“Ah, Mas… ouh… pelan-pelan…” Gendis menangis di ranjang yang bukan milik suaminya. Dan Rain tahu, dia sudah melanggar segalanya. Etika. Batas. Bahkan sumpah profesinya. Tapi Rain bukan hanya seorang Psikolog Reproduksi. Dia pria yang sudah terlalu lama menahan diri. Dan Gendis… adalah pasien sekaligus fantasi yang tak pernah bisa ia sentuh—hingga malam itu. Satu sesi konseling berubah jadi sesi pengakuan, desahan, dan cinta yang tak bisa dihentikan. Kini, Gendis tak hanya ingin disembuhkan oleh Rain. Dia ingin dimiliki. Sepenuhnya.
Lihat lebih banyak“Negatif…”
Gendis menatap dua garis yang tak kunjung muncul di alat tes kehamilannya. Napasnya tertahan, lalu menghembuskannya dengan pasrah.
Wajah kecewa. Siapapun pasti mendambakan buah hati, namun tak semua pasangan mendapatkan anugerah itu dalam pernikahan mereka.
“Sabar ya…” ucap Raka, duduk di tepi ranjang dan meremas pelan tangan istrinya.
“Apa kita program bayi, atau bayi tabung aja, Mas?” tanya Gendis, lirih. Ia memandang Raka dengan harap, suaranya terdengar penuh kegelisahan.
“Mahal, Dek. Bukan nggak mau, tapi apa salahnya kita nunggu aja? Siapa tahu nanti juga hamil,” jawab Raka, sambil bersandar dan menatap langit-langit kamar seolah mencari keyakinan di sana.
“Udah tiga tahun, Mas. Belum juga. Lihat tetangga tuh, bolak-balik melahirkan aja,” ujar Gendis, nada suaranya mulai meninggi. Matanya berkaca-kaca, menatap perutnya yang masih kosong.
“Beda lah. Mungkin emang rejeki mereka dapet momongan cepet, Dek,” kata Raka sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak mulai lelah dengan obrolan ini.
“Apa mungkin karena kamu kerja terlalu keras, Mas? Kan kalau kita mau dapetin sperma yang baik, butuh istirahat juga, Mas. Tapi kamu banyak lembur, belum lagi berangkat ke luar kota. Gimana mau bagus, kan?” Gendis menatapnya tajam, nada suaranya terdengar getir.
“Loh, kok kamu jadi gini?” balas Raka, kini mulai menegang. Alisnya naik, bahunya menegang. “Maksud kamu nyalahin aku?”
“Bukan nyalahin, Mas. Tapi kan kata dokter tempo hari itu, kita harus banyak waktu buat sama-sama. Nggak boleh capek atau stres, sampai dia saranin kita buat liburan bareng. Tapi tiap kali kita mau liburan, Mas ada aja dinas luarnya,” jelas Gendis sambil memeluk lututnya, suaranya bergetar.
“Ini juga buat kamu, kan, uangnya…” potong Raka. Ia berdiri dari duduknya, berjalan mondar-mandir di kamar.
“Ya tapi kan aku mau anak dari Mas. Padahal kita berdua nggak ada yang mandul, Mas. Iya, kan?” Gendis berdiri, menghampiri Raka dan memandangnya dengan mata yang basah.
“Dek, di luar sana ada yang sampai lima belas tahun nggak dikasih keturunan. Mereka happy aja,” jawab Raka sambil mengangkat bahu, berusaha terdengar tenang meski wajahnya tak lagi sabar.
“Apa salahnya sih, Mas, kita liburan? Masa sekali doang? Itupun pas bulan madu…” ucap Gendis, kembali duduk di sudut ranjang. Tangannya masih memegang alat tes kehamilan itu erat, seperti berharap ada keajaiban kalau ia menatapnya lebih lama.
“Aku capek, Dek. Kerjaan aku banyak. Masih bagus aku tiap hari libur ada di rumah, kan?” Raka berseru, kini mulai kehilangan kendali.
“Ya tapi kan sisanya Mas dinas luar. Terus aku mau ikut, tapi kata Mas jangan. Nggak enak sama temen Mas lainnya. Padahal kan kita bisa ngekost tempat lain, Mas,” kata Gendis, pelan. Tapi nadanya sarat luka.
“Bukan nggak mau, tapi emang kondisinya gitu, Dek…” balas Raka, nadanya merendah, mencoba bertahan di sisa kesabarannya.
Gendis menatapnya penuh ragu. Tangannya gemetar saat ia meletakkan test pack ke meja. Ia mengangkat wajahnya, menatap Raka penuh harap dan ketakutan.
“Mas, kamu nggak selingkuh, kan?” tanya Gendis lirih, sedikit rafu.
Dan pertanyaan itu, jelas membuat Raka langsung menatap Gendis dengan tajam. Ia bahkan menaikkan nada suaranya kali ini.
“Maksudnya apa? Kamu pikir aku tuh seneng-seneng di luar? Iya?!” bentak Raka, menatap Gendis dengan sorot tajam.
“Mas, kok jadi marah?” tanya Gendis pelan, suaranya bergetar.
“Omongan kamu tuh aneh! Itu pasti akibat kamu sering nonton drama-drama yang isinya selingkuh semua! Toxic! Racun buat otak!” Raka mengibaskan tangan ke udara, penuh emosi.
“Aku nggak pernah nonton itu, Mas... Aku nggak suka. Kamu kan tau, aku tuh suka film horor,” jawab Gendis, mencoba menenangkan suasana.“Ya terus kenapa bisa mikir begitu? Gak ada otak kamu ya? Bisa-bisanya kamu mikir kotor sama suami sendiri!” Raka menunjuk ke arahnya, penuh kemarahan.
“Mas... iya, maaf. Aku salah. Aku cuma tanya aja. Maaf...” Gendis menunduk, tubuhnya gemetar karena terkejut dan takut.
“Pertanyaan kamu tuh nggak bagus!” tegas Raka, sebelum akhirnya berbalik arah.
Raka meninggalkan kamar tidur utama tanpa sepatah kata lagi. Ia memilih tidur di ruang TV, membanting pintu pelan namun cukup untuk menunjukkan amarahnya.
Gendis terdiam. Bibirnya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Hatinya sakit. Ini kali pertama Raka bersikap kasar terhadapnya. Ia merasa bersalah, tapi juga bingung—apa salahnya mempertanyakan sesuatu yang ia resahkan dalam diam selama bertahun-tahun?
Gendis menunduk, menangis di atas kasur. Tangannya masih memegang hasil test pack yang bertuliskan satu garis. Matanya memejam, air matanya mengalir makin deras. Dalam hatinya, ia ingin pelukan. Ingin penjelasan. Tapi yang datang malah kemarahan.
Rasa bersalah menumpuk bersama kesedihannya.
“Kenapa semua ini terasa berat banget...” bisiknya lirih, seperti bertanya pada dirinya sendiri—atau mungkin pada semesta yang mendiamkannya.
•••
“Mas, ini kopinya,” ucap Gendis sambil menyodorkan cangkir hangat ke arah suaminya, pagi itu.
“Aku udah buat sendiri,” sahut Raka tanpa menoleh, suaranya datar.
Ia berjalan melewati meja makan dan langsung menjinjing tas kerjanya, langkahnya cepat, seakan ingin segera pergi. Tak ada lirikan pun untuk Gendis pagi itu.
“Mas, masih marah?” tanya Gendis hati-hati, mengikuti dari belakang.
Raka tak menjawab. Ia hanya menjulurkan tangannya—sebuah kebiasaan pagi yang sudah jadi rutinitas. Gendis memegang tangan itu, mencium punggungnya seperti biasa, meski hati terasa ganjil.
“Mas, hati-hati di jalan ya,” bisik Gendis pelan, mencoba menebar hangat yang tak dibalas.
“Hmmm…” sahut Raka seadanya, lalu berjalan menuju mobil.
Ia masuk ke dalam kendaraan, menghidupkan mesin, dan melaju pergi tanpa menoleh. Suara mesin menjauh, menyisakan keheningan dan rasa kosong yang menggantung.
Gendis masih berdiri di depan pagar. Tatapannya mengikuti mobil Raka hingga menghilang dari pandangan. Napasnya berat.
“Masih marah kayaknya… Aku harus apa ya?” gumamnya lirih, memeluk tubuh sendiri.
Gendis menunduk, hampir kembali masuk ke dalam rumah, tapi pandangannya tertumbuk pada sesuatu di atas nakas. Sebuah kemasan strip pil KB. Baru.
Tangan Gendis meraih strip itu dengan gemetar. Alisnya berkerut.
Ia tak pernah beli itu.
“Ini….”
Ibu Gendis yang sejak tadi menahan diri akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi menusuk. “Bu, maaf ya. Kalau sekadar makan di restoran mahal atau belanja seperti ini, saya dan suami lebih dari mampu. Bahkan kalau perlu, kami bisa membayar semua belanjaan teman-teman ibu. Saya tidak pernah mendidik anak saya untuk hal seperti yang ibu bilang.” “Halah! Anda lupa? Kenapa sampai menantu saya sekarang di penjara?” sahut Ibu Rain dengan sinis, nadanya penuh tuduhan yang membuat udara di sekitar mereka semakin tegang. “Itu karena Anda sendiri yang juga sama ambisiusnya seperti menantu Anda. Saya cuma mengikuti saran dari Anda. Ingat, kenapa semua terjadi? Karena Anda yang meyakinkan saya dengan melakukan semua saran itu. Gendis, Rain, Mama sama Papa pulang dulu. Mood Mama jelek! Mama nggak biasa harus berdebat norak seperti ini,” ucap Ibu Gendis yang segera menarik suaminya untuk meninggalkan supermarket. “Rain, Gendis. Permisi, Bu,” ucap Ayah Gendis masih dengan senyum sopan, mes
“Jelas bisa, dijamin. Pokoknya, sampean tenang aja karena udah banyak yang berhasil,” ucap temannya dengan mantap. “Tapi ngomong-ngomong, bosen ah disini terus. Kita jalan, yuk…” “Iya, makan di restoran aja, atau belanja dulu deh,” sahut yang lain antusias. “Boleh juga, saya tuh lagi mumet banget di rumah,” ucap Ibu Rain sambil menghela napas panjang. Akhirnya, keempat ibu sosialita itu pun pergi menuju sebuah mal untuk berbelanja di supermarket. Sementara itu, Rain dan Gendis terlihat berjalan berdampingan dengan orang tua Gendis. Mereka tampak harmonis sambil mendorong troli belanja. “Jadi, gimana pekerjaan kantor kamu, Rain?” tanya Ayah Gendis sambil menggenggam erat pegangan troli. “Karena saya punya banyak tim, jadi semua bisa jalan, Pa. Kebetulan lagi… perusahaan yang di-handle Ardi, saya juga yang pegang. Karena kasus hukum yang menimpa dia, akhirnya Papa kasih saya kesempatan buat mengurus perusahaan Bumi Langit,” jawab Rain sambil menaruh beberapa barang ke dala
“Boleh, Sayang,” ucap Rain sambil menuangkan jus buah ke dalam gelas, matanya menatap lembut pada Gendis. “Ah! Makasih, suami aku!” seru Gendis sambil memeluknya, tubuhnya sedikit menempel di dada Rain. Dia kembali berbicara di telepon dengan nada ceria. “Mama, kita ketemuan di supermarket ya, nanti belanja bareng terus kita ke resto,” ucap Gendis dengan semangat pada ibunya. “Wah… Baik banget suami kamu. Terima kasih ya bilang ke Rain. Nanti Mama kesana. Kamu kasih tahu Mama supermarket mana, jam berapa? Biar Mama sama Papa bisa siap-siap,” balas ibunya dengan nada riang. “Jam 2 ya, Ma. Jam 2 dari rumah aja. Kebetulan kita nggak jauh dari supermarket. Mama nanti berangkat duluan biar pas ketemunya,” jawab Gendis sambil tersenyum lebar. “Oke deh…” ucap ibunya singkat, tapi terdengar senang. Panggilan berakhir, dan Gendis tampak bahagia. “Sayang, beneran kan? Nggak papa aku ajak Mama sama Papa belanja sekalian makan bareng?” tanyanya dengan mata berbinar, pipinya sedikit
“Suami aku ngetawain, ih...” lanjutnya dengan nada genit, matanya menyipit manja sebelum kembali merekam tasnya. “Hahaha!” Rain akhirnya tak bisa menahan diri. Tawanya pecah, memenuhi ruangan. “Sayang...” ucap Gendis, manja sekaligus sedikit jengkel. Pipi merahnya membuatnya makin menggemaskan. “Sorry...” bisik Rain dengan senyum nakal dari atas sofa, tatapannya penuh godaan pada istrinya. Rain bangkit dari sofa, langkahnya pelan tapi penuh niat. Ia mendekati Gendis yang masih asyik merekam tas barunya. “Sayang... sini, kasih liat ke saya videonya,” ucap Rain sambil meraih tangan istrinya. “Eh, jangan! Aku belum selesai,” ucap Gendis buru-buru menjauh sambil tertawa kecil. Rain mengangkat alisnya, senyum nakal tersungging. “Belum selesai? Atau memang sengaja bikin saya iri karena tas kamu dapat sorotan lebih dari saya?” tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik di telinga istrinya. “Ih... Mas! Nggak gitu...” ucap Gendis dengan pipi memanas, buru-buru menutup kamera
“Ma, aku udah bilang sama Mas Rain, tapi dia nggak mau,” ucap Gendis pelan sambil melirik suaminya yang baru saja datang mendekat. “Sayang...” suara Rain lembut, ia meletakkan segelas susu dan semangkuk sereal untuk istrinya di meja ruang TV. “Makasih, Sayang...” Gendis tersenyum manis, menatap wajah suaminya penuh cinta. “Um... Rain, Mama pulang dulu ya. Jam sepuluh nanti ada arisan di rumah teman Mama,” ujar ibu Rain seraya beranjak menata tas tangannya. “Mau Rain anterin, Ma?” tanya Rain dengan sopan. “Nggak usah, Mama pakai sopir,” jawab ibunya singkat, lalu berdiri meninggalkan sofa. Rain dan Gendis segera mencium punggung tangan ibunya, lalu mengantarnya hingga ke depan pintu lift. Tak lama kemudian, keduanya kembali duduk di ruang TV. Suasana mendadak terasa hening. “Sayang, Mama kayaknya marah sama aku...” bisik Gendis lirih sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya. “Kenapa?” Rain menoleh, menatap wajah istrinya dengan cemas. “Soal kamu nggak mau bantuin
“Mereka minta lima ratus juta untuk kasus ini. Jadi Ardi nggak akan dipenjara,” ucap ibunya, menatap Rain penuh harap. “Itu bukan jumlah sedikit, Ma. Apalagi untuk orang yang jelas-jelas melakukan perencanaan kejahatan,” ucap Rain, suaranya tegas tapi tetap menahan emosi. “Masa kamu nggak ada uang segitu, Rain?” tanya ibunya dengan nada tak percaya. “Mam, bukan nggak punya. Rain punya lebih dari itu. Tapi sekarang ini, Rain ada keluarga sendiri. Rain punya istri, bakal punya anak. Mereka tanggung jawab Rain, Ma,” ucap Rain lirih namun mantap. “Tapi kan nggak masalah nolongin dia dulu. Toh Gendis lagi hamil muda, kebutuhan kalian juga belum banyak,” ucap ibunya mencoba membujuk. “Mau banyak apa nggak pengeluaran kita berdua, tetap aja Rain nggak mau, Ma. Rain banyak urusan selain itu—harus urus klinik, perusahaan yang bergantung sama Rain,” ucap Rain pelan, berusaha menahan diri agar tak meninggikan suara. “Kalau gitu, Mama pinjem aja deh. Nanti Mama ganti...” ucap ibunya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen