Beranda / Horor / KUNTILANAK MERAH / Warteg Tengah Malam dan Nasi Goreng Arwah

Share

Warteg Tengah Malam dan Nasi Goreng Arwah

Penulis: West star
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-04 14:43:24

Bab 6: Warteg Tengah Malam dan Nasi Goreng Arwah

---

Sudah menjadi kebiasaan bagi trio Kalibungkus—Raka, Desi, dan Ucup—untuk merayakan setiap kasus supernatural yang berhasil mereka tangani dengan satu ritual sakral: makan malam di Warteg Bu Sri.

Warteg Bu Sri terletak di sudut tikungan Pasar Lama, tempat yang terkenal dengan dua hal: pertama, ayam gorengnya yang gurih seperti mantra penyembuh patah hati. Kedua, warteg itu tidak pernah tutup. Bahkan di malam Jumat Kliwon, ketika seluruh desa menutup pintu rapat-rapat dan menggantung bawang putih di jendela, Bu Sri tetap melayani pelanggan dengan senyum lebar dan celemek bertuliskan “Makan, Jangan Takut. Setan Juga Lapar.”

Malam itu, setelah urusan Pak Karmin—si tukang cukur gaib—beres, mereka duduk di bangku kayu panjang di depan warteg. Lampu warteg remang-remang, hanya disinari cahaya neon warna kuning yang berkedip-kedip seperti film horor zaman 90-an.

“Bu, nasi goreng tiga. Pedes level akhirat,” ujar Ucup.

“Tambahin telur dadar sama kerupuk kulit,” sambung Desi.

“Dan jangan lupa teh manis anget. Tapi yang beneran manis ya, bukan kayak cinta sepihak,” kata Raka sambil melirik Ucup.

Ucup mengangkat sendok. “Bro, gua udah move on dari Wulan. Lo bisa berhenti nyindir?”

Desi menyela, “Move on apanya, lo masih nyimpen foto dia di dompet. Kemarin gua liat.”

Ucup meradang. “Itu buat kenang-kenangan. Lagian, katanya ini warteg sakral, jangan bawa nama mantan!”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari sisi gelap lorong pasar.

Mereka bertiga menoleh bersamaan.

Seorang pria kurus tinggi, mengenakan jas lusuh dan topi fedora, melangkah pelan ke arah mereka. Matanya tajam, bibirnya tersenyum setipis pisau. Ia berjalan melewati mereka tanpa sepatah kata, lalu masuk ke dalam warteg dan duduk di sudut yang paling gelap.

Bu Sri melirik pria itu sejenak, lalu menyambutnya seperti biasa. “Mau pesan apa, Mas?”

Sang pria menunjuk papan menu.

“Tulisan ‘nasi goreng arwah’ itu beneran ada?” tanyanya.

Bu Sri mengangguk. “Ada. Tapi khusus pelanggan pilihan. Kamu yakin mau coba?”

Pria itu hanya tersenyum dan mengangguk pelan.

“Eh,” bisik Raka ke Desi, “nasi goreng arwah apaan tuh? Gua nggak pernah liat di menu sebelumnya.”

Desi mengangkat bahu. “Gua juga baru denger. Tapi kalo Bu Sri bilang ‘pelanggan pilihan’, bisa jadi…”

“…dia hantu?” sambung Ucup pelan, wajahnya pucat.

Mereka bertiga menoleh ke arah pria itu.

Dan di saat bersamaan, Bu Sri datang membawa tiga piring nasi goreng pesanan mereka. Aromanya luar biasa: gurih, wangi bawang merah goreng, dan sambal teri yang pedasnya membangkitkan kenangan masa kecil.

Tapi aroma lain menyusup ke udara—sesuatu yang lebih kuat. Seperti bau dupa… bercampur wangi melati layu.

Itu aroma dari nasi goreng arwah.

Mereka menyaksikan dengan tegang saat pria itu menyendok suapan pertama.

Tiba-tiba… lampu warteg berkedip dua kali.

Sebuah angin dingin bertiup.

Dan pria itu menghilang.

Piring nasi goreng arwah-nya masih utuh, dengan sendok yang melayang sebentar di udara sebelum jatuh ke lantai.

Ucup menjatuhkan sendoknya. “Gua… gua nggak halu kan?”

Raka menelan ludah. “Itu… nasi goreng apa sih sebenernya?”

Bu Sri, tanpa panik, mengambil piring kosong dari meja pria tadi, membungkusnya dengan kertas koran, dan menyimpannya di bawah rak sambal.

“Kalian udah cukup gede buat tahu,” katanya sambil duduk bersama mereka. “Tapi janji ya, jangan bilang siapa-siapa.”

Mereka bertiga mengangguk, meskipun Ucup sempat ragu apakah menjilat sendok sendiri termasuk pelanggaran etika.

“Setiap malam Jumat Kliwon,” ujar Bu Sri, “aku masak nasi goreng khusus. Pakai bumbu yang dikasih sama nenekku dulu. Katanya, bumbu itu bisa memanggil arwah penasaran… dan mengantar mereka ke tempat yang seharusnya.”

Raka menyipitkan mata. “Lo serius, Bu?”

“Sangat serius. Tapi hanya arwah yang lapar dan bingung yang bisa datang. Yang dendam dan jahat... nggak bisa makan.”

Desi menatap Bu Sri dengan curiga. “Berarti yang tadi…”

“Arwah dari tahun 1950-an. Mantan pejuang yang dibunuh karena dikira pengkhianat. Ia kelaparan di dunia roh. Malam ini, dia sudah dijemput.”

Ucup menunduk. “Jadi, nasi goreng lo semacam... kuliner spiritual?”

Bu Sri tertawa pelan. “Bisa dibilang begitu.”

Namun malam itu belum berakhir.

Saat mereka hendak pulang, seekor kucing hitam besar muncul di atap warteg. Ia menatap mereka dengan mata kuning menyala, lalu berbicara.

“Kalian terlalu banyak tahu.”

Ucup menjerit seperti suara teko mendidih. Raka dan Desi mundur beberapa langkah.

Bu Sri menatap kucing itu dengan tegas. “Turun, Beng-Beng. Jangan ganggu mereka.”

Kucing itu melompat turun. Di tanah, ia berubah bentuk menjadi… pria berambut panjang dengan wajah penuh luka.

“Aku adalah penjaga dapur kematian. Dan kau, Sri… terlalu sering memberi makan yang belum waktunya.”

Suasana membeku.

Bu Sri berdiri. Tangannya mengepal. “Kau penjaga dapur? Maka aku, pewaris sendok emas Nyi Lasmini, akan menghadapimu!”

Ucup berbisik ke Raka, “Apa ini udah masuk anime?”

“Kayaknya Bu Sri punya season sendiri,” sahut Desi pelan.

Seketika itu, sendok besar di dapur Bu Sri terbang ke tangannya. Ia menantang pria itu dalam pertarungan spiritual… dengan alat dapur sebagai senjata.

Sendok lawan cakar. Kunyit lawan gigi.

Cabe rawit meledak. Piring meluncur seperti frisbee terkutuk.

Akhirnya, dengan gerakan cepat dan taburan garam krosok, Bu Sri berhasil menyegel pria itu ke dalam kaleng biskuit Khong Guan kosong.

“Aku akan kembali!!” teriak suara dari dalam kaleng.

Bu Sri menutupnya dengan lakban.

“Semoga enggak,” katanya, lalu menyimpan kaleng itu di rak atas lemari berlabel “Bukan Cemilan”.

Malam itu, mereka pulang dengan campuran rasa kenyang, takut, dan bingung. Tapi satu hal yang pasti…

Di Kalibungkus, bahkan makan malam bisa berubah jadi pertempuran antara dunia hidup dan arwah lapar.

Dan Ucup? Ia memutuskan puasa makan nasi goreng selama sebulan.

“Tapi kalau ayam penyet… lain cerita,” katanya sambil memegang perut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 14: Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah

    Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah.......Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 02 punya reputasi aneh. Murid-muridnya rajin, guru-gurunya sopan, tapi semua orang kampung sepakat: jangan main ke sekolah itu setelah jam lima sore.Bangunannya berdiri sejak zaman Belanda. Plang nama sekolah sudah pudar, papan pengumuman miring, dan lonceng tua di tiang besi hanya dibunyikan manual dengan tali tambang. Dindingnya lembab, dan di salah satu kelas ada tulisan kapur yang tak pernah bisa dihapus: "Saya belum selesai ujian..."Semua berawal dari ruang kelas 4B. Ruangan itu lebih gelap dari yang lain, walau jendelanya besar. Lampu sering berkedip, dan kipas langit-langitnya menimbulkan suara mendengung seperti nyamuk raksasa. Guru-guru menyebutnya 'kelas keramat'.Suatu hari, Bu Kartini, guru Matematika senior yang terkenal disiplin dan anti-mitos, memutuskan mengajar les tambahan sepulang sekolah. Ia menolak semua peringatan murid dan g

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 13: Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain

    Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain.....Hari Sabtu siang di Kalibungkus biasanya hanya diisi suara ayam berkokok telat, anak-anak main layangan, dan suara ibu-ibu menyapu halaman. Tapi hari itu, suara gaduh, tawa cekikikan, dan denting gelas sirup menggema dari rumah Bu Rumi, Ketua RT sekaligus tuan rumah arisan bulanan emak-emak Blok C.“Eh Bu Yayah, masa kamu belum setor bulan kemarin? Mau jadi peserta arisan arwah kayak Lastri?”“Eh jangan asal nuduh! Aku tuh udah setor, cuma belum sempat ditulis. Tanya aja Bu Iis!”Bu Iis yang lagi ngunyah pastel isi bihun keasinan cuma manggut-manggut sambil meletakkan kotak makan plastiknya di atas meja. Kursi plastik oranye berjejer di ruang tamu, sebagian mulai melengkung karena beban emak-emak plus bonus gorengan. Satu kursi di pojok ruangan sengaja dikosongkan, katanya buat 'tamu tidak diundang'.Tradisi arisan Kalibungkus memang aneh. Setiap bulan, selalu ada kejadian ganjil sejak tah

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi Panas

    Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi PanasSalon Wiwin berdiri di pojok Jalan Anggrek, sebuah gang kecil yang penuh tanaman pot dan kabel listrik menggantung seperti akar dari langit. Wiwin, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun, memutuskan membuka salon setelah frustasi bekerja sebagai kasir toko elektronik yang setiap hari disuruh ganti baterai remote rusak.Salon itu kecil. Hanya dua kursi salon yang catnya sudah mulai mengelupas, satu cermin besar retak di ujung kiri dinding, kipas angin tua yang suaranya seperti orang mendengkur, dan lemari kayu tempat menyimpan semua alat perawatan rambut. Tapi, ada sesuatu yang istimewa: pelanggan selalu ramai. Mungkin karena Wiwin ramah, murah, atau karena dia sering memutar lagu dangdut remix sambil mencatok rambut.Namun sejak malam Jumat Kliwon bulan lalu, salon itu tak pernah sama lagi.Semuanya dimulai saat Wiwin merapikan lemari tua di pojok salon. Ia menemukan sebuah sisir kayu antik

  • KUNTILANAK MERAH   Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala Terbang

    Bab 11: Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala TerbangKalibungkus adalah desa kecil yang punya cara aneh menjaga kekompakan warganya: pertandingan voli antar RT tiap Jumat sore. Meski kelihatannya biasa, pertandingan ini terkenal tidak pernah selesai. Alasannya? Entah karena debat skor, bola nyangkut ke kandang ayam, atau tiba-tiba hujan padahal langit cerah. Tapi Jumat sore itu, pertandingan berhenti bukan karena hal-hal konyol seperti biasanya. Kali ini, pertandingan berhenti karena kepala orang terbang.Sore itu, langit cerah tanpa awan. Angin bertiup pelan, membawa bau tahu goreng dan keringat bapak-bapak yang sudah pemanasan sejak pukul tiga. Anak-anak duduk berderet di pinggir lapangan tanah merah, duduk di atas ban bekas yang disusun seperti tribun. Emak-emak membawa bekal—ada yang bawa singkong goreng, ada yang bawa kerupuk, ada juga yang bawa kipas tradisional dari lidi yang lebih sering dipakai buat ngusir nyamuk daripada buat angin.Pak L

  • KUNTILANAK MERAH   Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis

    Bab 10: Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis---Pukul empat sore di Kalibungkus biasanya adalah waktu sakral bagi anak-anak SD dan SMP. Itu adalah waktu jajan, ketika warung-warung pinggir jalan mulai ramai, dan suara gerobak dorong berdentang lebih nyaring dari azan magrib.Di situlah pertama kali warga melihatnya.Seseorang—orang?—menjual cilok dari balik kabut sore yang menggantung rendah. Gerobaknya tua, terbuat dari kayu cokelat kusam, dengan tulisan “CILOK PEDAS SETAN” yang tampak ditulis dengan darah (atau saus tomat basi).Tapi yang membuat geger bukan gerobaknya, melainkan... penjualnya.Dia tinggi, rambut panjang menjuntai sampai lutut, kulitnya pucat seperti mayat yang kelamaan di kulkas, dan matanya... merah menyala.---“Lu yakin itu orang?” tanya Ucup ke Desi saat mereka ngintip dari balik tembok sekolah.Desi melotot. “Lu kira setan bisa dagang cil

  • KUNTILANAK MERAH   Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar

    Bab 9: Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar---Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 1 adalah bangunan peninggalan zaman Belanda yang direnovasi terakhir kali… saat Presiden masih sering tampil di televisi dengan pita leher. Plafon lapuk, meja bolong, dan cat dinding yang mengelupas seperti kulit ular habis ganti musim adalah pemandangan biasa. Tapi yang paling jadi legenda adalah kamar mandi belakang.Letaknya di pojok sekolah, dekat pohon asam tua yang akarnya menjulur seperti jemari monster tua. Ada dua bilik: satu untuk murid laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Tapi… sejak tahun 2007, tidak ada yang berani masuk bilik nomor dua.Kenapa?Karena tisu toilet di dalamnya bisa bergerak sendiri.—Desas-desus ini sudah lama terdengar. Tapi tak pernah ada bukti nyata. Sampai suatu hari, Iqbal, murid kelas 5 yang dikenal paling berani dan paling doyan makan lem, memutuskan unt

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status