Arya Rahu terkesiap ketika selendangnya terlepas dan melayang jatuh ke tanah. Di bahu kanannya terdapat bekas cengkeraman tangan Wirota yang membiru bercampur luka karena cakaran. Namun Wirota hanya tersenyum sinis dan berkata"Ndoro Rahu, siapa yang membuatmu terluka di bahu? Kemana saja anda semalam?" Tanya Wirota.Gajah Pagon terkejut melihat luka di bahu Arya Rahu, apa yang telah dikatakan Wirota benar, di bahunya terdapat bekas cengkeraman tangan. Namun Gajah Pagon tahu apa yang harus dilakukan. Buru-buru dia turun ke gelanggang dan berkata"Mpu Rahu, maafkan atas kekurangajaran prajurit saya, mungkin dia terlalu bersemangat karena gembira mendapat kesempatan bertarung dengan seorang perwira tinggi. Dia memang keterlaluan, seharusnya dia tidak melepas selendang di bahu anda," ujar Gajah Pagon sambil memberikan selendang Arya Rahu pada pemiliknya.Setelah itu dia berpura-pura memarahi Wirota"Wirota, minta maaflah pada Mpu Rahu karena kau telah bersikap tidak sopan kepadanya!""M
Gajah Pagon maju ke depan dan berkata"Gusti Prabu, saat ini begitu banyak masalah yang kita hadapi, kami sudah lama mencurigai Arya Rahu. Dia sebenarnya adalah telik sandi dari Gelang-gelang. Kami telah memata-matai pergerakan Arya Rahu dan kami menemukan bukti bahwa memang benar dia bekerjasama dengan Jayakatwang."Sontak semua orang di paseban geger, mereka hampir tak percaya, Arya Rahu yang juga sudah banyak berjasa bagi Singasari tega menjadi mata-mata pemberontak. Orang masih bertanya-tanya motivasi Arya Rahu menjadi mata-mata Jayakatwang. "Baiklah Pagon, kumpulkan bukti keterlibatan Arya Rahu dengan Jayakatwang sambil melakukan patroli malam di kampung-kampung dan kota di wilayah Singasari bekerja sama dengan penduduk setempat!" Perintah Kertanegara.Kali ini Kertanegara mulai percaya bahwa Jayakatwang telah merencanakan sebuah pemberontakan. Hatinya geram manakala menyadari dirinya sudah ditipu mentah-mentah oleh sepupu, ipar sekaligus besannya."Terkutuklah kau Jayakatwang,
"Ya, aku ingat ada yang berkata seperti itu. Kurasa lebih baik kita mencari sarang gerombolan itu dan menghabisi mereka," kata Wiragati."Coba kita cari petunjuk tentang mereka," kata Wirota sembari menggeledah mayat para perampok.Mereka bertiga mulai menggeledah, namun tidak ada petunjuk apapun yang ditemukan kecuali kantong-kantong uang milik para perampok."Ki Sanak, apakah mereka sudah mati?" Tanya Kepala Desa itu dengan takut-takut."Ya, mereka sudah mati, tolong besok kuburkan mereka di pasetran, Besok pagi kami harus segera kembali ke ibu kota untuk melaporkan semua ini. Ini uang untuk pemakamann mereka," kata Wiragati sambil memberikan sejumlah uang.Wirota menghampiri keluarga korban perampokan lalu memberikan kantong uang yang dikumpulkannya dari para perampok tadi. "Ki Sanak, ambilah uang ini dan pakailah untuk biaya berobat," kata Wirota.Bapak tua dan seorang pemuda tadi mukanya sudah bengep, badannya babak belur di hajar perampok. Bapak tua itu menerima uang dari Wiro
Seorang pemuda maju mengajukan diri, dan berkata"Kepala Desa, saya bersedia pergi ke Singasari menghadap Gusti Prabu Kertanegara dan melaporkan serangan pasukan Gelang-gelang.""Perjalanan ini cukup beresiko. Jika terjadi sesuatu pada dia, masih ada orang yang bisa menyampaikan berita ini kepada Gusti Prabu!" Kata Kepala Desa. Tak lama kemudian 2 orang pemuda desa maju mengajukan diri mereka"Kepala desa, kami bersedia melakukan perjalanan ke Singasari menghadap Gusti Prabu Kertanegara untuk melaporkan keadaan ini. Tapi kami memerlukan kuda agar dapat melakukan perjalanan lebih cepat."Kepala desa merasa lega karena akhirnya ada yang bersedia pergi meminta bantuan ke Singasari."Masalah kuda gampang, ada beberapa.penduduk yang bersedia meminjamkan kudanya. Segeralah menghadap dan berhati-hatilah, banyak musuh yang sedang mengincar kita ketika keluar dari sini!" Kata Kepala desa. Para pemuda itu segera mengambil kudanya dan menghela kudanya pergi ke Singasari. Sementara itu Bango
"Bersiaplah, kita akan menyerang ke Singasari dan membuat kekacauan di sana. Setelah mereka berhadapan dengan kita, segeralah lari, tunggu aba-abaku untuk kembali ke Daha."****Setelah Wijaya dan Ardharaja pergi menghadang musuh yang masuk ke kota, Patih Kebo Anengah berkata"Gusti Prabu, sebaiknya Gusti Ardharaja tidak perlu ikut dalam penyerbuan ke Memeling. Aku yakin pasti dia tetap membela ayahnya. Coba jika mereka yang menang, apakah Jayakatwang masih bersedia mengampuni anda? Lagipula aku sempat melihat keraguan Ardharaja ketika anda memerintahkanhya memerangi ayahnya," ujar Kebo Anengah pada Kertanegara.Mendengar perkataan Kebo Anengah, Kertanegara mulai merasa kuatir. Bagaimana jika mereka sampai kalah dari Jayakatwang? Maukah Jayakatwang mengampuninya jika mereka sampai kalah? "Ya, entah mengapa perasaanku tidak enak, perang kali ini berbeda dari biasanya. Seharusnya aku mewaspadai juga situasi di dalam negeri dan tidak mengirim terlalu banyak prajurit ke Swarnadwipa."A
Di sebuah lembah, rombongan pasukan Wijaya dan Ardharaja tidak bertemu musuh. Mereka beristirahat sebentar sambil makan bekal. Saat itu Wirota, Banyak Kapuk dan Lembu Sora merasakan keanehan dalam peperangan itu."Paman Kapuk, menurutku serangan ini aneh, tidak mungkin jika mereka ingin melakukan pemberontakan mengirimkan pasukan yang menurutku bukanlah pasukan unggulan Gelang-Gelang. Lihat saja cara mereka bertarung, setelah menggebuk, mereka akan larii ke utara, seolah berusaha menjauhkan kita dari Singasari. Jika kita berhenti menyerang, mereka tiba-tiba muncul di depan kita dan memancing kita untuk menjauh ke utara," ungkap Wirota.Banyak Kapuk tertegun, apa yang dikatakan Wirota sesuai dengan yang dipikirkannya"Kau benar, aku juga merasa aneh dengan serangan itu, sekarang kita sudah jauh dari kota Singasari dan tak ada satupun musuh di sini," ujar Banyak Kapuk."Bagaimana jika kira sampaikan pada Gusti Wijaya agar kembali saja ke Singasari, saya kuatir kalau ternyata pasukan Gel
Kertanegara tertegun, kali ini di saat-saat terakhir baru dia menyadari nasehat anak buahnya yang selama ini selalu mengingatkannya tentang rencana pemberontakan Jayakatwang adalah benar adanya.Dengan suara lirih dia turun dari bale-balenya dan berkata"Baiklah Raganata, kita akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Tapi suruh seorang abdi menyusul Kebo Anengah yang sedang pergi ke Desa Mameling untuk kembali kemari."Wirakerti segera menyuruh seorang abdi untuk menyusul Kebo Anengah yang sedang dalam perjalanan menuju desa Memeling. Raganata, Wirakerti dan Angragani akhirnya merasa lega melihat Kertanegara bersedia mengikuti nasehat mereka. Berempat mereka menghunus pedang siap menghadapi musuh."Monggo Gusti Prabu, kita berangkat ke medan perang," kata Patih Angragani.Baru kali inilah nasehat Raganatha didengar dan diikuti oleh Kertanagara. Setelah itu bersama-sama Kertanegara, mereka pergi ke bale Manguntur menyongsong kedatangan musuh. Kini sudah tidak ada lagi rasa takut
Ke empat putri Kertanegara yaitu Tribuaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi dan Gayatri menangisi kematian ibundanya. Para abdi segera merawat jenazah Dewi Bajaraka untuk dimakamkan sementara di halaman Keputren. Ke empat anaknya merasa sedih melihat kematian ibundanya yang tragis, mereka tidak mungkin dapat menyelenggarakan upacara perabuan yang layak untuk menyempurnakan kepergian Dewi Najaraka ke alam kelanggengan. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa Kertanegara sudah dibunuh oleh Kebo Mudarang. Kini hanya tersisa dendam membara di dada mereka terhadap Jayakatwang dan antek-anteknya.Selagi mereka berduka cita menangisi kematian ayah ibunya, tiba-tiba Kebo Mudarang menerjang masuk halaman luar Keputren. Suasana keputren menjadi semakin mencekam. Para penario Apsara, selir dan para puteri keraton yang lain berteriak ketakutan, bersembunyi takut dijadikan pelampiasan nafsu prajurit Jayakatwang.Kebo Mudarang dan pasukannya menggedor pintu gerbang Keputren, Gayatri si bungsu yang te