Share

Rahasia

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2022-06-21 16:51:30

Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya.

"Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya.

"Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya.

"Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku.

"Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. 

Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding.

"Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri.

"Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku.

"Maksud kamu gimana, Mas?" tanyaku menyelidik.

"Aku takut mencintaimu, Nilam, khawatir saat aku sudah amat sayang tahu-tahu hanya dipermainkan," celetuk Mas Arlan.

Aku tertawa mendengarnya, lalu menarik kedua telapak tangan Mas Arlan dan meletakkannya di atas dada ini.

"Pegang jantungku, Mas, kalau kamu minta pun akan kuberikan," jawabku singkat. "Jujur, aku sangat kagum dengan kepribadianmu, jadi takkan mungkin mempermainkan dirimu, Mas," tambahku lagi.

Hening, Mas Arlan tampak diam, sesekali ia menghela napas dan mengembuskan sambil menutup sedikit wajahnya.

"Lalu kalau boleh tahu apa tujuanmu menutupi jati diri keluarga?" tanya Mas Arlan masih diselimuti rasa penasaran.

Aku langsung menarik tangannya dan masuk setelah melihat satpam membuka garasi dengan sangat lebar.

"Motorku, Nilam!" teriak Mas Arlan sambil menoleh ke belakang.

"Gampang, nanti Pak Supri yang masukin," jawabku dengan posisi tangan bergelayut di lengan suami.

Kaki Mas Arlan melangkah tapi matanya berkeliling ke seluruh sudut rumah. Aku melihat betapa terkejutnya Mas Arlan melihat ke dalam. Kolam ikan yang berada di taman depan membuat suasana rumah semakin menakjubkan. Ditambah melewati parkiran mobil yang sudah terparkir lebih dari lima merk termasuk Alphard sebagai mobil keluarga saat kami jalan-jalan.

Mbok Sumi membuka pintu lebar-lebar, Mas Arlan membuka sandalnya ke dalam, ia ingat di rumahnya yang harus membuka sandal ketika masuk ke dalam.

"Mas, sandalnya pakai aja," suruhku ketika melihat suami melepaskan sandalnya.

"Kotor, Sayang, kan tadi abis hujan," jawab Mas Arlan.

"Sudah tugas yang bersih-bersih lah, Mas, mereka kan digaji untuk membersihkan," timpalku membuat Mas Arlan tersenyum paksa.

Kami melanjutkan langkah ke lantai atas dengan menapaki tangga. Mas Arlan masih menyorot sudut ruangan rumah, bahkan langkahnya terhenti ketika ada foto yang menempel di dinding. Ia perhatikan fotonya untuk meyakinkan dirinya bahwa ini adalah kekayaan yang nyata, bukan rumah sewaan atau pun rumah orang yang sengaja diakui.

"Jadi ini serius ya, Nilam? Kamu benar-benar anak sultan, masyaallah, aku benar-benar minder," ungkapnya saat menapaki anak tangga.

"Aku cinta kamu apa adanya, Mas. Meskipun ipar dan mertua tidak menyukaiku, yang penting itu kan kepribadian Mas Arlan yang benar-benar bijaksana," jawabku sambil terus bergelayut di lengannya.

"Aku malu, punya saudara dan mama yang selalu menghina kamu, padahal orang yang dihina derajatnya melebihi mereka berkali lipat, ini kah maksudnya kalian merahasiakan ini semua?" tanya Mas Arlan mulai tahu bahwa kami memang sengaja melakukan ini hanya karena ingin melihat wujud asli orang terdekat Mas Arlan. Semua dinilai dengan hartanya, semua diukur dengan yang dimiliki. Bahkan mereka menyingkirkan adab hanya karena ingin merendahkan orang lain yang tidak memiliki apa-apa.

Papa melambaikan tangan di taman atas bersama mama dan Om Farhan. Kolam renang yang ada di lantai atas membuat Mas Arlan kembali terperangah menyaksikan semuanya.

Mereka sudah menyambut kami dengan berdiri. Mas Arlan sontak meraih punggung tangan kedua orang tuaku dan juga Om Farhan.

"Kok lama, Lan?" tanya papaku, Ruslan Aryadi.

"I-itu, Pah, tadi antar Mama ke pasar dulu," jawab Mas Arlan terbata-bata.

"Silakan duduk, Lan," suruh mamaku menyusul bicara, Mama Ayumi yang selalu mendukung keputusan anaknya.

Mas Arlan duduk sambil menundukkan kepalanya seraya menunjukkan kesopanan. Ia lebih banyak diam sambil menunduk malu.

"Ah nggak seru deh kalau kamu seperti ini," ejekku sengaja.

"Sayang, aku malu, ini mertuaku orang kaya raya, aku ini orang rendah yang kuliah saja nggak lulus," jawab Mas Arlan pelan, ia hanya berbisik di telingaku.

Om Farhan mengeluarkan suara seraya mengejekku. Namun, setelah itu ia terlihat duduk agak tegak dengan tangan menyanggah di atas meja.

"Arlan, saya ini bos nya Gerry loh, kakak kamu," terang Om Farhan membuat mata Mas Arlan tak berkedip. Sesekali ia menatapku dengan wajah datar.

"Oh ya, Om. Ini yang kemarin jadi perdebatan kakak ipar saya, maafkan keluarga saya ya, Om. Mereka memang ... ah sudahlah tidak baik membicarakan orang lain," ujar Mas Arlan yang memang kurang menyukai membicarakan orang lain, siapa pun itu. 

Kedua orang tuaku saling menatap, mereka berdua berdecak kagum melihat sikap Mas Arlan. Aku pun mengangkat kedua alis seraya menunjukkan isyarat pada kedua orang tuaku. "Ini loh suamiku, Mah, Pah, memang hatinya itu selembut sutra, ah pokoknya dia benar-benar ngegemesin," celetukku sambil mencubit pipi suami.

"Bagus sih, Arlan seperti ini, jadi bisa kontrol istrinya yang kadang bawel, emosional, dan apa lagi ya, Pah jeleknya Nilam?" ejek mama membuat suasana yang menurut Mas Arlan tadi menegangkan kini berubah mencair. Kami tertawa lepas mendengarkan ejekan mama.

Minuman mulai datang, beberapa cemilan pun disuguhkan untuk kami. Mbok Sumi sempat menawarkan cemilan lain, tapi Mas Arlan menolak.

Obrolan pun masih terasa datar, sebab Mas Arlan masih belum bisa beradaptasi di rumah ini. Rumah dimana aku tinggal sejak kecil dan sudah beberapa bulan aku tinggalkan karena harus ikut dengan suami.

"Nilam, Om bisa bicara sebentar," ajak Om Farhan sambil berdiri.

Aku pun pamit dengan Mas Arlan untuk bicara sebentar dengan Om Farhan.

Kami menjauh dari orang tua dan suamiku, Om Farhan menarik lembut tanganku ke sebelah kiri kolam renang.

"Nilam, bagaimana mau bicarakan tentang Gerry kalau suamimu tidak menyukai ghibah," ucap Om Farhan.

"Hu um, pasti Mas Arlan melarang ikut campur, Om. Memang ada apa dengan Mas Gerry?" tanyaku pada Om Farhan.

"Om cuma mau kasih tahu nanti malam mereka akan bertemu di apartemen milik Calista, di Apartemen Pandawa nomor 147," jawab Om Farhan.

Aku hanya mengangguk sambil mengamati Mas Arlan dari kejauhan, lalu Om Farhan menyudahi pembicaraan, ia jalan lebih dulu ke tempat kami semula ngobrol. Namun, tiba-tiba aku terpeleset dan nyebur ke kolam renang.

Om Farhan aku kedipkan ketika aku muncul dari air. Ia paham dengan bahasa isyarat yang kuberikan.

"Arlan, tolong Nilam!" teriak Om Farhan. Mas Arlan pun lari dan berusaha menyelamatkanku. Padahal istrinya ini juara dalam berenang, tapi dalam kesempatan ini harus kugunakan untuk mendapatkan simpatik suamiku.

Mas Arlan membopong bobot ini dengan tergopoh-gopoh. Lalu menyandarkan ke pinggir. Kami basah dan lepek, jadi harus salin baju.

Akhirnya aku mendapatkan perhatian lagi dari Mas Arlan. 

Aku dan Mas Arlan pamit pulang setelah ganti pakaian. Sebab, sore ini ada saudara dari jauh yang hendak datang ke rumah. Katanya mau menyumbang untuk nikahan Hesti yang akan digelar sebulan lagi.

Pesan terakhir dari papa saat kami beranjak pulang adalah merahasiakan jati diriku dan keluarga dari keluarganya Mas Arlan.

"Bukan kami tidak mau jujur, Arlan, tapi sejujurnya ada rahasia yang belum kamu ketahui," kata papa membuatku mengernyit. Aku pun tidak tahu masalah rahasia itu, selain perselingkuhan dan korupsinya Mas Gerry, aku tidak tahu lagi rahasianya.

"Pah, ini tentang Mas Gerry kan? Mas Arlan tidak mau membicarakan orang lain," timpalku sengaja menerobos mereka yang sedang bicara.

"Bukan hal itu, Nilam, ini tentang Bu Desti, kan kamu kemarin nyuruh Papa cari tahu tentang Bu Desti ibu kandung Arlan atau bukan," terang papa membuat aku dan Mas Arlan saling beradu pandang.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (17)
goodnovel comment avatar
Rusmia
bagus ceritanya tapi GK bisa di baca lanjutnya
goodnovel comment avatar
Yansyah Yansyah
udah pakai data pakai koin juga bayar pula mati belanda
goodnovel comment avatar
Radhika Nawasena
najisin pake koin segala
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 87. TAMAT

    "Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 86. Secercah Titik Terang

    Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 85. Cincin Inisial C

    "Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 84. Baby AN

    "Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 83. Sembilan Bulan Berlalu

    Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 82. Farhan Ditemukan

    "Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status