KUBUAT KAMU MISKIN, MAS BAG 6.
**
"Kamu hamil?" tanyaku. Dia secara cepat menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Sand. Kenapa kamu nuduh aku kayak gitu!"
"Kamu barusan muntah-muntah kayak orang hamil!" sentakku padanya. Dia membalik badannya mengelap kasar wajahnya.
"Emang yang muntah-muntah cuma orang hamil saja, aku gak enak badan karena masuk angin. Oh, aku lupa kamu gak pernah hamil jadi menganggap setiap orang yang muntah sudah pasti hamil!" Dia masih sempat menyudutkan ku karena sampai sekarang belum punya anak.
"Anak adalah anugerah Tuhan. Lebih baik aku belum di kasih tetapi gak hamil di luar nikah mengandung anak haram. Kamu tahu gak, anak haram gak dapat apapun dari ayah biologisnya termasuk harta warisan!" Aku membalik ucapanku padanya. Wajah Miranti merah padam mendengar tutur kataku.
"Apa maumu sebenarnya, Sand. Kenapa kamu menyudutkan aku?"
"Kenapa kamu selalu merasa tersudut? Siapapun pasti akan curiga karena tiba-tiba kamu bekerja di sini dan menjadi sekretaris pula. Apa aku pecat aja kamu," kataku dengan dingin padanya.
"Sand, aku butuh pekerjaan ini. Tega benar kamu pojokin aku terus. Kamu fitnah kalau menuduh tanpa bukti, Sand!"
"Well, aku memang belum dapat bukti konkrit makanya kamu masih aku kasih kesempatan. Namun, alangkah fatal jika sahabat mengkhianati sahabatnya. Aku gak akan diam aja!" kataku dengan suara keras padanya. Dia diam, aku keluar dari toilet itu.
Aku bergegas pulang ke rumah. Seminggu kutinggalkan rumah dan berharap kondisinya masih baik-baik saja. Tetapi mengapa pikiranku kacau. Sebenarnya jika mau membawa perasaan hatiku sangat sakit kalau Mas Alif dan Miranti memang ada affair namun mereka pasti akan mengejekku lemah kalau aku hanya pasrah. Sampai aku di rumah. Keadaan sudah berantakan sekali.
"Mbok Yem!" panggil ku ke pembantu. Tergopoh yang datang Ibu Mas Alif. Bu Rifah namanya. Aku heran mengapa dia ke sini.
"Ibu! Mana Mbok Yem dan kenapa Ibu di rumahku?" kataku begitu saja. Rasa hormatku hilang melihat rumah kotor dan pengkhianatan anaknya.
"Eh, kamu udah pulang, sayang." Dia menyambutku dengan senyuman namun tak menjawab pertanyaan ku.
"Mana Mbok Yem, Bu?" tanya ku lagi.
"Sand. Mbok Yem ketahuan mencuri perhiasan Ibu. Jadi dia terpaksa Alif pecat!" katanya begitu saja.
"Gak mungkin. Lagian Ibu kenapa ada di rumahku?"
"Kenapa kamu marah-marah kayak gitu. Aku kan mertuamu. Seharusnya kamu hormat sama Ibu, Sand. Ibu di sini karena Alif yang suruh Ibu tinggal di kota.
"Ada apa dengan rumah Ibu?"
"Sudah di jual karena Ratmini juga sudah menikah. Ibu kesepian sendiri di kampung, Sand," katanya padaku. Aku menghembuskan napas gusar.
"Sudah berapa lama Ibu di sini?"
"Setelah kamu ke Malaysia. Ibu datang," ucapnya santai.
"Terus Ibu pikir aku ngizinin Ibu lama-lama di sini. Lihat, Bu, rumah udah kayak kapal pecah. Aku gak suka berantakan."
"Kenapa kamu jadi ketus banget setelah pulang dari Malaysia? Lagian Ibu juga gak mau lama-lama di rumah kamu karena Ibu akan beli rumah sendiri!" Dia berlalu saja.
"Tunggu, Bu. Aku ketus silahkan tanya Mas Alif dan kalau Ibu mau tinggal sementara di rumah ini tolong bersihkan semua yang sudah kotor ini!"
"Kamu cari servis room kek. Kamu kira Ibu pembantu."
"Lantas kenapa kalian pecat Mbok Yem. Ingat, aku gak percaya dia nyuri karena sudah lama ikut sama aku. Bereskan atau aku marah!" sentakku dengan mata melotot padanya. Ibu mendengkus kesal menatapku. Aku gak bisa gambarkan, rumah sangat berantakan. Kulit kacang berserakan di meja. Minuman kaleng dan berbagai bungkus cemilan. Piring kotor sudah jadi sarang lalat. Entah mengapa Ibu bisa betah dengan keadaan kotor. Dia yang melakukan kekotoran maka harus membersihkannya.
"Kamu keterlaluan, Sand!" kata nya padaku.
"Bersihkan, Bu, gunakan uang penjualan rumah Ibu di kampung untuk memanggil servis room!" ujarku dengan tatapan tajam. Dia diam dan kesal pada sikapku. Aku gak peduli, aku naik ke kamarku.
Ketika masuk kamar. Aku melihat beberapa pakaian ku berantakan. K*r**g *jar! Siapa yang membuat ini berantakan. Aku bergegas menuju brankas ku, ada beberapa perhiasan di dalam. Kubuka dan masih aman. Sepertinya ada yang mencoba membukanya karena ada kerusakan di sekitar brankas. Aku memeriksa lagi, seingat ku sebelum pergi aku meletakkan sebuah gelang di dalam kotak perhiasan. Tetapi aku lupa memasukkannya ke brankas.
Sialan! Siapa yang mengambil? Batinku. Kenapa rumahku sendiri sudah gak aman. Aku harus amankan perhiasanku ini. Surat tanah dan lainnya sudah ku amankan di tempat yang terpercaya.
Ibu!" Aku menjerit memanggilnya. Aku mengulang panggilan beberapa kali. Ibu dengan tergopoh datang menjumpai ku.
"Apa lagi, kamu gak lihat Ibu lagi nyapu?"
"Kenapa kamar aku berantakan? Perhiasanku hilang. Gelang emas ku. Di mana?" bentakku padanya. Wajahnya pias menatapku.
"Ibu gak tahu, kenapa kamu nuduh Ibu."
"Ibu yang di rumah lantas siapa yang mengambil?"
"Mana Ibu tahu, Mbok Yem kali," katanya santai menuduh Mbok Yem.
"Aku akan lapor polisi karena pencurian yang terjadi ini!" ancam ku padanya.
"Silahkan. Kenapa kamu nuduh Ibu. Ibu gak terima!" katanya dengan menghentak badan lalu menangis. Aku tahu dia hanya pura-pura saja. Ibu bergegas keluar karena sakit hati di tuduh.
Aku mengambil gawaiku dan kuhubungi Mas Alif. Beberapa saat dia mengangkat panggilanku.
"Sand, kamu udah gak marah lagi?" tanya nya.
"Mana perhiasanku yang di kotak! Aku akan lapor Polisi kalau gak ada yang mengaku mengambilnya!" kataku to the point.
"Sand, perhiasan kamu aku pinjam sebentar, aku mau nambah buat beliin rumah Ibu," katanya santai di seberang.
"Br*ngs*k kamu, Mas! Enak sekali kamu pakai perhiasan aku demi kepentingan kamu. Balikin!"
"Sabar kalau aku ada uang pasti aku balikin. Buka dulu blokiran rekening Perusahaan, Sand. Aku akan bekerja lebih giat lagi mulai sekarang."
"Sudah aku bilang, aku yang akan bekerja sampai Perusahaan itu normal lagi. Kalau kamu berani macam-macam sama aku. Lihat saja!" sergah ku mematikan gawainya. Aku sakit hati karena dia menjual perhiasanku sesukanya. Mas Alif memang suka seenaknya sendiri merasa harta ku adalah hartanya.
Aku membuka lemari nya. Dia membawa kuncinya sehingga aku gak bisa membukanya. Aku tak hilang akal. Aku bergegas ke dapur dan mengambil linggis, Ibu yang melihat merasa heran.
"Apa yang mau kamu lakukan dengan benda itu, Sand!"
"Membuka lemari!" jawabku datar. Dia mengikuti aku ke kamar. Dengan kasar dan penuh kekuatan serta amarah. Aku membuka lemari Mas Alif. Lemari rusak akibat perbuatan ku.
"Kamu sedang apa, Sand?" tanya Ibu masih heran. Aku hanya diam, semua pakaian Mas Alif yang masih baru serta koleksi jam tangan dan sepatu aku keluarkan. Mengambil plastik besar dan memasukkannya semua kedalam.
"Untuk apa semua ini, Sand. Mau kamu apakan pakaian Alif!" Ibu terkaget dengan ulahku.
"Aku akan jual semuanya!" sentakku.
Bersambung.
Setelah kejadian itu Miranti bercerita kepadaku kalau dia sudah ditalak Mas Alif. Dia ditalak Mas Alif saat mereka mengunjungi laki-laki itu di penjara. Miranti bersedih. Namun dia menerimanya dengan kepahitan. Hubungannya dari awal tidak baik dengan cara merebut suami orang dan ini adalah balasan yang setimpal yang dirasakannya atas perbuatannya. "Kamu serius mau pergi? Aku nggak masalah kalau kamu mau tinggal di sini dan merawat anak kamu di sini." "Tidak Sandrina. Aku sudah terlalu banyak merepotkan kamu. Aku tahu mungkin kamu juga tidak suka kepadaku. Aku merasa risih juga karena perbuatanku yang sudah menyakiti kamu. Aku minta maaf sekali lagi sama kamu. Walaupun pertemanan kita tidak akan sama seperti dulu. Aku masih berharap kita berteman seadanya.""Ya, Semoga kamu dan anak kamu sehat. Kamu menemukan kebahagiaan di tempat yang baru. Aku hanya ingin kamu tidak menyalahgunakan kepercayaan orang lain untuk kepentinganmu. Aku berharap kamu menemukan kebahagiaanmu di sana, Mir."
"Apa-apaan ini, Pak! Kenapa Bapak jebloskan saya ke penjara. Padahal selama ini saya juga bekerja untuk Bapak!" "Bekerja? Kamu sama sekali tidak bekerja untuk saya. Tapi kamu menipu saya. Sekarang kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatan kamu. Kamu hampir membuat perusahaan saya bangkrut dengan tidak melakukan produksi barang dan kamu menyelundupkan uangnya. Dasar kamu maling!" kata Pak Rifat menunjuk Alif. Karena Pak Rifat adalah orang penting. Dia juga punya teman seorang aparat. Pak Rifat juga sudah melaporkan perbuatan Alif ke pihak yang berwajib. Datanglah Polisi untuk menangkap Alif. Pak Rifat sebelumnya sudah memberikan bukti-bukti kepada polisi kalau Alif seorang penjahat. Lelaki tambun bersama Mona sengaja menjebak Alif dan membuat dia mengaku di depan keluarganya. "Apa-apaan ini, Pak!" Mata Alif mendelik ketika melihat Polisi datang secara tiba-tiba. Dia tidak menyangka kalau Polisi datang kemari atas undangan Pak Rifat. Padahal dia berpikir untuk menyelesaikan masala
KUBUAT KAMU MISKIN, MAS 60. **PoV Author. Alif sebenarnya ingin pergi dari sana karena situasinya tidak kondusif. Mereka semua berkumpul seperti ingin menyidang dirinya dan menyalahkan dirinya atas segala hal yang terjadi selama ini. Alif merasa posisinya tidak aman sekarang. Namun mau pergi juga tidak bisa. Tiba-tiba tangannya dipegangi oleh kedua Bodyguard Pak Rifat. Mereka membentak Alif. Laki-laki itu tak berkutik akhirnya dia menurut saja duduk seperti yang diinginkan mereka semua. Kedua Bodyguard tetap setia berada di sisi kanan dan kirinya. Alif beberapa kali berusaha melihat kesempatan untuk kabur Namun sepertinya tidak bisa. Dia terus di pegangi dengan kasar. Seketika dia saat ini pasrah, mereka semua duduk memandangi dirinya untuk bertanya macam-macam. "Ada apa ini, Mona? Kamu menyuruh aku datang ke tempat ini. Aku berpikir kita akan berbicara berdua di sini. Tapi aku nggak nyangka di sini banyak orang. Ada Sandrina dan yang lainnya kenapa kamu suruh aku datang kemari?
Mona berkata miris. Teringat kembali kebohongan-kebohongan yang diberikan Alif kepadanya. Dengan bodohnya dia percaya kepada laki-laki yang sudah banyak menipunya. "Kamu ini bicara apa sih. Itu sama sekali nggak benar. Alif itu sangat baik lagi pula dia tidak sengaja. Mungkin karena ada sesuatu hal yang membuat dia berbohong." Bu Rifah meringis bingung. "Aku ingin bertanya kepadamu, Bu. Apakah benar dia Alif dan bukan Putra?!" tanya Mona kembali. "Itu ...." Bu Rifah bingung mau menjawab apa. "Jawab dong, Bu!" kali ini Miranti yang berbicara. Bu Rifah menatap Miranti jengkel. Mau ikut campur saja urusannya. "Nak, Mona. Ibu belum tahu pasti, apakah dia Alif atau Putra seperti yang kamu bicarakan. Cuma Ibu memang benar-benar harus melihat dia secara langsung untuk memperjelas. Apakah dia anak Ibu Alif atau bukan," ucap Bu Rifah. Wanita itu berusaha mencari jalan tengah. Baginya terserah Alif saja. Kalau mau mengaku Putra, demi uang dan harta maka dia tak masalah anaknya berbohong.
Hanya itu yang Mona katakan. Dia mematikan gawainya. Rasa sakit hatinya sudah begitu dalam. Dia tidak mau berbicara panjang lebar lagi kepada Alif. Teringat ucapan Papanya, Alif itu adalah laki-laki yang cerdik. Dia sangat pintar bermanis mulut dan kalau dia sudah bermanis mulut maka Mona masih bisa ditipunya dengan berbagai tipu daya dan bualan-bualan seorang lelaki untuk memanfaatkan dirinya. Alif adalah penipu ulung. Beberapa saat Mona berpikir. Akhirnya dia mendapatkan ide. Dia tahu di mana Panti asuhan Sandrina. Karena penasaran dengan Sandrina Mona sempat memata-matai Sandrina. Jadi dia tahu di mana butik Sandrina dan Panti asuhan Sandrina. Mona yakin kalau sore hari Sandrina dan suaminya ada di sana. Mona berpikir lagi. Tidak mungkin Sandrina tidak mengenal wanita bernama Miranti yang tadi merusak pernikahannya. Pasti Sandrina mengenalnya jadi Mona harus banyak berkomunikasi dengan Sandrina tentang Alif dan apa langkah selanjutnya yang akan diambilnya. Wanita itu kemudian kel
KUBUAT KAMU MISKIN, MAS 59. **POV AUTHOR. Sebelumnya Alif beberapa kali menghubungi Mona untuk menyampaikan permintaan maafnya tetapi Mona tidak mengangkat gawainya. Walaupun Mona tidak mematikan panggilannya karena dia mau melihat seberapa banyak Alif menghubunginya. Ternyata banyak sekali panggilan yang tak terjawab. "Sayang, Untuk apa kamu menangisi laki-laki yang menipu kamu. Belum apa-apa saja dia sudah membohongi kamu. Bagaimana kalau nanti kalian menikah dan pasti masih banyak sekali kebohongan dalam dirinya. Papa juga menyesal membantunya kalau seperti ini keadaannya." "Terus apa yang harus aku lakukan, Pa? Aku juga bingung. Aku mencintainya tapi dia sudah membohongi ku.""Sebenarnya ada yang ingin Papa katakan kepadamu. Kalau produksi barang kita banyak yang gak berjalan. Papa sudah menyuruh orang untuk menyelidiki. Ternyata Putra dalang dari semua ini. Perusahaan Papa mengalami kerugian yang tidak sedikit. Kerugian itu banyak. Papa nggak menyangka kalau dia melakukan in