LOGIN“Ah, Mas… ouh… pelan-pelan…” Gendis menangis di ranjang yang bukan milik suaminya. Dan Rain tahu, dia sudah melanggar segalanya. Etika. Batas. Bahkan sumpah profesinya. Tapi Rain bukan hanya seorang Psikolog Reproduksi. Dia pria yang sudah terlalu lama menahan diri. Dan Gendis… adalah pasien sekaligus fantasi yang tak pernah bisa ia sentuh—hingga malam itu. Satu sesi konseling berubah jadi sesi pengakuan, desahan, dan cinta yang tak bisa dihentikan. Kini, Gendis tak hanya ingin disembuhkan oleh Rain. Dia ingin dimiliki. Sepenuhnya.
View More“Sayang, aku ngidamnya kamu manjat tower,” ucap Shasha di tengah perjalanan bersama Angga sore itu, sepulang dari kantor. “Gila kali! Masa suami kamu yang ganteng maksimal ini disuruh manjat tower, Sayang? Tower?” balas Angga sambil tertawa terpingkal, hampir kehilangan fokus menyetir. Shasha ikut tertawa, suaranya renyah, membuat suasana di dalam mobil sore itu penuh hangat dan candaan. Angga dan Shasha telah melangsungkan pernikahan mereka tiga bulan lalu di hotel mewah. Kini, di awal bulan keempat, Shasha tengah hamil muda. Tawa mereka tak pernah absen setiap hari. Bahkan hal sepele bisa berubah jadi bahan bercanda. Kini mereka menempati rumah pemberian Rain dan Gendis—hadiah pernikahan yang terasa seperti mimpi bagi Shasha. Sesampainya di rumah, Shasha langsung berseru, “Aku mau mandi duluan!” katanya sambil berlari kecil menuju kamar mandi. “Eh! Sayang! Tunggu, woi!” teriak Angga sambil tertawa. Ia buru-buru melepas bajunya asal, melemparkannya ke kursi, lalu menyusul sang
Pukul 10 malam, Rain dan Gendis sudah kembali ke apartemen mereka dengan wajah lelah dan terlihat mengantuk. “Mandi dulu, Sayang. Kamu pasti capek banget seharian ini,” ucap Gendis, sambil membantu suaminya membuka pakaian. “Harusnya saya yang layani kamu, Sayang. Kamu masih sakit,” ucap Rain, yang segera menghentikan jemari istrinya saat membuka kancing kemejanya. Rain membawa Gendis ke atas sofa dan kemudian ia melanjutkan membuka pakaiannya sendiri. “Kalau cuma bantuin buka baju, aku masih bisa, Mas…” ucap Gendis, mencoba meredakan ketegangan. “Saya tahu…” ucap Rain, yang sudah telanjang lalu membuka pakaian istrinya dan segera menggendong Gendis menuju kamar mandi. Tiba di dalam kamar mandi, hening, hanya suara percikan air hangat dalam bathtub. Keduanya berpelukan erat, masih dalam keadaan duka mendalam setelah kehilangan Ayah Rain hari ini. “Mas… jangan ngelakuin apa pun dulu, ya. Ikuti kata Om Kevin, dia cuma mau kamu tenang. Dan, sesuai sama pikiran aku, kita buat
Pemakaman usai. Perlahan, para pelayat dan keluarga meninggalkan tempat itu dengan wajah sendu, masih terdengar bisikan kecil tentang kebaikan Brawijaya semasa hidupnya. Tersisa Rain dan Gendis yang berdiri di depan makam, diam menatap nisan dengan perasaan berat. “Mas, ayo...” ucap Gendis lirih, memeluk lengan Rain sambil mengusap sisa air mata yang belum kering di pipinya. “Iya,” jawab Rain pelan, mengusap bahu istrinya lembut. “Pa... Rain sama Gendis pulang dulu,” ucap Rain dengan suara bergetar, setiap katanya terasa menekan perih di dadanya. Gendis mengangguk pelan, matanya masih menatap makam itu sebelum akhirnya mereka berjalan menuju mobil. Seorang ajudan Kevin tampak memantau dari kejauhan, mengiringi langkah keduanya hingga mereka masuk ke dalam mobil. Di perjalanan, suasana hening cukup lama. Hanya suara mesin mobil dan desahan napas pelan Gendis yang terdengar. “Sayang, kita pulang ke Mama dulu, kan?” tanya Gendis akhirnya, mencoba memecah keheningan. “Iya. Malam i
“Akan ada risikonya, Rain,” ucap Kevin dengan nada tegas namun khawatir. “Risiko itu bakal balik ke mereka yang udah memulai masalah,” balas Rain dingin, matanya menatap Gendis yang masih lemah di sofa. “Rain, lebih baik kita atur strategi dulu. Jangan kamu ambil tindakan langsung buat balas dendam,” ucap Kevin, mencoba menenangkan emosi keponakannya itu. “Maksudnya? Saya diem aja gitu? Nunggu sampai ada korban lagi?” suara Rain meninggi, nada marahnya menusuk hingga akhirnya ia mematikan panggilan begitu saja. Kevin terdiam beberapa saat, menatap layar ponselnya yang kini gelap. Napasnya berat, menahan gejolak antara rasa bersalah dan ketakutan akan keputusan yang diambil Rain. Ia menghela napas panjang, lalu memberikan instruksi kepada timnya untuk merilis para pelaku setelah pengakuan resmi keluar. Para anggota polisi yang terlibat akhirnya dijatuhi hukuman berat—dari penjara seumur hidup hingga hukuman mati bagi penembak utama. Suasana ruang sidang mencekam; wajah mereka
“Apa! Bagaimana mungkin? Ini gila!” ucap Ibnu dengan wajah memucat saat menerima laporan dari anggotanya. Suaranya bergema di ruangan rapat yang sunyi, hanya terdengar deru napas marah dan dentuman tangannya di meja kayu. Rumah yang selama ini mereka jadikan markas rahasia—hangus. Habis terbakar bersama jasad para anggota kepolisian yang menjadi korban kebrutalan Rain, Angga, dan Kevin dua malam lalu. “Sekarang kalian berpencar! Jangan sampai Kevin menangkap salah satu dari kalian. Dan ingat, kalian harus bungkam soal peluru itu!” tegas Ibnu dengan mata menyala penuh ancaman. “Siap, Pak!” jawab para anggotanya kompak, suaranya terdengar di radio komunikasi. ••• Beberapa dari mereka kini sudah dalam perjalanan, melaju cepat di jalanan sepi siang itu. Wajah-wajah tegang dan tangan menggenggam erat setir motor masing-masing. “Gimana sekarang?” tanya salah satu dengan napas memburu. “Kita disuruh bungkam. Jangan sampai kasih tahu siapa penembak itu,” ucap rekannya pelan, mat
“Maksudnya?” tanya Kevin, mencondongkan badan, mencari jawaban di mata Rain yang kini memancarkan bara amarah. “Satu markas... harus mati,” bisik Rain, suaranya datar namun mengandung ancaman yang membuat udara di sekitarnya serasa beku. “Rain, seharusnya kamu cukup balas dendam sama Ibnu,” ucap Kevin dengan nada berat, matanya menatap Rain penuh kekhawatiran. “Nggak! Mereka semua harus tanggung akibatnya! Kalau saya cuma habisi satu orang, saya yakin mereka bakal bisa bergerak bebas tanpa hukuman setimpal!” ucap Rain tajam, matanya memancarkan amarah yang menahan gejolak batin. “Om, saya nggak pernah cari musuh... kecuali dimulai,” ucap Rain lagi, suaranya pelan tapi penuh ketegangan yang menusuk. Ia menatap Kevin sesaat, lalu melangkah pergi menuju arah Gendis. Gendis yang berdiri di dekat peti jenazah menangis tersedu, bahunya bergetar hebat. Begitu Rain mendekat, ia langsung memeluk suaminya erat. “Sayang... kenapa jadi berlarut-larut begini...” lirih Gendis di antara isak






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments