Share

Enam

Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (6)

Azmi pulang saat jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas malam. Penampilan lelaki itu tampak kusut dengan rambut dan kemeja yang berantakan.

Bukan kebiasaan baru sebenarnya bagi lelaki itu pulang malam seperti ini, tetapi tetap saja batin Mia merasa sakit setiap kali menyambut suaminya pulang dalam keadaan lelah dan tidak berstamina lagi seperti sekarang ini.

Entah dihabiskan di mana waktu suaminya itu setiap malam. Apakah dihabiskan di coffe shop bersama teman-temannya seperti yang sudah-sudah atau sekarang ganti bersama Mizka seperti laporan Rika, sahabatnya tadi? Ya, bisa saja kebiasaan nongkrong suaminya berubah sejak kenal Mizka. 

"Mas, kamu dari mana?" tak tahan memendam rasa ingin tahu, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari bibir Mia.

Azmi mendengkus keras mendengar pertanyaannya, "ngapain kamu tanya-tanya? Mau ke mana dan ngapain aja aku di luar, apa hakmu ingin tahu? Istri itu diam aja di rumah, nggak usah banyak tanya. Suami pulang bersyukur. Nggak pulang ya udah. Ribet amat!"

"Mas, aku ini istri, bukan pembantu! Tentu saja aku pengen tahu kamu kemana? Sama siapa? Kamu pikir aku budak belian yang nggak punya hak apa-apa sama suami? Gitu?" Tanpa sadar Mia membentak dengan suara keras.

Rasa cemburu dan sakit hati membuat keberaniannya mendadak muncul begitu saja. Ia pun seolah tak bisa mengontrol lagi diri dan emosinya. Ia yang biasanya hanya bisa pasrah saja diperlakukan apa pun oleh suami mertua dan ipar-iparnya, sekarang seolah tak sanggup lagi untuk diam saja menerima perlakuan itu terutama perlakuan Azmi saat ini.

Mendengar ia membentak, Azmi terlihat kaget. Seumur-umur sejak pertama kali menikah, baru kali ini Mia berani membuka mulutnya dengan suara keras. Itu membuatnya terkejut bukan main sekaligus marah.

"Apa maksud kamu bentak-bentak suami seperti itu? Mau dipukul? Selama ini aku memang nggak pernah mukul kamu ya, tapi kalau kamu cari penyakit sama suami, terpaksa aku main tangan!" bentak Azmi tak kalah keras. Sama halnya Mia, saat ini perasaannya juga terbakar emosi mendengar istrinya berani melakukan perlawanan. Hal  yang selama ini nyaris tak pernah dilakukan Mia padanya atau pun keluarganya.

"Silahkan, Mas! Tapi jangan lupa, ini negara hukum. Kalau berani sekali saja kamu nyentuh aku dengan tanganmu, aku nggak akan segan-segan bikin perhitungan ya! Aku bisa diam kamu perlukan layaknya pembantu di rumah ini, bukan hanya kamu, tapi semua anggota keluargamu, ibu dan sodara-sodara kamu! Tapi kalau kamu berani main perempuan dan mengkhianati aku, maka aku nggak akan tinggal diam begitu saja! Camkan itu!"

Ya, rasa cemburu sudah membuat Mia tak bisa lagi mengendalikan emosi. Ia bisa saja pasrah menerima perlakuan bak pembantu di rumah ini seperti yang selama ini sudah terjadi, tapi jika sudah perasaannya sebagai istri sudah dikhianati maka tak akan ada lagi sikap diam dan pasrah yang bisa ia perlihatkan.

Bagi Mia, wanita bisa diam dan sabar saat disakiti tetapi akan bisa diam saat dikhianati. Itu prinsip yang ada dalam benak Mia saat ini.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
bagus Mbak jangan diam lelet atau jadi goblok langsung hadapi dan terus ingatkan resiko apa yang akan di tanggung kalau laki-laki DAJJAL itu main tangan
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mia ngapain bertahan dalam pernikahan yang toxic
goodnovel comment avatar
loetfie iloet
authoor... d 3 bab d awal tulisannya d ulang2... kini giliran ga d ulang babnya pendek banget ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status