Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya.
“Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini.Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin.Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta.‘Aku yang akan cari bukti.’ Itulah kata terakhir Kevin sebelum pergi usai tahu handponeku hancur padahal telah memiliki rekaman kejahatan keluarga Marvin. Akankah dia pulang membawa bukti untukku?“Tadi dia nelpon bibi.” Aku menghela nafas panjang, andai handponeku masih ada.“Bi, Kevin itu sudah menikah?” tanyaku ragu karena penasaran sekali.Bi Sumi tertawa renyah lantas membuat mataku menyipit. “Dia itu masih muda, Mbak. Seumuran Mbak Sila. Cita-citanya jadi pengacara.” Tiba-tiba Bi Sumi menunduk seperti mengingat sesuatu seperti ada gurat kesedihan terpancar disana.Tapi-tiba-tiba suara berat menguinterupsi mengalihkan perhatian.“Lagi pada ngumpul disini.” Kevin masuk dengan penampilan santai kaos lengan pendek putih dipadukan dengan celana hitm selutut. Keren.Jelas bisa dibedakan, orang yang sudah menikah dan yang belum. Wajahnya yang putih bersih dan bentuk tubuhnya yang tegap dan tinggi sangat cocok dengan profesinya sebagai pengacara. Siapapun akan terpesona melihatnya.“Saya lihat keadaanmu lebih baik. dan saya rasa, kita bisa membicarakan kasus Marvin.”Mendadak tenggorokanku tercekat. Dia sudah tahu siapa Marvin? Baru saja aku tenang disini, malah harus dihadapkan masalah berat itu. Tapi memang begitu ‘kan, masalah ada bukan untuk dihindari tapi dihadapi?“Bisa kita mulai?” Aku mengangguk pelan. Dia baik dan ramah walau wajahnya terlihat dingin.“Disini saya akan bedakan kasus mertuamu dan suamimu. Mertuamu terlibat skandal penipuan dan perselingkuhan yang mana ayahmu tahu. Karena tidak mau terbongkar karena bisa membahayakan reputasinya sebagai pengusaha, mertuamu menyewa orang untuk melenyapkan ayahmu.” Dadaku sesak tak kuasa mendengar kesaksian Kevin.Rasanya seperti mimpi ayah mertuaku yang selama ini aku anggap baik ternyata biadab. Jadi selama ini sikapnya hanyalah topeng belaka untuk menutupi kesalahnnya? Dan ya, aku bodoh telah mempercayainya.Semua memang harus dijelaskan dengan jelas meskipun mentalku terguncang akan kenyataan barusan.“Marvin dipaksa ayahnya untuk menutupi kesalahannya dengan memaksa menikahimu.” Kevin menjeda sejenak ucapannya seraya menatap lekat mataku, sayang aku tak kuasa hingga menjatuhkan air mata. “Dan Marvin terpaksa menikahimu karena tidak mau ayahnya dipenjara. Hingga kalian menikah dan kamu sering mendapatkan kekerasan dari dia.”CessssBagaikan ribuan jarum menancap di hatiku hingga tak berbentuk lagi. Rasa kecewa bercampur amarah pada ayah mertua belum reda kini kembali diingatkan kembali atas keterpaksaan Marvin menikahiku. Hancur hatiku.Aku menangis tersedu sedan. “Tuhan, sakit sekali,” rintihku sambil memukul dadaku berharap rasa sesak di sana terurai. Entah pada siapa lagi aku mengadu?Bi Sumi mendekapku erat. Hingga aku tumpahkan tangisanku di sana. Dan Kevin menatapku dalam diam.“Ini bukti-buktinya. Maka dari itu kita segera ke polisi.” Kevin memutar video di handponenya dan aku melihatnya. “Mereka sudah diamankan kepolisian.”Apakah itu benar? Secepat itukah mereka sudah ditangkap. Lalu kutatap Kevin yang tak nampak bercanda alias serius dengan apa yang barusan dikatakan, diperkuat dengan bukti yang dibawa.Di tempat yang berbeda, suasana tegang menyelimuti sebuah keluarga yang telah panik beberapa hari terakhir ini. Raut frustasi terpancar di wajah mereka memikirkan satu orang yang hilang tanpa kabar dikhawatirkan akan membongkar rahasia besarnya.“Pa, ayo kita semua pergi saja. Nanti keburu polisi datang. Sila sudah melayangkan surat cerai kepada Marvin.” Justru yang diajak hanya diam dan pasrah. Mau lari? Sudah terlambat semua sudah terbongkar tinggal menunggu waktu tiba untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ya, tiga hari lalu, seorang petugas pos datang membawakan amplop berwarna cokelat ditujukan kepada Marvin. Yang tenyata isinya adalah gugatan cerai yang mana Marvin tak masalah bila harus bercerai dengan Sila. Sejak itu, mereka tak bisa tenang karena Sila memilih mengakhiri pernikahannya dan tidak menutup kemungkinan setelahnya akan menjebloskan mereka ke penjara.“Dari awal Marvin sudah minta papa dan mama pergi ke luar negeri,” sahut Marvin menatap lurus kedua orangtuanya yang duduk bersebelahan.Sesaat usai menikah, Marvin telah meminta ayahnya pergi ke luar negeri supaya tidak berurusan lagi dengan keluarga Sila dan tenang tanpa dihantui rasa bersalah. Tapi, justru ayahnya menolak dengan alasan ingin membantu mengurusi bisnis karena Marvin belum sepenuhnya mengerti dunia bisnis. Katakanlah ayah Marvin gila harta.“Tidak semudah itu, Marvin. Biar papa yang bertanggungjawab dan menjelaskan kamu tidak bersalah.” Ditengah kepasrahannya, matanya tak bisa berbohong ada sebuah kepedulian teramat besar tertuju pada putera semata wayangnya. Tok tokPerhatian mereka teralihkan pada pintu yang dibiarkan terbuka. Dua orang berpakaian seragam polisi berdiri di ambang pintu dengan aura tegasnya memperhatikan setiap orang yang duduk di kursi ruang tamu itu. Seketika mata mereka mendelik dengan jantung berdegub cepat.“Kami dari kepolisian ingin bertemu dengan Saudara Gunawan dan Marvin,” ujar salah satunya tanpa mengurangi rasa hormat menatap serius ayah dan anak itu.Marvin menarik nafas dalam berusaha mengendalikan keterkejutannya, kemudian menoleh sekilas menatap sang ayah. “Ya, saya Marvin. Ada yang bisa dibantu, Pak?” Marvin berdiri dan menghampiri keduanya siap melindungi ayahnya dari interogasi polisi.“Begini, Pak. Kita ingin menindaklanjuti pengaduan saudari Sila atas keterlibatan Pak Gunawan dalam kecelakaan orangtuanya. Bisa kita bawa Pak Gunawan ke kantor polisi sekarang untuk menjalani pemeriksaan,”“Bisa, Pak. Saya siap melakukan pemeriksaan sekarang.”“Tentunya dengan Pak Marvin dan istri anda,” sahut polisi tersebut yang tidak bisa dibantah satu keluarga tersebut.Akhirnya mereka bertiga dibawa ke kantor polisi tanpa perlawanan. Marvin tak henti-hentinya menatap sang ayah yang didorong di atas kursi roda sambil merapalkan doa semoga ayahnya baik-baik saja.‘Dia tidak punya bukti kuat memenjarakan ayah,’“Besok, aku akan menikahi kekasihku.” Jderrrr“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayan
Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu. Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan. Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku. Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipe
Keringat dingin membasahi dahiku, tubuhku gemetar usai berperang batin. Rasa trauma yang mendiami diri puluhan tahun kini aku lawan demi bertemu dengan suamiku yang telah tidak pulang tiga hari tanpa memberikan kabar. Ini ketiga kalinya aku keluar rumah, pergi ke rumah mertua setelah sebelumnya aku menghantarkan orangtuaku ke peristirahatan terakhir dan berkunjung ke rumah mertuaku saat menikah. Aku menghela nafas, lega. “Akhirnya sampai dengan selamat.” Netraku menatap rumah dua lantai berdesign klasik dominan warna putih tak lain adalah rumah mertuaku.“Mbak Sila, baik-baik saja?” Bi Sumi menatapku khawatir dan perhatian. Bukannya pergi dengan suami malah ditemani asisten rumah, tak apa setidaknya aku tidak pergi sendiri.Kepalaku menggeleng. “Ayo, Bi.” Tak sabaran, aku melangkah mendekati gerbang hitam tertutup rapat kemudian tanganku menekan tombol bel di samping pagar hitam besi itu. Bi Sumi mengikuti dari belakang.Seorang laki-laki parubaya berpakaian hitam bertubuh gagah tak
Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.BrakkkSuara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menar
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasa
“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana