Tiba di rumah sakit, Azmi langsung meminta dokter mengambil tindakan. Apapun yang perlu dilakukan dokter untuk menyelamatkan Sinta, ia tak keberatan. Tubuh adiknya yang sudah lemah tidak berdaya langsung dibawa ke ruang UGD untuk dilakukan tindakan penyelamatan.Kurang lebih satu jam kemudian, dokter keluar dari pintu ruangan dan mengabarkan jika Sinta sudah siuman tetapi kondisinya masih sangat lemah. Pendarahan sudah berhenti hanya saja perlu dilakukan kuret untuk mengeluarkan janin yang masih tertinggal di dalam rahim adiknya. Dan Azmi langsung meminta dokter melakukan tindakan tersebut jika memang itu tindakan terbaik demi keselamatan jiwa adiknya yang sangat ia khawatirkan itu.Bu Rina dan Mila sendiri sudah datang tak lama setelah Azmi memberi kabar tentang kondisi Sinta yang sakit, tepatnya pendarahan karena keguguran.Dan mendapati kenyataan itu, mereka pun buru-buru ke rumah sakit. Bu Rina tampak sedih dan berkali-kali mengutuk perbuatan Tony dan ibunya yang tega membuat putr
Sepeninggal Sinta dibawa paksa oleh kakaknya ke rumah sakit, Bu Tony tampak mondar-mandir di ruang belakang.Dilihatnya cucian baju dari para pelanggan laundry yang baru dibuka miliknya masih menggunung di tempat pakaian kotor dan membuatnya pusing sendiri. Kalau begini bisa-bisa bisnis yang sedang ia rintis ini akan macet karena kekurangan tenaga.Maya sendirian saja tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Sementara kalau harus menyewa jasa pekerja lain, sudah barang tentu keuntungan usaha harus dibagi dua untuk membayar upah mereka. Dan ini tentu saja tidak sejalan dengan rencananya semula.Niat awalnya semula merestui pernikahan Tony dan Sinta adalah demi bisa memanfaatkan tenaga menantunya itu secara gratis. Sayang, Sinta malah keguguran dan sekarang tinggal Maya sendirian di rumah ini. Itu tentu saja sangat tidak menguntungkan baginya.Sementara, setelah peristiwa tadi terjadi, mungkin keluarga Sinta tidak akan membiarkan lagi putrinya itu kembali ke rumah ini. Kecuali jika
Vino menatap tubuh adiknya yang tampak dipenuhi darah yang merembes dari luka di bagian kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya yang mengalami cidera.Tubuh itu tampak tak bergerak dan dipenuhi selang. Ada selang infus, darah juga selang oksigen untuk membantu jalan pernafasannya.Tubuhnya juga dipenuhi luka dan darah di sana sini akibat cidera berat usai mengalami kecelakaan beberapa saat lalu.Vino merasa kacau. Pada saat yang bersamaan, ibu dan adiknya tiba-tiba mengalami insiden yang tidak ia sangka-sangka dan ia harapkan seperti ini. Tentu saja ia merasa semakin panik.Tak jauh beda dari sang adik, ibunya saat ini pun tengah dirawat di ruang ICU karena serangan stroke yang mendadak menimpanya.Entah apa yang baru saja terjadi pada diri ibunya itu tapi menurut Maya, sang ibu barusan jatuh di tempat mencuci pakaian sebab tak hati hati saat membantunya mengoperasikan mesin cuci guna menyelesaikan pekerjaan mencuci pakaian kotor dari para pelanggan laundry miliknya."Mas, sabar ya.
"Den, istri itu wanita yang kebetulan tinggal di rumahmu, numpang hidup! Makanya nggak usah terlalu baik. Nggak usah gaji pake diserahkan semua sama si Zahra. Enak sekali dia, kerja nggak, tiap bulan gajian!" seru ibu sembari mengambil amplop gaji bulanan dari tanganku dan menghitungnya.Setelah mengambil sebagain besar uang itu dan menyisakan hanya lima lembar uang kertas berwarna merah di dalamnya, akhirnya amplop itu pun diserahkan kembali padaku."Ini buat istrimu!" ujar ibu sambil menjejalkan amplop itu ke tanganku.Aku hanya bengong, tapi tak urung kuambil juga uluran tangan dari ibu itu."Istri itu orang lain yang kebetulan mendampingi kamu, Den! Kalau cocok dipertahankan. Kalau sudah nggak cocok, ya dibuang aja, cari yang baru! Nggak usah ribet. Perempuan banyak, mending uangmu kasih ke ibu aja. Ibu ini ibu kamu. Orang yang merawat kamu dari kecil. Ada bekas istri tapi nggak akan ada yang namanya bekas ibu. Ngerti kamu?" sambung beliau lagi dengan nada sinis yang sama.Mendeng
Aku membuka tudung saji lalu menutup kembali dengan gerakan kasar.Hari sudah hampir pukul tujuh pagi tapi belum ada juga barang sebiji sarapan pun di meja makan. Apa sih maunya Zahra? Apa juga gunanya tinggal di rumah ini kalau ngurusin sarapan pagi suami saja nggak becus begini?"Ra, Zahra. Mana sarapan pagi? Kok jam segini kamu belum masak?" teriakku pada Zahra yang kulihat sedang asyik bermain ponsel di ruang tamu.Bah, istri macam apa yang pagi-pagi begini bukannya menyiapkan makan pagi suami malah sibuk berselancar di sosial media?"Maaf, Mas. Aku memang belum masak karena uang yang Mas kasih kurang buat belanja. Aku cuma bisa beli token listrik, beras dan bayar hutang bulan lalu. Mpok Meli nggak mau ngutangi lagi karena itu juga cuma bisa bayar setengah dari hutang semuanya. Makanya aku lagi melayani pembeli yang mau belanja online di olshop-ku, Mas. Nanti kalau sukses orderannya, baru aku mau belanja. Maaf ya, Mas," ucap Zahra sambil menundukkan kepalanya. Terlihat bersalah.
"Mas, kamu dari mana? Kok baru pulang?" tanya Zahra saat aku baru pulang dari rumah ibu.Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ganti baju lalu berbaring di kasur dan memejamkan mata.Benak ini memang sudah letih. Seharian aku di rumah ibu dan terus dicekoki dengan segala hal negatif soal Zahra membuatku sakit kepala."Mas, kok diem aja? Aku masak nila goreng kesukaan kamu, makan dulu yuk," ujar Zahra lagi sembari mendekati tempat tidur lalu menyentuh pelan bahuku tetapi aku hanya bergeming saja.Entah, berdekatan dengannya rasanya tak lagi seindah dulu, saat awal menikah dan berbulan madu.Saat semua masih baik-baik saja hingga Zahra mulai protes ketika tahu aku memberikan separuh gajiku untuk ibu, wanita yang telah melahirkanku ke dunia."Mas?""Kamu dapat uang dari mana? Katanya uang kemarin habis?" potongku dingin sambil membalikkan punggung, membelakanginya."Dari jualan olshop, Mas. Alhamdulillah hari ini dapat tiga puluh rib
"Mas, sarapan yuk. Aku bikin nasi goreng spesial kesukaan, Mas. Kebetulan masih ada sisa uang buat beli telor, jadi aku bikinin nasi goreng dengan telor mata sapi. Cicipin yuk, enak lho," ujar Zahra saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam kantor, hendak bekerja pagi ini.Tanpa reaksi apapun, setelah merapikan diri, aku berjalan menuju ruang makan dan duduk di sana.Di depanku telah terhidang sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Sepertinya baru selesai dimasak.Kucicipi dengan ujung sendok. Hmm, enak ternyata. Aku pun lalu memakan nasi goreng buatan Zahra itu dengan lahap meski masih saja memilih mendiamkan istriku itu, supaya Zahra tahu aku masih merasa marah padanya."Mas, untuk siang nanti aku boleh minta tambahan belanja nggak? Rencananya aku mau masak pepes ikan kesukaan Mas. Aku punya uang sepuluh ribu hasil keuntungan jualin barang orang tadi, kurang dua puluh ribu lagi, tambahin ya?" ujar Zahra tiba-tiba sambil menatapku.Aku yang hendak mem
"Den, denger-denger di divisi kamu akan ada karyawan baru lho. Namanya Sinta, ponakan bos besar kita yang baru saja lulus kuliah dari Jakarta. Masih single lho katanya," ucap Rudy, teman sekantor dari divisi lain saat bertemu denganku di kantin kantor.Aku yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulut, sontak menoleh padanya dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.Karyawan wanita baru? Kok aku baru tahu? Padahal bakal ditempatkan di divisi yang sama denganku?"Oh ya? Kamu tahu dari mana?" Aku mengernyitkan dahi."Tahu dong. Aku kan barusan ngadep bos dan beliau cerita kalau bakalan ada keponakannya yang mau masuk kerja dan ditempatkan di divisi kalian."Karyawan baru? Ponakan bos? Hmm, kedengarannya menarik, pikirku.Usai makan, aku segera kembali ke tempat kerja dan tercengang saat melihat seorang wanita berpakaian elegan dan berwajah cantik sedang duduk tak jauh dari tempat duduk Amelia, salah satu staf di divisi HR & GA ini.Ah, apakah gadis muda ini yang disebut-sebut Rudy tadi