Beranda / Romansa / KEMELUT CINTA / Bu Asih dan Rumahnya

Share

Bu Asih dan Rumahnya

Penulis: Terbitha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-30 01:44:35

Rumah Bu Asih yang menjadi tujuan kami berada tidak jauh dari Taman Sepur, sebuah taman kota yang menjadi tempat warga Bogor bersantai. Rumah itu rumah tua yang masih terawat baik. Desain bangunannya mengingatkan aku pada rumah Belanda. Halaman yang cukup luas dipenuhi dengan tanaman trapis dan dua batang pohon mahoni yang besar dan rimbun.

Dari pagar besi yang tertutup rapat, aku mengagumi keindahan rumah itu. Begitu juga dengan Bu Yati.

"Bu Asih ini bukan orang sembarangan. Dia peranakan Belanda yang sempat lari ke Eropa waktu Jepang masuk ke Indonesia. Tahun 50'an, dia menikah dengan orang Tionghoa, pemilik pabrik gula yang juga membangun bank Tjakra," bisik Bu Yati ketika kami berjalan menuju pintu depan yang dhiasi kaca patri.

Aku mendengarkan perkataannya sambil menjinjing tarvel bag berlambang sebuah perusahaan jasa travel umroh. Rasanya kalian bisa menebak dari mana aku mendapatkan tas warna hijau tua itu. Benar sekali, teman. Tas itu adalah tas pemberian salah seorang donatur.

Kami tidak perlu menunggu lama untuk bertemu dengan pemilik rumah. Sepertinya kedatangan kami sudah ditunggu Bu Asih. Sebab dia sendiri yang membukakan pintu.

Tadinya aku mengira akan bertemu dengan seorang nenek berkebaya, lengkap dengan sirih di mulutnya,. Ternyata aku salah. Bu Asih adalah seorang wanita tua yang cantik terawat . Dia memakai dress bermotif bunga-bunga kecil. Rambutnya putih keperakan dihiasi sirkam mutiara. Entah asli atau palsu. Aku tidak bisa membedakannya.

"Kamu pasti yang bernama Marla," kata Bu Asih ketika kami berada di ruang tamunya.

"Marla Shari lengkapnya," jawabku sambil tersenyum sopan.

"Kelas berapa?"

'"Kelas dua belas SMK Tata boga."

Bu Asih tersenyum. Tampaknya dia puas dengan jawaban yang kuberikan. "Di rumah ini sebetulnya ada pembantu yang menginap. Tapi dia berhenti bekerja sebulan yang lalu. Katanya mau dinikahkan di kampungnya. Tapi jangan khawatir. Kamu nggak akan kuanggap babu. Aku hanya minta pengertianmu sedikit aja. Aku nggak suka keramaian. Jadi tolong, jangan ajak teman-temanmu ngumpul di sini."

"Kalau itu jangan khawatir, Bu," sela Bu Yati. "Marla ini bukan anak gaul. Hari-harinya dihabiskan di sekolah dan panti asuhan kami. Kadang dia kerja sambilan jadi pelayan katering kalau sedang ada wedding party."

Apa yang Bu Yati katakan memang benar. Selain Gita, aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk kujadikan teman. Mengenai pelayan katering juga begitu. Biasanya ketika diminta menjadi pelayan katering aku bisa pulang jam sepuluh malam. Dan sering kali pihak katering menyediakan akomodasi pengantaran sehingga keamananku terjamin sampai di tujuan.

Menjelang siang, Bu Yati pamit pulang. Dengan mengendarai motornya, dia melesat pergi meninggalkan aku bersama seorang nenek yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Ayo, aku tunjukan kamar tidurmu," ajak Bu Asih.

Aku mengiyakan lalu mengikuti langkahnya. Ternyata rumah itu cukup besar. Semua perabotannya tertata rapi, apik dan bersih. Sulit kupercayai seorang wanita tua seperti Bu Asih masih cekatan membersihkan rumah. Tapi pertanyaanku terjawab beberapa menit kemudian.

"Setiap tiga kali seminggu akan ada dua orang tukang bersih-bersih ke sini," kata Bu Asih. "Aku juga jarang masak karena aku berlangganan katering harian untuk makan siang dan makan malam. Pakaianku juga begitu. Aku punya laundry langganan. Nanti kamu pun bisa menitipkan pakaian kotormu di keranjang laundry-ku."

"Nggak, Bu. Saya biasa nyuci sendiri."

Kami terus berjalan hingga ke bagian belakang rumah. Ada sebuah selasar yang menjadi penghubung rumah induk dengan service area termasuk dapur dan kamar tidur belakang.

"Ini kamarmu," kata Bu Asih di depan sebuah pintu bercat biru usang. Perlahan dibukanya pintu kamar itu. "Ada kamar mandi di dalam."

Aku tercenang melihat isi dalam ruangan itu. Kondisi kamar itu sebetulnya cukup baik, hanya kotor. Wajar saja. Mungkin karena lama tidak ditempati. Tapi yang membuat aku takjub adalah ruang kecil di sudut kamar yang disebut sebagai 'kamar mandi."

Kamar mandi yang ada di dalam kamar itu sama sekali tidak berpintu. Dindingnya pun hanya separuh dari ketinggian plafond. Di dalam kamar mandi itu terdapat kloset jongkok dan bak dari plastik untuk menampung air.

"Apa kitra hanya tinggal berdua di sini?" tanyaku pada Bu Asih.

"Nggak. Ada cucuku Tapi sekarang dia sedang bekerja. Nah, sekarang mumpung belum malam kamu bisa beres-beres dulu ruangan ini. Jadi nanti malam kamu sudah bisa tidur di sini."

Ruangan itu nyaris kosong melompong. Yang ada hanya sehelai kardus kulkas. Sepertinya kardus itu yang akan menjadi alas tidurku malam ini.

Seharian aku membersihkan kamar itu. Hasilnya tidak terlallu jelek. Kamar itu kelihatan lumayan. Ketika aku sedang mengepel lantai tiba-tiba terdengar suara di balik punggungku.

"Hei! Siapa kamu?" tanya seorang pria.

Aku langsung menoleh dan takjub melihat sosok yang berdiri di depanku.

"Dokter Aldo? Kok Dokter ada di sini?" tanyaku bingung.

"Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu bisa ada di sini?" Pria itu balik bertanya padaku.

"Saya tinggal sementara di sini."

"Oh, pasti kamu anak panti asuhan yang mengungsi di sini ya? Nenek! Nenek!" paggil Dokter Aldo sambil berjalan cepat ke rumah induk.

Aku hanya bisa berdiri mengamati kehebohannya dari kejauhan. Tidak lama kemudian dia kembali datang bersama Bu Asih.

"Nenek tahu nggak siapa dia? Dia ini penganut seks bebas, Nek," kata Dokter Aldo dengan sangat yakin.

Bu Asih menatapku tidak percaya. "Jangan ngawur!" katanya kemudian.

"Nggak, Nek. Aku pernah bertemu dia di IGD. Namanya Marla 'kan? Temannya menjadi pasienklu belum lama ini. Nenek bisa bayangkan, seorang anak SMA menjadi pasien dokter obgyn. Itu artinya sesuatu yang besar telah terjadi."

Bu Asih menatapku lekat-lekat. "Betul begitu?"

"Iya, Nek," jawabku.

"Kalau begitu kamu nggak bisa tinggal di sini. Aku nggak mau mengambil resiko."

Aku menatap Dokter Aldo dengan sorot mata marah. Bisa-bisanya dia membuat aku tidur di emperan ruko.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMELUT CINTA   Hasrat yang Dipendam

    Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un

  • KEMELUT CINTA   Hasrat yang Dipendam

    Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un

  • KEMELUT CINTA   Kebetulan yang Tidak Baik

    Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m

  • KEMELUT CINTA   Meloloskan Diri

    "Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah

  • KEMELUT CINTA   Mengikuti Rencana Mama

    Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r

  • KEMELUT CINTA   Dibawa Pindah

    Menjelang sore, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Aku bahkan belum berganti pakaian sekolah dan hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku, menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap cetar dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau penampilanmu kayak gitu," kata Mama. Aku bergemin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status