabeth. Di belakangnya, Dokter Aldo berdiri mendampingi wanita itu.

"Aldo memintaku untuk tetap mempertahankanmu di rumah ini," kata Bu Asih, "Dan untuk alasan kemanusiaan aku menyetujuinya. Aku mau memberimu kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu nggak seperti yang Aldo bilang."

Aku menarik napas lega.

"Tapi ada syaratnya," sambung Dokter Aldo. "Kami nggak mau jadi penjaga pagar untuk bocah SMA. Jadi kamu sudah harus berada di rumah sebelum malam."

"Siap!" ucapku mantap. "Saya memang nggak suka keluyuran."

'Kamu pernah ikut tawuran?" tanya Bu Asih.

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan itu. "Nggak, Bu. Biasanya yang tawuran itu anak cowok. Saya 'kan cewek."

"Jadi kenakalan apa yang pernah kamu lakukan?" tanya Dokter Aldo dengan wajah serius.

"Pergi ke kantin waktu pelajaran Bahasa Inggris."

"Itu aja?' tanyanya lagi

Aku menganguk cepat.

Dokter Aldo mengamatiku lekat-lekat. Dia pasti sedang menilai penampilanku yang masih berantakan. Ketika itu aku masih memakai pakaian tidur berupa kaus oblong dan celana pendek.

"Oke," kata dokter itu. "Sekarang kamu punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap ke sekolah. Hari ini aku akan mengantarmu sambil kamu mempelajari rute angkot. Jadi besok kamu bisa pergi sendiri," ujar Dokter Aldo,.

Mendengar perkataannya, aku langsung bergegas ke kamar untuk bersiap. Tidak kuhiraukan kamar mandi yang aneh dalam kamar tidurku.

Sebelum tiga puluh menit aku sudah berdiri di hadapan Dokter Aldo yang sudah rapi memakai kemeja hijau muda dan celana kain hitam. Dia tengah menungguku di teras. Matahari pagi bersinar hangat di balik pungungnya. Sehingga seolah dia diliputi cahaya.

Selama beberapa saat aku terpukau melihatnya. Dia tidak setampan pretty boy K-Pop. Tapi garis wajahnya tegas dan dewasa. Dan bagiku itu membuatnya lebih menarik.

"Ayo kita pergi" ajak Dokter Aldo.

Dengan gugup aku mengikuti langkahnya ke garasi mobil. Tidak lama kemudian mobil itu bergerak meninggalkan rumah Bu Asih.

"Perhatikan rute angkot yang menuju ke sekolahmu," kata Dokter Aldo. "Aku nggak mau jadi sopir yang mengantarmu tiap pagi."

"Iya. Sekolah saya nggak jauh-jauh amat dari sini," ujarku ketika kami melewati Istana Bogor.

Kami terjebak macet sebentar di persimpanan lampu merah. Tapi aku tidak keberatan berlama-lama di dalam mobil dengannya. Sebab diam-diam aku sibuk mencuri pandang pada Dokter Aldo.

Apakah aku sedang jatuh cinta?

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMELUT CINTA   Hasrat yang Dipendam

    Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un

  • KEMELUT CINTA   Hasrat yang Dipendam

    Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un

  • KEMELUT CINTA   Kebetulan yang Tidak Baik

    Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m

  • KEMELUT CINTA   Meloloskan Diri

    "Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah

  • KEMELUT CINTA   Mengikuti Rencana Mama

    Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r

  • KEMELUT CINTA   Dibawa Pindah

    Menjelang sore, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Aku bahkan belum berganti pakaian sekolah dan hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku, menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap cetar dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau penampilanmu kayak gitu," kata Mama. Aku bergemin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status