Arsen membentak Tari istrinya karena setiap dia pulang kerja, Tari selalu mengeluh. Bahkan, Tari meminta seorang pembantu untuk membantu dia mengerjakan tugas rumah dan menjaga 3 anaknya. Mendengar hal itu Arsen makin meradang. Walau sebenarnya dia punya uang untuk itu. Tari yang selalu kena marah suaminya perlahan mulai berubah. Arsen bukannya sadar malah makin bertingkah dengan mulai menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Lebih mirisnya Arsen sampai menikahi perempuan itu. Tari yang sudah tahu sebenarnya hanya bisa diam. Tapi, dibalik diamnya Tari bisa menghasilkan uang banyak yang membuat Arsen menyesal.
View More"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak.
"Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.
Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.
Tak lama terdengar suara Tari memerintah dua anak kami masuk ke kamar mandi. Tadi, dua bocah laki-laki itu main kotor kotoran di depan rumah. Teras yang berkeramik putih penuh noda tanah yang mereka aduk dengan air lalu menjadikan arena bermain mobil-mobilan. Kotor sekali.
Abrar tidur pulas dalam dekapanku. Dengan sangat hati-hati aku meletakkan di atas kasur.
"Ammar! itu mainan Abang!" pekikan Alif membuat Abrar terkejut dan kembali menangis. Aku menghela nafas panjang. Dan kembali mengendongnya agar diam.
"Alif, Ammar, jangan main air, Sayang. Hayuk, biar Mama mandikan." suara lembut Tari membuat tawa dua anak laki-laki itu makin riuh.
"Abang, nanti kita main lagi, ya," seru Ammar diantara suara gemericik air.
"Udah ya, Sayang. Papa sudah pulang. Mainnya besok lagi. Mama mau membersihkan rumah, sementara kalian masuk kamar, main gambar gambaran dulu, ya," lembut suara Tari.
"Ga mau, Ma. Ammar mau main mobil mobilan lagi. Besok Abang kan sekolah, Ammar ga bisa main!"
"Setelah Abang pulang sekolah, Ammar bisa main lagi,oke?" Kali ini Tari terdengar lebih tegas.
Akhirnya perdebatan mereka selesai seiring dua anak Laki-laki keluar dari kamar mandi menggunakan handuk.
"Alif bantu Ammar memakai baju, ya." seru Tari yang kembali ke dapur. Sangat riweuh sekali di rumah ini. Belum juga Tari memberikan segelas teh hangat untukku. Ammar yang berusia tiga tahun menaburkan bedak bayi sepanjang lantai diruang tengah. Mengabaikan teriakanku yang berusaha menghentikan.
"Cukup! Alif, Ammar masuk kamar!" suaraku naik beberapa oktaf. Alif yang sedang memegang mainan terdiam. Begitu juga dengan Ammar. Dengan kepala tertunduk berjalan ke arah kamarnya. Tari tergopoh-gopoh datang dari dapur dengan segelas teh ditangan.
"Alif, Ammar, masuk kamar nanti Mama bantu, ya." Suara Tari terdengar bergetar. Dengan tergesa pintu kamar anak-anak dia tutup dan berjalan ke arahku.
"Mas, tolong ya, Mas. Kalau kamu berharap rumah ini menjadi syurga ternyaman, jangan percikan api dalam ingatan anak-anakku. Aku tak ikhlas kamu membentak mereka. Aku yang mengandung dan aku juga yang melahirkan!" Seru Tari setelah menaruh teh yang dia buat di atas meja. Dengan kasar perempuan itu meraih Abrar dari tanganku. Aku terdiam. Tak menyangka Tari akan semarah itu.
"Aku capek, Dek!" Selaku tak terima. Tari menoleh, tatapannya begitu tajam.
"Kamu kira aku ga capek? Tolong ingat, aku di rumah bukan sebagai ratu, tapi ..." kalimat Tari menggantung. Perempuan itu kemudian meninggalkanku tanpa melanjutkan ucapannya. Aneh.
Sejak kejadian itu, Tari tak menghiraukanku. Meski, dia tetap memenuhi semua kebutuhan suaminya ini, begitu juga saat makan. Dia hanya sibuk dengan Alif dan Ammar yang tak henti-hentinya membuat ulah malam itu. Berlama lama seperti ini tak nyaman juga.
"Dek, Mas minta maaf," lirihku sambil memijat kaki Tari yang sudah terlebih dulu merebahkan diri di sampingku.
"Sayang, Maafkan, Mas. Mas, janji akan lebih mengendalikan diri, dan menahan emosi," ujarku lagi.
Tubuh Tari menggeliat, lalu berbalik mengarah padaku.
"Kamu boleh marah padaku, Mas. Tapi, jangan pernah membentak anak-anak. Aku tak ridho!"ketusnya.
"Iya, Mas janji akan berubah." Aku men g*cup punggung tangan Tari. Wajah juteknya mulai melunak, seiring senyum yang terukir di bibirnya.
***
Keesokan harinya, pagi pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Anak-anak masih di kamar. Sehingga, hanya Abrar yang sempat aku cium sebelum berangkat.
"Mas, aku boleh ga, ambil pembantu?" Lirih Tari tampak ragu-ragu.
Aku menghela nafas panjang. Sayang banget uang yang aku kumpulkan susah payah hanya untuk membayar pembantu. Kalau semua pekerjaan dikerjakan oleh orang lain, Tari keenakan dong ga ngapa-ngapain.
"Sabar dulu, ya, Dek. Mas akan usahakan,"sahutku. Hanya alasan untuk menyelamatkan diri sesaat.
Tari mengangguk lalu tersenyum. "Maafkan aku, Mas. Bukannya aku tak menerima semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Tapi, aku juga ingin sekedar memiliki waktu untuk diriku sendiri."
Aku melirik jam tangan. Masih setengah enam, sebenarnya masih ada waktu untuk bicara. Tapi, aku malas mendengar keluhan Tari yang setiap hari selalu sama. Dan berakhir dengan meminta seorang ART yang akan membantunya.
"Dek, aku sudah telat. Nanti kita bicarakan lagi, ya." Tanpa menunggu jawaban Tari, aku segera berlalu menaiki motor dan pergi. Bisa-bisa pagiku mendadak ambyar jika mendengar semua keluhannya.
***
Hari ini aku sengaja pulang telat. Berharap anak-anak sudah rapi dan menunggu waktu untuk tidur saja. Suasana sudah mulai gelap. Dari kejauhan rumahku sudah terlihat terang dengan nyala lampu. Aku memarkirkan motor di teras seperti biasa. Tak lama pintu terbuka.
"Eh, Nak Arsen sudah pulang." Aku sedikit tersentak melihat perempuan yang membukakan pintu, bukan istriku.
"Tari sedang mandi." ujarnya lagi seakan paham apa yang aku pikirkan. Lalu berjalan mendahului.
"Seharusnya kalian ini punya pembantu. Memiliki tiga anak lelaki yang sedang butuh perhatian dari ibunya itu tak gampang. Apalagi, semua pekerjaan di rumah ini, Tari sendiri yang mengerjakan. Setidaknya, ada tukang masak atau tukang cuci yang sedikit meringankan beban Tari. Walau tidak menginap, itu sudah cukup membantunya."
Degh.
Baru pulang kerja aku sudah diceramahi
begini. Pasti Tari mengadu yang tidak tidak. Awas kamu, Tari.
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s
Dua bulan berlalu sejak Wildan berdiri di depan kontrakan dengan wajah kuyup dan tangan gemetar. Banyak hal telah berubah sejak malam itu.Naira memutuskan untuk memaafkan. Tidak dengan gegabah, tapi perlahan. Ia izinkan Wildan masuk lagi ke dalam hidupnya—bukan karena lelah, tapi karena Gio. Dan mungkin… karena hatinya pun masih menyimpan sisa cinta yang belum benar-benar mati.Wildan bekerja di toko bangunan setiap hari, katanya mau mandiri. Tak ingin berdiri dibalik bayang-bayang Sang Ayah yang seorang produser film. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk membayar kontrakan baru yang sedikit lebih layak, lebih terang, dan punya halaman kecil. Setiap pagi, ia membantu memandikan anaknya, memberi makan, dan membaca buku dongeng meski dengan suara sumbunya yang sering membuat Naira tertawa geli.Dan Tari? Dia membiarkan anaknya pergi. Tidak dengan marah, tidak dengan air mata, tapi dengan restu.Hari itu, mereka berkumpul di depan rumah Tari. Dua koper besar, satu tas gendong, dan Gio
Alif menghela napas panjang. “Kita semua ikut keputusan itu, Sayang. Tapi kalau Naira sekarang makin keras kepala, ya mungkin karena selama ini kita terlalu nahan dia hidup sesuai versi kita.”Nayla menunduk. “Tapi Gio… aku cuma takut dia tumbuh tanpa stabilitas.”“Aku bisa urus pendidikan Gio kalau Naira masih belum siap. Tapi bunda juga harus bisa nerima kenyataan—Naira bukan anak kecil lagi.”Nayla menatap anak sulungnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa sangat tua. Sangat kalah oleh waktu.**Malam itu, Naira duduk sendirian di dapur. Gio sudah tidur. Winda belum pulang. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin.Ia membuka WhatsApp. Mengetik pesan untuk Aleeya.> Leeya… kalau aku titip Gio beberapa hari, kamu mau jagain?Pesan belum dikirim. Tapi matanya sudah basah.Karena ternyata… jadi ibu tidak sekadar melahirkan. Tapi juga berani memilih—bahkan saat hatinya sedang hancur.---Flashback...Lima tahun yang lalu…Langit sore itu mendung. Di dalam rumah Nayla, suasana ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments