Share

8. Bukti

Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya.

“Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”

“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini.

Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin.

Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta.

‘Aku yang akan cari bukti.’ Itulah kata terakhir Kevin sebelum pergi usai tahu handponeku hancur padahal telah memiliki rekaman kejahatan keluarga Marvin. Akankah dia pulang membawa bukti untukku?

“Tadi dia nelpon bibi.” Aku menghela nafas panjang, andai handponeku masih ada.

“Bi, Kevin itu sudah menikah?” tanyaku ragu karena penasaran sekali.

Bi Sumi tertawa renyah lantas membuat mataku menyipit. “Dia itu masih muda, Mbak. Seumuran Mbak Sila. Cita-citanya jadi pengacara.” Tiba-tiba Bi Sumi menunduk seperti mengingat sesuatu seperti ada gurat kesedihan terpancar disana.

Tapi-tiba-tiba suara berat menguinterupsi mengalihkan perhatian.

“Lagi pada ngumpul disini.” Kevin masuk dengan penampilan santai kaos lengan pendek putih dipadukan dengan celana hitm selutut. Keren.

Jelas bisa dibedakan, orang yang sudah menikah dan yang belum. Wajahnya yang putih bersih dan bentuk tubuhnya yang tegap dan tinggi sangat cocok dengan profesinya sebagai pengacara. Siapapun akan terpesona melihatnya.

“Saya lihat keadaanmu lebih baik. dan saya rasa, kita bisa membicarakan kasus Marvin.”

Mendadak tenggorokanku tercekat. Dia sudah tahu siapa Marvin? Baru saja aku tenang disini, malah harus dihadapkan masalah berat itu. Tapi memang begitu ‘kan, masalah ada bukan untuk dihindari tapi dihadapi?

“Bisa kita mulai?” Aku mengangguk pelan. Dia baik dan ramah walau wajahnya terlihat dingin.

“Disini saya akan bedakan kasus mertuamu dan suamimu. Mertuamu terlibat skandal penipuan dan perselingkuhan yang mana ayahmu tahu. Karena tidak mau terbongkar karena bisa membahayakan reputasinya sebagai pengusaha, mertuamu menyewa orang untuk melenyapkan ayahmu.” Dadaku sesak tak kuasa mendengar kesaksian Kevin.

Rasanya seperti mimpi ayah mertuaku yang selama ini aku anggap baik ternyata biadab. Jadi selama ini sikapnya hanyalah topeng belaka untuk menutupi kesalahnnya? Dan ya, aku bodoh telah mempercayainya.

Semua memang harus dijelaskan dengan jelas meskipun mentalku terguncang akan kenyataan barusan.

“Marvin dipaksa ayahnya untuk menutupi kesalahannya dengan memaksa menikahimu.” Kevin menjeda sejenak ucapannya seraya menatap lekat mataku, sayang aku tak kuasa hingga menjatuhkan air mata. “Dan Marvin terpaksa menikahimu karena tidak mau ayahnya dipenjara. Hingga kalian menikah dan kamu sering mendapatkan kekerasan dari dia.”

Cessss

Bagaikan ribuan jarum menancap di hatiku hingga tak berbentuk lagi. Rasa kecewa bercampur amarah pada ayah mertua belum reda kini kembali diingatkan kembali atas keterpaksaan Marvin menikahiku. Hancur hatiku.

Aku menangis tersedu sedan. “Tuhan, sakit sekali,” rintihku sambil memukul dadaku berharap rasa sesak di sana terurai. Entah pada siapa lagi aku mengadu?

Bi Sumi mendekapku erat. Hingga aku tumpahkan tangisanku di sana. Dan Kevin menatapku dalam diam.

“Ini bukti-buktinya. Maka dari itu kita segera ke polisi.” Kevin memutar video di handponenya dan aku melihatnya. “Mereka sudah diamankan kepolisian.”

Apakah itu benar? Secepat itukah mereka sudah ditangkap. Lalu kutatap Kevin yang tak nampak bercanda alias serius dengan apa yang barusan dikatakan, diperkuat dengan bukti yang dibawa.

Di tempat yang berbeda, suasana tegang menyelimuti sebuah keluarga yang telah panik beberapa hari terakhir ini. Raut frustasi terpancar di wajah mereka memikirkan satu orang yang hilang tanpa kabar dikhawatirkan akan membongkar rahasia besarnya.

“Pa, ayo kita semua pergi saja. Nanti keburu polisi datang. Sila sudah melayangkan surat cerai kepada Marvin.” Justru yang diajak hanya diam dan pasrah. Mau lari? Sudah terlambat semua sudah terbongkar tinggal menunggu waktu tiba untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Ya, tiga hari lalu, seorang petugas pos datang membawakan amplop berwarna cokelat ditujukan kepada Marvin. Yang tenyata isinya adalah gugatan cerai yang mana Marvin tak masalah bila harus bercerai dengan Sila. Sejak itu, mereka tak bisa tenang karena Sila memilih mengakhiri pernikahannya dan tidak menutup kemungkinan setelahnya akan menjebloskan mereka ke penjara.

“Dari awal Marvin sudah minta papa dan mama pergi ke luar negeri,” sahut Marvin menatap lurus kedua orangtuanya yang duduk bersebelahan.

Sesaat usai menikah, Marvin telah meminta ayahnya pergi ke luar negeri supaya tidak berurusan lagi dengan keluarga Sila dan tenang tanpa dihantui rasa bersalah. Tapi, justru ayahnya menolak dengan alasan ingin membantu mengurusi bisnis karena Marvin belum sepenuhnya mengerti dunia bisnis. Katakanlah ayah Marvin gila harta.

“Tidak semudah itu, Marvin. Biar papa yang bertanggungjawab dan menjelaskan kamu tidak bersalah.” Ditengah kepasrahannya, matanya tak bisa berbohong ada sebuah kepedulian teramat besar tertuju pada putera semata wayangnya.

Tok tok

Perhatian mereka teralihkan pada pintu yang dibiarkan terbuka. Dua orang berpakaian seragam polisi berdiri di ambang pintu dengan aura tegasnya memperhatikan setiap orang yang duduk di kursi ruang tamu itu. Seketika mata mereka mendelik dengan jantung berdegub cepat.

“Kami dari kepolisian ingin bertemu dengan Saudara Gunawan dan Marvin,” ujar salah satunya tanpa mengurangi rasa hormat menatap serius ayah dan anak itu.

Marvin menarik nafas dalam berusaha mengendalikan keterkejutannya, kemudian menoleh sekilas menatap sang ayah. “Ya, saya Marvin. Ada yang bisa dibantu, Pak?” Marvin berdiri dan menghampiri keduanya siap melindungi ayahnya dari interogasi polisi.

“Begini, Pak. Kita ingin menindaklanjuti pengaduan saudari Sila atas keterlibatan Pak Gunawan dalam kecelakaan orangtuanya. Bisa kita bawa Pak Gunawan ke kantor polisi sekarang untuk menjalani pemeriksaan,”

“Bisa, Pak. Saya siap melakukan pemeriksaan sekarang.”

“Tentunya dengan Pak Marvin dan istri anda,” sahut polisi tersebut yang tidak bisa dibantah satu keluarga tersebut.

Akhirnya mereka bertiga dibawa ke kantor polisi tanpa perlawanan. Marvin tak henti-hentinya menatap sang ayah yang didorong di atas kursi roda sambil merapalkan doa semoga ayahnya baik-baik saja.

‘Dia tidak punya bukti kuat memenjarakan ayah,’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status