“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh.
Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya.“Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir.Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu.Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir.“Sila, mau kemana kamu!” seru Marvin cepat melarangku pergi.“Jangan dengarkan, Budhe. Bawa dia pergi dari sini. Biar dia, urusan saya.”Apa! Dia memanggil Bi Sumi dengan sebutan ‘Budhe’ ? Ingin aku meminta penjelasan Bi Sumi tapi waktu tidak memungkinkan. Aku memilih mengangkat kaki secepat mungkin dan membiarkan teriakan demi teriakan menggema mengiringi langkahku. “Kau suami macam apa, memperlakukan istrimu sendiri seperti itu? Apakah setiap masalah diselesaikan dengan kekerasan, begitu.”“Kau siapa? Apa urusanmu? Jangan ikut campur!” tanya Marvin dengan raut wajah penuh amarah dan memilih abai hendak mengejarku.CtakkSebuah kartu ditunjukkan tepat di depan Marvin, yang mana orang-orang di sebelahnya dapat melihat dengan mata tercengang termasuk Marvin. Dia adalah seorang pengacara dibuktikan dengan sebuah foto laki-laki tampan beserta gelar di ID Card itu mirip dengan orang asing itu. Apa masih ada yang berani?“Di negara ini ada hukum yang mengatur. Apa yang kamu lakukan adalah perbuatan melanggar hukum dan kau bisa di penjara.” Lalu dengan sikap berani siap menantang. “ Disni aku mengerti hukum di negara ini siap menjebloskanmu ke polisi atas KDRT.”Benar, semua tak menyangkal. Sekarang, apapun bisa diproses hukum tapi harus disertai bukti. Sudah jelas, Marvin telah memukulku dan semua orang di sana menyaksikannya belum lagi luka lebam yang sudah pasti ada di tubuhku.Marvin pucat pasi begitupun yang lain.“Kevin, tolong budhe. Mbak Sila pingsan!” teriak Bi Sumi yang langsung membuat laki-laki itu menoleh.Dialah Kevin Sanjaya, seorang pengacara muda di Jakarta tak lain adalah keponakan Bi Sumi. Dari awal tatapan laki-laki itu tampak berbeda, entah itu sebuah kepedulian atau rasa sayang namun yang pasti laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu bergegas lari dan menggendong tubuh ringkih yang sudah tak sadarkan diri dengan kondisi memprihatinkan. Siapa lagi yang bisa menolong kalau tidak dirinya.“Shh,” ringisku bangun menahan rasa nyeri dan sakit di beberapa bagian tubuhku.Mataku perlahan terbuka menyesuaikan cahaya masuk yang kudapati sebuah ruangan dominan putih. Dimana ini, batinku merasa asing seraya mengedarkan mata kesegala penjuru ruangan nampak bersih dan rapi.CeklekTubuhku terkesiap menoleh ke arah pintu terbuka.“Mbak Sila sudah bangun, syukurlah,” Helaan nafas lega terpancar di wajah Bi Sumi. Aku pun ikut lega, setidaknya aku tidak sendirian di ruangan asing ini karena ada Bi Sumi yang menemaniku. Namun itu hanya sebentar ketika ketika mataku membeliak pada laki-laki yang berjalan tepat di belakang Bi Sumi.Dia!“Berbaring saja. Gimana keadaanmu?” tanyanya setelah sebelumnya mengulas senyum tipis. Percayalah senyum itu seperti tidak tulus, maklum laki-laki akan bersifat cool ketika baru bertemu perempuan yang belum dikenal sebelumnya.Bukannya aku menjawab justru kepalaku menunduk memperhatikan kulitku yang dihiasi merah keunguan. Aku tidak lupa atas apa yang telah terjadi, hatiku ngilu melihat tubuhku yang terasa sakit dan nyeri.“Kata dokter lukamu akan sembuh beberapa waktu ke depan.” Mataku menyipit mendengarnya, seingatku tidak ada dokter yang memeriksaku disini. “Kau sekarang berada di rumahku. Saat kau masih tak sadarkan diri, dokter pribadiku telah memeriksamu.”Ternyata masih ada orang baik mau peduli dan menolongku. Dan aku berterimakasih pada laki-laki itu entah namanya siapa.“Perkenalkan aku keponakan Bi Sumi, namaku Kevin yang siap menjadi pengacaramu untuk melawan suamimu.” Mataku membeliak, tidak percaya. Lalu aku menoleh ke samping kiri dimana Bi Sumi duduk sambil merangkulku dengan sayang. Apa kata dia, pengacara? Keponakan Bi Sumi?Ternyata Bi Sumi memiliki keponakan seorang pengacara. Itu berarti aku bisa membalas perbuatan Marvin dan keluarganya. Ini kedua kalinya, Kevin membantuku.“Aku sudah tahu semua dari Bi Sumi. Selama ini kamu disiksa Marvin bahkan … keluarga suamimu itu terlibat atas meninggalnya kedua orangtuamu.” Antara tega dan tidak tega mengucapkannya, Kevin berbicara sesuai fakta yang didengar dari pengakuan Bi Sumi sebelumnya.Aku mengangguk berkali-kali dengan antusias. “Terimakasih.” Hanya satu kata itu namun sangat bermakna bagiku untuk mengekspresikan atas pertolongannya yang sangat berarti bagiku.Kali ini, senyum tulus terpatri di bibir Kevin nampak berbeda dari sebelumnya “Kita perlu taktik matang melumpuhkan mereka. Dan kau harus ikut rencana yang telah kupersiapkan.”Lagi dan lagi aku hanya mengangguk, siap. Entah apa yang akan dilakukan Kevin nantinya, yang pasti itu adalah tindakan terukur dan terarah sesuai profesinya yang tak perlu diragukam lagi. Saatnya kalian mempertanggungjawabkannya, benakku tidak sabar penuh dendam pada Marvin dan keluarganya.Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak
“Besok, aku akan menikahi kekasihku.” Jderrrr“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayan
Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu. Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan. Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku. Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipe
Keringat dingin membasahi dahiku, tubuhku gemetar usai berperang batin. Rasa trauma yang mendiami diri puluhan tahun kini aku lawan demi bertemu dengan suamiku yang telah tidak pulang tiga hari tanpa memberikan kabar. Ini ketiga kalinya aku keluar rumah, pergi ke rumah mertua setelah sebelumnya aku menghantarkan orangtuaku ke peristirahatan terakhir dan berkunjung ke rumah mertuaku saat menikah. Aku menghela nafas, lega. “Akhirnya sampai dengan selamat.” Netraku menatap rumah dua lantai berdesign klasik dominan warna putih tak lain adalah rumah mertuaku.“Mbak Sila, baik-baik saja?” Bi Sumi menatapku khawatir dan perhatian. Bukannya pergi dengan suami malah ditemani asisten rumah, tak apa setidaknya aku tidak pergi sendiri.Kepalaku menggeleng. “Ayo, Bi.” Tak sabaran, aku melangkah mendekati gerbang hitam tertutup rapat kemudian tanganku menekan tombol bel di samping pagar hitam besi itu. Bi Sumi mengikuti dari belakang.Seorang laki-laki parubaya berpakaian hitam bertubuh gagah tak
Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.BrakkkSuara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menar
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasa