"Ga perlu Mas jawab, aku paham kok."Mas Nadhif langsung meraih tanganku."Demi Allah, Dik. Mas sangat mencintai Adik. Dia hanya masa lalu yang tiba-tiba datang dan seakan membuka kembali luka yang telah lama Mas lupakan."Laki-laki itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang mungkin sekarang sedang menahan tangis. Pasti sangat sakit ditinggal lagi sayang sayangnya. Apalagi dengan cara pengkhianatan yang sangat menyakitkan seperti yang dilakukan perempuan itu."Mas, aku gapapa kok, jika memang Mas harus menemui dia. Mungkin dengan kalian bicara, semua luka dihati Mas akan sembuh.""Gak! Ga Dek. Biarlah luka itu menjadi penghalang bagi Mas untuk melukai wanita lain. Mas tak mau adik sakit dengan masa lalu Mas."MasyaAllah, kenapa sekarang aku yang berkaca-kaca. Jujur, sebenarnya aku juga cemburu jika Mas Nadhif harus kembali membuka komunikasi dengan mantan istrinya itu. Rasanya tak ikhlas jika dia kembali datang tanpa perasaan bersalah lalu mendekati suami dan anakku. Kemarin kemana aja
"Saya tak akan pergi sebelum membawa Wildan tinggal dirumah saya.""Silahkan saja. Jika ingin tubuhmu yang kau obral dengan pakaian seksi itu di raba raba security saya. Saya tinggal teriak lalu mereka akan datang menarik kamu pergi dari sini."Dia gelagapan. Dengan cepat dia meraih tas tangannya di atas meja."Saya tak akan menyerah!" Ancamnya dengan wajah penuh amarah dia pergi lalu menaiki mobil merah yang terparkir di halaman rumah."Kenapa, Nduk?" ibu tergesa menghampiri. "Kenapa dia marah?" Lanjut Ibu khawatir.Aku kembali duduk. Mengingat wajah perempuan yang penuh amanah tadi. Sungguh tak terlihat dia adalah wanita yang sedang sek*rat."Aneh, Bu. Dia ngotot untuk membawa Wildan. Dan Tari juga ga melihat dia seperti orang yang sakit keras."Ibu menoleh ke arah mobil merah yang sudah menghilang dibalik gerbang. "Jangan jangan dia berbohong, Nduk.""Tari curiga seperti itu, Bu. Tapi, kata Mas Nadhif dia melihat sendiri hasil pemeriksaan medis mantan istrinya itu."Ibu duduk dis
"Mas minta maaf, Dik. Mas lelah."Aku diam saja. Wildan akhirnya mau tinggal sementara di rumah perempuan itu demi tak melihat aku dan ayahnya bertengkar."Bicaralah, Sayang. Mas akui Mas salah. Tapi, kali ini Mas mohon. Berikan kesempatan untuk Erna dekat dengan anaknya."Aku membalikkan badan. Menatap laki-laki yang telah menjadi suamiku itu duduk di pinggir ranjang."Terserah. Aku bukan Ibunya. Apapun yang kamu putuskan pada Wildan itu hak kamu. Aku tidak mau ikut campur." "Dik, plis jangan seperti ini."Aku kembali membelakangi Mas Nadhif. Aku tak suka laki-laki yang mudah dikuasai perasaannya oleh orang lain. Biar saja dia mikir sendiri. Baik buruk nya dia juga yang merasakan. Yang penting kelima anakku tetap dalam kendaliku. Walau, terkesan egois. Sebab, sakit sekali hatiku mendengar ucapan Mas Nadhif tadi.***Keesokan harinya, perempuan itu datang. Kali ini penampilannya sangat berbeda. Muka pucat tanpa irisan. Baju nya pun hanya piyama longgar yang menutupi tubuh kurusnya. D
"Keterlaluan mana membiarkan kamu pergi dengan perempuan yang jelas jelas ada hubungan dengan kamu di masa lalu? Maaf ya, Mas. Kalau kamu mau mesra mesraan dengan dia, mau so sweet, sweet an. Monggo! Silahkan. Sekalian kamu jangan pernah balik lagi ke rumah ini!"Mas Nadhif tertegun mendengar ucapanku yang berani. Aku sudah muak dengan drama laki-laki tak tau diri. Lebih baik memutus hubungan dari sekarang dari pada terulang lagi kejadian seperti dulu. Kebodohan yang nyatanya membuat hatiku membeku Tanpa menunggu jawaban darinya aku pergi begitu saja. ***Sudah dua hari Wildan pergi. Dua hari pula hubunganku dengan Mas Nadhif terasa dingin. Aku tak peduli. Aku menyibukkan diri dengan anak anak. Dan mulai menulis novel baru.Wildan sendiri dengan intensif mengirimkan aku pesan. Aku sengaja memberinya ponsel tanpa sepengetahuan Mas Nadhif. "Dik, mau sampai kapan kita seperti yang ini?" Mas Nadhif menghampiriku yang tengah mengetik di ruang kerja."Terserah.""Mas minta, Maaf." Lirihn
"Mas kemarin nengokin Wildan kan? Gimana keadaannya?" Aku langsung mencecar Mas Nadhif dengan pertanyaan."Mas tak tau, Dik." Jawabnya pelan."Tak tau gimana? Kan kamu kemarin ke rumah Mbak Erna!" Suaraku sedikit meninggi. Agak gemas dengan jawaban dari suamiku itu.Mas Nadhif tampak salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sesekali dia menatapku lalu kembali menunduk. Ibu pun menunggu jawaban dari menantunya itu dengan wajah penuh rasa penasaran."Kemarin Mas hanya ketemu Erna di kafe. Wildan ga ikut." Jawabannya membuat darahku kembali mendidih."Astaghfirullah, Mas! Mungkin memang udah takdirku kali ya, dapat suami yang ga amanah. Kalau masih tersakiti begini, buat apa aku menikah!" Suaraku bergetar hebat. Dada ini terasa sesak."Nduk ... Sabar ... Orang terdekat juga bisa menjadi ujian untuk kita. Jangan bicara seperti itu. Semua yang terjadi merupakan takdir yang harus kita jalani.""Tari capek, Bu. Mending jadi janda kalau punya suami hanya mena
Aku pun segera menyiapkan diri. Bersyukur asip masih banyak di kulkas. Sehingga aku tidak usah khawatir meninggalkan Alisha dan Aleeya."Ibu ikut." "Bu, biar Tari dan Mas Nadhif aja. Ibu tolong jagain anak-anak dirumah ya, Bu. Khawatir Bik Mira kewalahan jika mereka menangis.""Nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana, Nduk?""InsyaAllah gapapa, Bu. Tari masih ingat jurus taekwondo yang dulu pernah tari pelajari kok.""Kamu habis melahirkan, Nduk. Luka di perutmu masih belum sepenuhnya sembuh. Ibu sungguh sangat khawatir, Nduk. Bagaimana kalau kita melaporkan ke polisi.""Ga usah dulu, Bu. Kita belum ada alasan untuk melaporkan kepada polisi. Wildan dibawa oleh ibu kandungnya. Polisi tidak akan menindak laporan kita."Ibu terdiam. Tapi, wajahnya masih saja menyimpan rasa cemas."Ibu do'akan saja, ya. InsyaAllah gapapaa." Tuturku."Iya, Bu. Nadhif akan menjaga Tari. Jika ada apa apa Nadhif akan menelpon polisi."Ibu tertunduk. Hingga akhirnya beliau menganggukkan kepalanya."Hat
Seminggu kemudian berita mencengangkan datang dari orang yang pernah hampir menjadi bagian dari hidupku. Dokter Elzio, laki-laki itu ditangkap karena menyalahi kode etik. Memberikan keterangan palsu untuk pasien berdasarkan request. Bukan berdasarkan diagnosis. Untung Mas Nadhif tidak menghapus foto yang dikirim Erna waktu itu. Semua gambar itu menjadi acuan petugas untuk menyelidiki kasus penculikan Wildan."Berarti Erna tak sakit, Pak?" Tanya Mas NadhifPak polisi yang menangani kasus kami, mengangguk cepat."Surat keterangan itu palsu. Dibuat untuk kepentingan tertentu."Mas Nadhif hempas. Dia pasti tidak menyangka sama sekali jika perempuan itu tega membohonginya. Setelah menghabiskan uangnya yang diberikan cuma-cuma, sekarang anaknya menjadi korban. Entah bagaimana nasib Wildan saat ini. Mas Nadhif seperti orang linglung. Syok berat. Sehingga dia meminta istirahat di mobil menunggu semuanya selesai.Sebelum pulang aku meminta ijin untuk bertemu dokter Elzio yang sudah ditahan. Pe
Mas Nadhif menangis. Apalagi setelah hampir dua Minggu Wildan tak ada kabar. Polisi masih terus menyelidiki keberadaan anak sambungku itu. Kami hampir tiap hari bolak-balik ke kantor polisi menanyakan perkembangan kasusnya. Di setiap sujud aku juga selalu menyebut nama Wildan agar segera kembali dalam keadaan selamat dan tak kurang suatu apapun. Namun, kami masih diminta sabar. Belum ada titik terang."Dik, gimana jika Erna menjual anak kita?""Insya Allah nggak, Mas. Gak mungkin Mbak Erna setega itu terhadap darah dagingnya.""Tapi, dia tak punya hati meninggalkan Wildan saat dia masih bayi. Apa itu tanda dia punya perasaan?"Aku terdiam. Aku sendiri jangankan meninggalkan anak selamanya. Hanya berpisah beberapa saat saja aku sudah khawatir minta ampun."Dia itu bukan perempuan, Dik. Hatinya mati."Aku menghela napas panjang. Mau diapakan lagi. Berpendapat apapun tentang Erna tidak akan mengubah situasi. Yang ada nambah penyakit karena menahan cemas.Mobil sampai dihalaman rumah. An
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s
Dua bulan berlalu sejak Wildan berdiri di depan kontrakan dengan wajah kuyup dan tangan gemetar. Banyak hal telah berubah sejak malam itu.Naira memutuskan untuk memaafkan. Tidak dengan gegabah, tapi perlahan. Ia izinkan Wildan masuk lagi ke dalam hidupnya—bukan karena lelah, tapi karena Gio. Dan mungkin… karena hatinya pun masih menyimpan sisa cinta yang belum benar-benar mati.Wildan bekerja di toko bangunan setiap hari, katanya mau mandiri. Tak ingin berdiri dibalik bayang-bayang Sang Ayah yang seorang produser film. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk membayar kontrakan baru yang sedikit lebih layak, lebih terang, dan punya halaman kecil. Setiap pagi, ia membantu memandikan anaknya, memberi makan, dan membaca buku dongeng meski dengan suara sumbunya yang sering membuat Naira tertawa geli.Dan Tari? Dia membiarkan anaknya pergi. Tidak dengan marah, tidak dengan air mata, tapi dengan restu.Hari itu, mereka berkumpul di depan rumah Tari. Dua koper besar, satu tas gendong, dan Gio
Alif menghela napas panjang. “Kita semua ikut keputusan itu, Sayang. Tapi kalau Naira sekarang makin keras kepala, ya mungkin karena selama ini kita terlalu nahan dia hidup sesuai versi kita.”Nayla menunduk. “Tapi Gio… aku cuma takut dia tumbuh tanpa stabilitas.”“Aku bisa urus pendidikan Gio kalau Naira masih belum siap. Tapi bunda juga harus bisa nerima kenyataan—Naira bukan anak kecil lagi.”Nayla menatap anak sulungnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa sangat tua. Sangat kalah oleh waktu.**Malam itu, Naira duduk sendirian di dapur. Gio sudah tidur. Winda belum pulang. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin.Ia membuka WhatsApp. Mengetik pesan untuk Aleeya.> Leeya… kalau aku titip Gio beberapa hari, kamu mau jagain?Pesan belum dikirim. Tapi matanya sudah basah.Karena ternyata… jadi ibu tidak sekadar melahirkan. Tapi juga berani memilih—bahkan saat hatinya sedang hancur.---Flashback...Lima tahun yang lalu…Langit sore itu mendung. Di dalam rumah Nayla, suasana ja