Marla Shari cewek SMA yang tinggal di panti asuhan. Dunianya sepi dan hari-harinya dia habiskan sebagai pelajar SMA biasa. Tapi sebuah tragedi justru mempertemukannya dengan Aldo Alfian, seorang dokter spesialis obgyn. Yaitu ketika panti asuhannya terbakar habis dan dia ditempatkan di rumah Aldo yang merupakan donatur selama setahun. Awalnya Marla yakin, setelah bangunan panti asuhannya selesai, mereka akan menjauh. Tapi justru Aldo tidak mendaftarkan Marla di gedung panti asuhan yang baru saat bangunan itu selesai dibangun. Dia justru membawa Marla pindah ke apartemen dengan alasan rumah yang ditempatinya akan dijual. Aldo mempertahankan Marla hingga kemudian gadis itu diancam untuk dikeluarkan dari sekolah tiga bulan sebelum ujian akhir sekolah. Pihak Dinas Sosial menganggap Marla diculik orang dewasa. Sementara pengelola panti asuhan mengira Marla minggat. Apakah akhirnya 'selamanya bersama' yang dijanjikan Aldo kalah melawan kenyataan?
Lihat lebih banyak"Cepat, Pak! Cepat!" kataku pada tukang ojek pangkalan yang membawaku dan Gita ke sebuah rumah sakit di Bogor.
Siang hari itu, begitu bel sekolah usai, aku pontang-panting membawa Gita ke rumah sakit. Dengan menaiki ojek, kami berbonceng tiga, tanpa helm menembus kemacetan Bogor. Tubuh Gita terkulai lemas bersandar di tubuhku. Sekuat tenaga aku menahannya dengan mencengkram pegangan jok belakang motor. Sedikit saja aku lengah, kami berdua akan jatuh berguling-guling di jalan raya. Begitu sampai di IGD, aku melompat turun dan berlari ke nurse station. "Tolong teman saya. Dia pingsan di atas motor," kataku panik. Dua orang perawat dengan sigap keluar sambil mendorong brankar. Mereka kemudian memindahkan tubuh Gita dan membawanya ke ruang tindakan. Sementara aku membayar ongkos ojek dengan lembaran uang terakhir yang ada di dompetku. Dalam hitungan detik sekelompok para medis mengerumuni ranjang tempat Gita berbaring. Semua sibuk memeriksa kondisi temanku itu. Wajah mereka terlihat tegang dan serius. "Panggil Dokter Aldo,' kata salah seorang perawat dengan suara nyaring. Aku tentu tidak punya wewenang apapun untuk memanggil Dokter Aldo. Lagipula aku tidak mengenal dokter yang dimaksud. Tiba-tiba tubuhku didorong keras oleh seorang pria dewasa. "Permisi," ujarnya sambil setengah berlari menuju ranjang Gita. Seorang perawat langsung menarik tirai rapat-rapat. Situasi saat itu terasa mencekam. Aku bisa mendengar suara seseorang memberikan instruksi. Suaranya jelas dan tegas tapi tidak menakutkan. Lalu tiba-tiba tirai itu kembali dibuka. Seorang pria berjas snelli putih menatapku. "Kamu datang bersama pasien ini?" tanya pria itu. Usianya sekitar awal tiga puluhan. Cukup pantas untuk dipanggil dengan sebutan Om. Tubuhnya tinggi, pasti tidak kurang dari 180 cm. Aku menjawab iya sambil melihat ujung kaki Gita yang ditutupi selimut bergaris. "Panggil orang tuanya sekarang juga ke sini," ucap pria itu dengan nada memerintah. "Ayahnya berkerja di Parung. Ibunya dagang di Mangga Dua." "Aku nggak sedang bertanya di mana orang tuanya bekerja. Aku minta orang tuanya segera ke sini. Sebab tanpa persetujuan orang tuanya, kami nggak bisa melakukan tindakan apa pun." "Teman saya sakit apa sih?" tanyaku bingung. Pria itu semakin gusar. "Aku hanya bisa menjelaskan kondisi pasienku pada yang berwenang." "Saya berhak tahu. Dia teman sekelas saya." Pria itu tersenyum geli. "Aku mau bicara dengan orang tuanya. Apa kalimat itu kurang jelas?" Aku menghela napas menahan kesal. "Saya 'kan sudah bilang posisi mereka jauh," ujarkku sambil mengambil ponsel Gita dari dalam tasnya. "Saya akan coba telepon ibunya dulu." Tidak sulit untuk menemukan nomor ponsel ibunya Gita. Jelas tertulis dalam kontaknya nama 'Mama Tersayang'. Aku langsung menekan lambang telepon di ponsel itu. "Ini saya, Marla" ujarku begitu berhasil menghubungi ibu Gita. "Sekarang saya sedang di rumah sakit. Gita yang sedang sakit. Ada petugas medis yang ingin bicara dengan pihak keluarga Gita." Aku langsung menyerahkan ponsel Gita pada pria galak yang berdiri menjulang di depanku. "Selamat siang. Saya Dokter Aldo," ujar pria itu begitu dia berhasil bicara dengan ibu Gita. Seakan tidak ingin pembicaraannya didengar olehku, pria itu berjalan menjauh hinngga ke sudut ruang IGD. Dari kejauhan aku mengamati raut wajahnya, tegang dan serius. Tidak lama kemudian Dokter Aldo segera mengembalikan ponsel itu padaku. "Dokter Aldo," kataku pelan dengan nada sesabar mungkin. "Ya, Marla," sahutnya. Ternyata dia ingat namaku. "Saya khawatir sekali dengan kondisi teman saya, Gita. Saya belum pernah melihat darah sebanyak itu keluar dari tubuh seseorang." Dokter Aldo mengamati wajahku. "Kamu sungguh nggak tahu apa yang terjadi dengan temanmu?" Aku menggeleng. "Saya hanya tahu dari tadi pagi dia mengeluh kram perut. Lalu begitu jam pelajaran pertama selesai, dia minta izin ke UKS. Saat jam pulang sekolah, saya ke UKS untuk mengajaknya pulang. Tapi dia bilang perutnya tambah sakit. Waktu saya memapahnya, saya melihat rok abu-abunya penuh darah. Saya jadi panik dan bermaksud memanggil guru. Tapi Gita menangis dan bilang dia nggak mau ada orang yang tahu dan hanya minta ditemani ke rumah sakit. Saya hanya tahu itu aja." Dokter Aldo tersenyum kecil. "Kamu benar-benar polos," katanya kemudian kembali ke ruang tindakan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Suasana IGD siang itu tidak ramai. Di nurse station hanya terlihat dua orang perawat berjaga. Sisanya masuk ke ruang tindakan membantu Dokter Aldo. Walaupun berteman dekat, nasibku dan Gita sangat jauh berbeda. Aku adalah anak panti asuhan yang terbiasa dengan hidup sederhana. Sementara Gita memiliki kehidupan yang sempurna. Ayahnya bekerja di sebuah pabrik sepatu di Parung. Ibunya memiliki kios pakaian di Pasar Pagi Mangga Dua. Dan dia juga punya kakak perempuan yang sedang kuliah di sebuah PTN di Jakarta. Gita juga punya pacar seorang mahasiswa kedokteran hewan. Sambil menunggu kabar baik dari Dokter Aldo, aku duduk di salah satu kursi ruang tunggu IGD. Tapi belum lama aku duduk, tirai ruang tindakan dibuka. Dengan langkah lebar dan raut wajah sedih dia menghampiriku. Jantungku terdetak lebih cepat. Alarm di otakku berdering memberi peringatan, "Gimana, Dok?" tanyaku memberanikan diri. "Aku minta maaf," kata Dokter Aldo. "Temanmu terlalu banyak kehabisan darah." "Jadi?" tanyaku bingung. "Kita kehilangan pasien," ujar Dokter Aldo. Wajahnya terlihat lelah dan lesu. Duniaku mendadak gelap. Tubuhku lunglai jatuh ke lantai. ****Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
Menjelang sore, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Aku bahkan belum berganti pakaian sekolah dan hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku, menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap cetar dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau penampilanmu kayak gitu," kata Mama. Aku bergemin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen