Selain diberi label sebagai ‘Menantu yang dipungut’ karena status sosialnya, penderitaan Calluna diperparah dengan sikap sang mertua saat Calluna tidak bisa memberikan keturunan untuk Keluarga Dewandaru. Suami Calluna yang seharusnya berpihak padanya, justru ikut andil dalam menindasnya. Calluna tidak kuasa lagi menahan tekanan dari Keluarga Dewandaru, dan dia harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya setelah sekian lama membiarkan dirinya terbelenggu. Hanya ada dua pilihan, kembali ke kehidupannya di masa lalu, atau bertahan dalam penderitaan. Hingga suatu malam, di tengah kegalauannya, seorang pria tiba-tiba mengulurkan tangannya di atas kepala Calluna di tengah rintik hujan dan tangisnya. Sosok asing berseragam tentara lusuh itu menatapnya dingin seraya berkata : “Ceraikan dia, dan menikahlah denganku!”
View More“Sudah aku katakan sejak lama, istrimu ini mandul. Kau masih keras kepala membelanya.”
Ruangan itu cukup luas untuk menggemakan suara seorang wanita paruh baya yang duduk di ujung meja makan. Tatapannya tajam, memandang sinis pada sang menantu di kursi sebelah kanannya. “Kalau dulu kau menikah dengan Diva, mungkin aku sudah memiliki dua cucu!” ucap Nyonya Mahestri penuh desakan dalam kalimatnya. “Bu, kau tahu seberapa besar usahaku untuk memberimu cucu, tapi … ,” Sakha, putranya menyahut. Dia bicara pada Nyonya Mahestri tapi lirikannya tajam tertuju pada Calluna. “Mungkin benar apa yang tertulis di dalam hasil tes hari ini.” “Apa kau sadar akhirnya kalau istrimu ini mandul?” Nyonya Mahestri menekankan lagi. “Kita sudah melakukan semua pemeriksaan dengan baik, Dokter Juna juga temanku sejak SMA. Aku kenal baik dengannya dan dia memiliki reputasi sangat baik. Tidak mungkin dia melakukan kesalahan.” Di tengah perbincangan ibu dan anak itu, Calluna duduk sambil menenggelamkan wajahnya semakin dalam. Secarik kertas di tangan perlahan diremas. Isi catatan medis di lembaran kertas itu masih sama dengan hasil tiga bulan lalu. Kemandulan. Satu kata yang selalu membuat Calluna tertekan setiap kali pulang ke rumah dan sang mertua memberikannya secarik kertas keramat itu. Tanpa mengangkat kepala pun Calluna tahu bahwa dirinya kini sedang menjadi sorotan untuk sang mertua, dan pria tinggi dengan senyum sinis di wajah yang duduk tepat di seberang kursi makannya. Dua orang itu tak bisa disebut sebagai musuh meski kata-katanya berhasil mengguncang hebat mental Calluna selama ini, sebab, mereka adalah ibu mertua dan suami Calluna sendiri. Orang-orang seakan tidak pernah bosan mendesaknya melahirkan keturunan Keluarga Dewandaru. “Aku sudah sering memberi peringatan pada Calluna untuk menjaga pola makan dan memperhatikan kesehatan rahimnya. Tapi, dia terlalu keras kepala. Jadi, jangan hanya salahkan aku seorang, Bu.” Itu suara Sakha . Tegas, tapi dia memposisikan dirinya sebagai korban, tak terima disalahkan meski kenyataannya, melahirkan penerus Keluarga Dewandaru adalah bagian dari campur tangannya. Kini sorot mata dua orang itu semakin intens, terasa membakar tubuh Calluna yang duduk diam tanpa kata. “Kenapa kau diam saja, Calluna? Perjelas saja jika kau memang mandul.” Nyonya Mahestri berkata lagi. Ucapannya yang setajam belati kontras dengan penampilan anggunnya hari ini. Bahkan paruh baya itu hanya diam di rumah, melakukan apapun sesukanya, termasuk menghabiskan uang warisan dan penghasilan dari usaha mendiang sang suami. “Aku yakin hanya belum waktunya saja. Tidak ada yang mandul diantara aku ataupun Sakha, Bu,” balas Calluna setelah sekian lama terdiam. “Kalau memang begitu, mengapa hasil tes kesehatan itu selalu tertulis kemandulan, Calluna?!” Nyonya Mahestri menghela napas kasar, amarahnya sudah memuncak hingga ke ubun-ubun. Beban di pundak Calluna semakin berat. Bagi sebagian orang, usia pernikahan tiga tahun masih terbilang muda untuk pasangan suami istri baru seperti Calluna dan Sakha . Tapi, tidak demikian untuk Mahestri. Wanita yang mengenakan dres putih polos model V-neck itu mencebik sinis. Dia menatap sang menantu layaknya seorang musuh. “Kau tahu, Calluna. Aku adalah pengusaha terkaya di desa ini, mau ditaruh mana wajahku tiap kali para kolega dan para tetangga kelas bawah itu bertanya kapan aku memiliki cucu?” Suara Nyonya Mahestri semakin keras. Sedikit bergetar seakan itu adalah luka paling dalam yang dia miliki. “Ini semua salahmu, Calluna. Kau terlalu gila bekerja. Di luar sana kau bisa mengurus anak-anak dari kalangan rendah tapi untukku, bahkan satu anak pun tidak bisa kau berikan,” kata Sakha menimpali . Calluna, di sudut matanya air mata sudah menganak sungai. Dadanya berdenyut pelan, nyeri seperti reaksi habis ditikam oleh benda tajam. Calluna tahu ada reputasi yang dipertaruhkan, tapi dia juga tahu dia hanya manusia biasa. Sebelah tangannya mengepal semakin kuat. Tekanan rumah tangga ini kian hari membuat Calluna hampir gila. Bersama dengan sisa energi yang dia miliki saat ini, perlahan Aria mengangkat pandangannya. Membalas tatapan sengit suami dan ibu mertuanya kemudian berkata lirih pun tajam. “Apakah kalian pikir aku ini mesin pembuat anak?” sahut Calluna tenang, tapi kalimatnya menghunus. Tatapannya menyiratkan luka mendalam di balik gestur tegar yang dia tunjukkan. “Memiliki anak bukan hanya tugasku seorang diri. Kenapa kalian hanya mendesakku tanpa berkaca?” Di tempatnya, Nyonya Mahestri menurunkan pandangan sekilas pada gelas teh di depannya. Nampak acuh, menutup telinganya dari semua ucapan Calluna. Calluna beralih pada sang suami. Pria itu masih duduk santai, bersandar pada punggung kursi yang terbuat dari bahan kulit premium. “Kau tahu seberapa keras aku menjaga kesehatan rahimku. Mengikuti semua aturan yang kau buat tapi kau sendiri tidak bisa dipercaya. Kau pikir aku tidak tahu kalau kau mi—” “Calluna!” sela Nyonya Mahestri. Di balik sikap tenangnya, suaranya berhasil membuat ucapan Calluna menggantung di tengah kehampaan udara. “Tanggung jawab seorang wanita itu berat, dan melahirkan anak adalah tugas seorang istri. Kalau Sakha sudah memberikan benihnya di rahimmu, tapi kau gagal memberikan cucu, apa itu masih salah Sakha ? Harusnya kau yang berkaca, seberapa baik kualitasmu sebagai seorang istri!” Kalimat itu berhasil menampar Calluna dengan tangan tak kasat mata. Lidahnya kelu, mendadak mulutnya kehilangan kemampuan untuk bicara. Pada akhirnya dia hanya bisa membalas kalimat menyakitkan itu dengan tatapan pilu. Nyonya Mahestri berdiri, memandang rendah pada Calluna yang masih di tempatnya. “Seharusnya kau sadar diri, Calluna. Dengan Sakha menikahimu, kini kau menjadi seorang nyonya besar. Apa sulitnya kau membalas budi kami dengan memberikan Sakha keturunan?!” Calluna menggeleng lemah. Dia berdiri di atas kakinya yang semakin lemas. Mulai kembali buka suara, nadanya bergetar. “Bu, kumohon berhenti hanya melihat dari satu sisi saja. Selama tiga tahun ini aku juga berjuang untuk hamil. Semua aturan yang kalian buat aku turuti. Pola makan, pola tidur, bahkan aku dengan senang hati membiarkan tubuhku dijamah Sakha setiap hari, setiap jam hanya demi memberimu cucu.” Calluna menjeda. “Bahkan Sakha tidak peduli jika tubuhku kesakitan atau merasa tak nyaman tiap kali kami selesai berhubungan badan. Semuanya aku telan sendiri. Tidak bisakah kau menghargai usahaku sedikit saja?” tutur Calluna. Semua keluhnya dia tumpahkan di hadapan Nyonya Mahestri dan Sakha tapi dua orang itu terlihat acuh tak acuh. “Dengar, Calluna.” Nyonya Mahestri menyahut, menghela napas jengah. “Aku sudah memberimu waktu tiga tahun untuk memberiku cucu. Jika kau memang tidak sanggup, katakan saja. Aku bisa mencari cara lain yang lebih ampuh.” Mata Calluna memicing. “Apa maksudmu, Bu?” Lirikan sinis Nyonya Mahestri mengandung banyak arti. Wajahnya dihiasi oleh senyum licik. “Putraku masih sangat muda untuk menghasilkan sperma terbaik dan bisa menikahi wanita manapun yang dia mau. Alih-alih berharap kau memberinya keturunan di saat usiamu yang semakin matang. Lebih baik aku mencari cara lain agar Sakha mendapatkan keturunan.” Ketegangan di ruangan itu semakin pekat. Dengan jantung berdebar kencang, Calluna menunggu sang mertua selesai dengan ucapannya. Berharap apa yang akan terucap bukanlah sebuah keputusan yang akan menyakitinya untuk kesekian kali. “Apa yang akan Ibu lakukan?” tanya Calluna. Disusul tatapan penuh rasa penasaran dari Sakha .Derik jangkrik bising di telinga. Langit kehitaman menggantung rendah di balik jendela besar di sisi ruang keluarga. Meja panjang lengkap dengan delapan kursi yang ditata rapi di sekelilingnya membentang mengisi area tengah ruangan itu. Tetapi, penghuninya hanya mengisi setengah dari jumlah kursi keseluruhan. Seharian rumah itu tak cukup hening meski ditinggal oleh nyonya besar dan putranya, masih ada Shanaz, sang pewaris kedua yang kerap kali memicu riuh dan membuat Calluna sakit kepala.Tidak ada satupun yang bersuara di antara mereka. Kecuali pandangan Nyonya Mahestri yang memindai satu per satu orang di sana. Mulutnya bungkam tapi kedua matanya menjelaskan semuanya. “Apa yang kau lakukan pada Diva, Calluna?” Pertanyaan bernada dingin itu pada akhirnya terlontar juga. Calluna mengangkat pandangannya. Masih terlihat tenang. “Aku tidak melakukan apapun padanya. Tidak bicara banyak pun menyakiti dia secara fisik,” sahut Calluna. “Aku peringatkan padamu, ya, Calluna. Diva adalah tam
Kata orang, hidup di pedesaan jauh lebih menentramkan jiwa. Jikapun penat mengisi kepala, banyak cara untuk melepasnya di alam bebas. Hidup berdampingan dengan alam agaknya menjadi idaman banyak orang, setidaknya itu yang diimpikan oleh Calluna dulu. Memilih menjauh dari hiruk pikuk kota, dia memutuskan mengabdi pada negara dengan memberikan kontribusinya di dunia pendidikan, lalu bertemu dengan sosok pria yang membuatnya jatuh cinta. Dulu, susah senang bersama, tapi sekarang semuanya telah berubah. Sakha menikmati kesenangannya, tapi Calluna hanya menerima ampas dukanya. “Calluna, kau sudah akan pulang?” Suara di belakang Calluna membuatnya menoleh. Yudit, sahabat sekaligus guru bahasa inggris di sekolah tempat Calluna mengajar, berlari kecil menghampiri Calluna dengan senyum lebar. “Hari ini ada pameran tembikar di kota ‘kan? Apa kau ikut pergi dengan suamimu?” tanyanya sambil menyamakan langkah. Hari ini Calluna bertekad untuk tidak menyembunyikan keresahan hatinya pada siap
Jelaga kehitaman mengepul di ujung tungku pembakaran tembikar, nampak dari kejauhan. Sebuah toko tembikar berdiri kokoh di sebuah bangunan ruko paling besar di wilayah itu, disesaki oleh beberapa pengunjung yang sedang melihat-lihat. Bunyi derit roda tembikar dari area belakang toko tempat para pekerja membuat tembikar memenuhi telinga. Tapi pendengaran Calluna seperti tuli. Ia membiarkan orang-orang di belakangnya mencibir saat menyadari kehadirannya di sana. Calluna melangkah menuju meja kerja Sakha bersama satu kotak bekal sarapan dan makan siang di sudut ruang pajangan lantai satu. Suara-suara halus menyelinap dari celah-celah rak tinggi berisi berbagai model tembikar. Berita kemandulannya sudah tersebar. Nyatanya gosip menyebar lebih cepat dari hembusan angin hangat di pagi hari ini. Kotak bekal tiga tingkat itu Calluna letakkan di atas meja kerja, sedikit menghentak. “Aku akan pulang sedikit terlambat hari ini. Tapi kupastikan makan malam untukmu dan ibu sudah siap sebelum ka
Seketika waktu terasa berjalan lebih lambat bagi Calluna. Dunia berputar di bawah kaki nyonya besar sekaligus mertuanya ini. Sosok angkuh yang selalu membanggakan dirinya di depan orang lain dan menginjak harga diri Calluna begitu kejam.Calluna dibuat semakin muak dengan bagaimana sosok suami yang dia cinta kini bersikap santai. Seolah tidak ada ancaman apapun dalam pernikahan mereka.“Kalau dalam waktu tiga bulan ke depan kau belum juga hamil, aku akan menikahkan putraku dengan Diva dan kupastikan kau tidak akan setara dalam hal apapun dengan mereka,” ucap Nyonya Mahestri. Menyebut satu nama yang selama ini menjadi bayangan kelam rumah tangganya dengan Sakha . Ketegangan di ruang makan semakin menjadi. Calluna melirik Sakha, berharap pria itu akan sedikit saja membelanya. Tetapi apa yang dia dapatkan hanya cemoohan tersirat dari raut wajah santai sang suami. Dengan suara rendah, terlampau kecewa Calluna berkata. “Keputusan macam apa itu, Bu?” Calluna menarik napas dalam. Memberi c
“Sudah aku katakan sejak lama, istrimu ini mandul. Kau masih keras kepala membelanya.” Ruangan itu cukup luas untuk menggemakan suara seorang wanita paruh baya yang duduk di ujung meja makan. Tatapannya tajam, memandang sinis pada sang menantu di kursi sebelah kanannya. “Kalau dulu kau menikah dengan Diva, mungkin aku sudah memiliki dua cucu!” ucap Nyonya Mahestri penuh desakan dalam kalimatnya. “Bu, kau tahu seberapa besar usahaku untuk memberimu cucu, tapi … ,” Sakha, putranya menyahut. Dia bicara pada Nyonya Mahestri tapi lirikannya tajam tertuju pada Calluna. “Mungkin benar apa yang tertulis di dalam hasil tes hari ini.” “Apa kau sadar akhirnya kalau istrimu ini mandul?” Nyonya Mahestri menekankan lagi. “Kita sudah melakukan semua pemeriksaan dengan baik, Dokter Juna juga temanku sejak SMA. Aku kenal baik dengannya dan dia memiliki reputasi sangat baik. Tidak mungkin dia melakukan kesalahan.” Di tengah perbincangan ibu dan anak itu, Calluna duduk sambil menenggelamkan wajahn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments