Namaku Amat Darsa, seseorang yang tinggal di suatu kampung yang terpencil di daerah Selatan Jawa Barat. Namun semua orang yang mengenal ku memanggilku dengan nama Amat.
Kali ini aku sedang duduk di salah satu ruangan sekolah yang letaknya lumayan jauh dari tempatku tinggal. Dan hari ini pada tanggal 16 Juli 1980 aku baru saja lulus sekolah menengah atas, dan hari ini adalah hari dimana aku diberikan surat kelulusanku.
Di kampung tempat ku tinggal, hanya ada satu sekolah. Yaitu sekolah dasar, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Aku harus berjalan sekitar beberapa kilometer ke kampung sebelah untuk sekolah, melewati persawahan luas dan sungai yang menjadi perbatasan kampung hanya untuk sekolah setiap paginya.
Terlihat, dari total 20 kursi yang ada di kelas tersebut, hanya setengahnya terisi, karena kebanyakan orang-orang yang sepantaranku. Hanya bisa melanjutkan sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama.
Mereka lebih memilih untuk membantu orang tuanya bekerja di ladang atau di sawah, dibandingkan harus melanjutkan sekolah hingga ke tingkat atas. Mengingat biaya yang dikeluarkan sangat besar, dan mereka tidak mampu untuk melanjutkan anaknya sekolah ke jenjang selanjutnya.
Namun, aku diberkahi oleh orang tua yang sanggup menyekolahkanku hingga saat ini. Dan hari ini adalah hari terakhirku duduk di kelas ini, bersamaan dengan sembilan belas orang lainnya yang berasal dari berbagai kampung di sekitar sekolah.
“Amat Darsa!” Ibu Guru memanggilku.
Aku yang sedang duduk di kursi kemudian berdiri dan berjalan mendekati meja guru yang ada di depan, lalu menerima raport sekaligus surat keterangan kelulusan yang diketik oleh mesin tik pada saat itu.
Tidak ada hura-hura atau piknik bersama seperti di sekolah-sekolah lain yang berada di kota, tidak ada pentas seni kelulusan juga yang membuat semua siswa menikmati hari-hari terakhirnya di sekolah. Kita semua hanya menerima raport dan surat keterangan kelulusan. Dan setelah semua terbagi, kita semua membubarkan diri ke rumah masing-masing.
Di kelas itu ada empat orang yang satu kampung denganku, yaitu. Rusdi dan Darman. Juga salah satu adik kelas yang selalu ikut ketika aku pulang, yaitu Parman.
Kita berempat selalu berangkat dan pulang bersama, menyusuri setiap jengkal persawahan yang menghubungkan kedua kampung tempat aku bersekolah dan aku tinggal.
“Eh Mat, setelah lulus mau ke mana?” Kata Rusdi.
“Pengen mah kuliah Rus, tapi ya gimana ya, masih bingung,” Kata ku sembari menyusuri jalanan kecil di pesawahan.
“Iya jangan kan kuliah Mat, kita mah mentok-mentok juga bekerja jadi buruh tani ama orang lain,” Kata Darman.
“Yeuh, tapi gak boleh gitu. Kita ini sudah lulus SMA, minimal kita harus bangga. Tidak seperti anak-anak lain di sekitaran kampung yang sekolahnya nyampe SMP aja,” Kataku mencoba menyemangati mereka berdua.
“Tuh liat si Parman, setelah kita lulus. Hanya dia sendiri yang nantinya sekolah, menyusuri jalanan ini sendirian, gak ada teman-teman seumurannya yang melanjutkan sekolah. Hanya ada dia doang. ” Kataku sembari menepuk-nepuk pundak Parman.
Jalanan yang kulalui sangatlah sulit, tidak ada kendaraan yang bisa ku naiki ketika aku bersekolah. Karena, hanya ada satu angkutan kota yang berjalan dari Kampung Ciwidey menuju Cidaun yang letaknya di ujung Selatan Pulau Jawa melalui jalan provinsi yang masih berbatu. Dan itu juga hanya ada dua kali dalam satu hari, yaitu pagi hari dan sore hari.
Namun karena kampungku harus melalui jalanan yang lebih kecil, sehingga kendaraan tersebut tidak melewati Kampung tempat aku tinggal.
Sehingga, mau tidak mau kita harus berjalan kaki. Melalui pematang sawah yang masih berlumpur. Dan juga jembatan dari bambu yang menjadi satu-satunya jembatan yang menghubungkan dua kampung. Yaitu Kampung Parigi tempat aku bersekolah, dan Kampung Sepuh tempat aku tinggal.
Perjalanan menyusuri persawahan itu memakan waktu kurang lebih satu jam hingga satu jam setengah, menyusuri tiap-tiap jalanan setapak yang becek karena lumpur dan berbatu. Hingga akhirnya masuk ke gang kecil dengan rumah-rumah panggung yang menandakan bahwa kita sudah sampai di Kampung Sepuh.
“Mat saya duluan ya,” Kata Rusdi yang melambaikan tangan kepada kita berempat, karena rumahnya paling dekat dengan persawahan.
Kita bertiga melanjutkan perjalanan dan terus berjalan ke jalanan besar, jalanan yang belum merata dan hanya berisi batu-batu besar dan sangat jarang dilalui oleh kendaraan.
Aku kemudian berbelok ke arah kanan, ke tempat aku tinggal. Yang mana, rumahku terletak paling ujung di Kampung Sepuh ini.
Dan teman-teman yang lain pun perlahan-lahan berpisah dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Tampak dari kejauhan terlihat sebuah warung, warung yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluargaku saat ini. Namun berkat warung itu pula lah, keluargaku sanggup menyekolahkan aku hingga SMA.
Dan disebelahnya ada rumah tempat aku tinggal, dan rumah tersebut adalah peninggalan keluargaku secara turun-temurun dari leluhurku dulu.
“Mat, sini sebenar! ” Teriak Ibu ketika aku terlihat berjalan ke arah rumah.
Aku sedikit berlari menghampiri Ibu yang sedang berjaga, dan akhirnya aku duduk di kursi depan warung sambil menunggu Ibu yang keluar dari dalam warung. Dia tersenyum melihat anak semata wayangnya kini telah lulus sekolah, karena menurutnya itu adalah salah satu pencapaian yang baik dibandingkan anak-anak sebayanya.
“Sini, Ibu mau liat rapormu Mat! ” Kata ibu.
Aku duduk depan Ibu, dan menyerahkan rapor dan surat kelulusan yang baru aku terima. Rasa kini senang terlihat ketika Ibu membaca surat kelulusan yang sudah aku berikan. Karena dia merasa, bahwa kini dia berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA.
Aku bukanlah anak yang pintar, nilai raportku juga seperti layaknya anak-anak biasa. Nilai 70 dan 60 lebih banyak tertulis di raport daripada nilai 80 hingga 100.
Namun, Ibu masih tetap bangga, anaknya sudah bisa menyelesaikan sekolah dan bisa lulus pada hari ini.
Dari kejauhan, terlihat Bapak berjalan dari dalam rumah. Dan menghampiriku yang sedang bersama Ibu di depan warung.
“Kamu hari ini sudah lulus Mat? ” Kata bapak bertanya kepadaku.
Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Bapak pada saat itu.
Bapak memang terkenal cuek dan pendiam dibandingkan dengan Ibu, sehingga aku tidak terlalu dekat dengan Bapak, apalagi Bapak seringkali berbicara seperlunya kepadaku. Sehingga aku yang sudah terbiasa dengan sikap Bapak, hanya mengangguk dan menjawab seperlunya saja.
“Mat, Bapak bersyukur kamu sudah bisa menyelesaikan sekolahmu hingga saat ini,” Kata bapak yang memegang pundakku pada saat itu.
“Namun kita berdua sudah berjanji di depan Ibu ketika kamu mulai masuk SMA, setelah kamu lulus. Kamu akan belajar sesuatu dariku, sesuatu yang mungkin saja di luar perkiraanmu, karena itu menyangkut hidup para warga di Kampung Sepuh ini yang hidupnya di bebankan kepada kita,” Kata bapak.
“Aku tidak akan memberitahukan mu apa-apa, yang pasti sekarang mandi, makan dan datang ke warung ketika sore hari. ”
Aku masih belum mengerti apa yang dikatakan Bapak, namun aku tidak pernah sekalipun menentang atau menanyakan lebih lanjut apabila Bapak dan Ibu sudah berkata seperti itu.
Karena, meskipun Bapak terlihat cuek dan pendiam, namun aku menghormatinya. Karena setiap kali dia melakukan sesuatu kepadaku, pasti ada tindakan baik yang berguna untuku di kemudian hari.
***
Aku baru saja keluar dari MCK (Mandi Cuci kakus) sebuah tempat mandi umum yang ada di kampungku, kampungku tidak seperti di kota, yang mempunyai kamar mandi sendiri tiap rumah, yang ada hanya MCK. Dengan beberapa kamar yang digunakan oleh semua warga kampung secara bergantian.
Awalnya para warga hanya mandi di sungai, namun baru-baru ini ada bantuan dari pemerintah untuk membuat MCK yang bisa dipakai oleh para warga. Para warga bahu membahu membuat aliran air dari bambu yang membentang hingga ke sumber air yang ada di Gunung Sepuh.
Aku pun berjalan menyusuri jalanan setapak menuju rumah, dengan handuk yang masih aku pakai. Dan baju kotor yang aku masukan ke dalam keranjang.
Hari nampaknya sudah mulai sore. Karena, terlihat cahaya matahari yang kemerah-merahan menghiasi Kampung Sepuh dan segala aktivitas para warga di dalamnya. Aku yang sudah bersih hanya duduk di luar warung sambil melihat para warga yang sudah pulang dari sawah dan ladang tempat mereka bekerja.
“Mat! ” Kata Ibuku yang kini sedang sibuk melayani para pembeli untuk membeli sesuatu di warung tiba-tiba memanggilku.
“Coba bantu bukain dus sabun mandi di belakang, sama dus rokok keretek ya. Soalnya di depan habis. ” Kata Ibuku sambil menunjuk ke arah belakang warung.
Aku yang duduk di depan seketika mengangguk dan berlari kecil ke belakang warung, aku membuka beberapa dus sabun mandi dan dus rokok. Dan berlari kecil lagi ke depan warung untuk diserahkan ke Ibu.
Aku sudah terbiasa membantu Ibu ketika sore tiba, dan ketika Bapak yang menggantikan untuk menjaga warung di malam harinya. Aku pulang kerumah bersama Ibu, dan akan kembali keluar rumah pada pagi di hari berikutnya.
Waktu kini semakin sore, cahaya matahari tampaknya sudah tidak bisa mempertahankan cahayanya lagi. Bahkan kini sudah mulai terlihat banyaknya kelelawar yang muncul di langit. Yang menandakan bahwa waktu sebentar lagi akan berganti.
Akhirnya Bapak datang secara tiba-tiba dari arah kebun depan warung. Bapak yang aku kenal memang seringkali keluar rumah dan entah pergi ke mana ketika siang hari. Dan ketika sore tiba, Bapak pasti langsung pulang dan muncul di depan warung, untuk menggantikan Ibu berjaga.
Bapak berjalan secara perlahan, dan duduk tepat di sebelahku. Diapun menoleh ke arahku, dan tanpa basa-basi, dia langsung berkata kepadaku yang pada saat itu masih duduk di depan warung.
“Sudah siap Mat? ” Kata Bapak.
Aku yang masih belum mengerti ucapan Bapak tadi siang hanya mengangguk saja, Bapak kini terlihat sedikit tersenyum ketika aku mengangguk. Dan ketika Ibuku sudah melihat Bapak sudah duduk di depan warung, akhirnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah berkata kepada Bapak yang sedang berdiri sambil merokok di dekatku.
“Ja... Jaga Amat malam ini ya Pak! ” Kata Ibuku sambil berjalan keluar.
Namun aku melihat ada hal yang aneh pada Ibuku kali ini, seperti ada sesuatu kesedihan yang dia coba tahan agar tidak terlihat olehku. Ibu berkata dengan nada yang terbata-bata kepada Bapak, sehingga aku mengetahui keanehan itu darinya.
Bapak hanya menepuk pundak Ibu dan mengangguk, tanpa sekalipun menjawab atas apa yang dia katakan. Dan akhirnya, ketika malam tiba, sudah menjadi jadwal Bapak yang menjaga warung hingga pagi tiba.
Warung yang tidak pernah sekalipun tertutup dari semenjak aku kecil hingga saat ini, warung yang menjadi sumber kehidupan bagi keluargaku, dan warung yang memenuhi kebutuhan kampung hingga hari ini.
“Mat! ” Tiba-tiba aku dipanggil oleh Bapak.
“Coba tutup matamu sebentar, ada yang harus bapak lakukan dan kamu tidak perlu tahu akan hal itu. ”
Aku lagi-lagi tidak mengerti apa yang Bapak lakukan, karena bapak menurutku adalah orang yang aneh.
Dia sering melakukan hal yang menurutku tidak wajar, namun di mata Ibu dan warga kampung, Bapak adalah orang yang sangat dihormati, sehingga aku pun mau tidak mau harus menuruti apa yang dia perintahkan, karena aku tahu, ada sesuatu hal yang baik dibalik itu semua.
Aku pun akhirnya memejamkan mata, tidak ada pikiran apa-apa tentang apa yang bapak lakukan pada malam itu.
Suasana menjadi hening ketika aku memejamkan mata. Dengan suara langkah kaki Bapak yang terdengar olehku seperti mondar-mandir di depanku pada saat itu. Entah apa yang dia lakukan kali ini, namun aku hanya menurutinya saja karena itu adalah perintah.
Waktu terus berlalu. Tak terasa, sudah hampir tiga puluh menit aku memejamkan mata. Namun, tidak ada perintah dari Bapak untuk membuka mata. Bahkan kini, suara langkah kaki Bapak kini seperti tidak terdengar lagi.
Aku bingung, aku yang masih terpejam karena Bapak belum memerintahkanku untuk membuka mata hanya bisa terdiam. Malah, aku mulai merasakan banyaknya hal aneh yang berubah yang terasa oleh tubuhku pada saat ini.
Empat puluh menit berlalu, aku kini merasakan hembusan angin dingin yang luar biasa dari arah kiri, juga suara-suara daun yang terdengar olehku pada saat itu.
Karena situasinya semakin aneh, aku akhirnya membuka mataku secara perlahan. Dan ketika aku membuka mataku....
Aku benar-benar kaget dan panik dengan apa yang aku lihat pada malam itu, bagaimana tidak. Apa yang ada di depanku bukanlah warung tempat aku duduk tadi, melainkan aku berada di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi dan kondisi gelap gulita.
Hanya sinar dari cahaya bulan pada saat itu yang menjadi penerang satu-satunya ditempat aku duduk sekarang, meskipun cahayanya tidak menembus semua pepohonan yang ada di tempat itu.
Suasana malam yang awalnya tenang karena berada di depan warung, secara tiba-tiba berubah menjadi suasana yang mencekam, apalagi aku tidak dibekali oleh penerangan apa pun pada malam itu.
“Di mana ini? ” Pikirku sambil aku melihat sekelilingku.
Rasa panik, takut, khawatir tiba-tiba muncul begitu saja. Aku tidak tahu apa yang bapak lakukan, namun aku kini berada di tengah-tengah hutan yang gelap dengan banyaknya pohon yang menjulang tinggi di semua tempat.
Aku pun sedikit menunduk, dan melihat secarik kertas sobekan dari buku kas yang ada di warung. Dengan tulisan pulpen yang sering Ibu pakai ketika dia mencatat utang dari para warga yang mengambil dagangan di warung.
Di secarik kertas itu tertulis sebuah kalimat, sebuah kalimat yang sengaja ditulis oleh Bapak untukku pada malam itu.
PULANGLAH KE KAMPUNG SECEPAT MUNGKIN, ATAU BERTAHANLAH HINGGA PAGI TIBA DI HUTAN INI.
KARENA KAMU TIDAK AKAN TAU, APA YANG AKAN TERJADI APABILA KAMU TERLALU LAMA BERDIAM DIRI DI TEMPAT INI.
Kampung Sepuh, sebuah kampung yang berada di pegunungan di daerah Selatan Jawa Barat. Kampung kecil yang dihuni oleh beberapa puluh rumah dengan akses jalan yang sangat sulit untuk dilalui.Meskipun di tahun ini Kampung Sepuh sudah mulai berbenah diri, namun pada tahun 1980 an. Kampung ini sangatlah terisolir, tidak ada listrik di tiap rumah, jalanan yang masih berbatu, juga Akses yang sangat sulit dicapai.Bahkan para warga Kampung Sepuh, harus rela berjalan beberapa kilometer hanya untuk pergi ke pasar atau ke Kantor Desa yang berada di Kampung sebelah.Untuk ke kota saja, para warga kampung harus menempuh waktu selama delapan jam lamanya, dengan jalanan yang cukup terjal dengan banyak hutan dan gunung yang harus dilewati agar bisa sampai ke kota besar.Namun pesona Kampung Sepuh di mata beberapa orang adalah suatu tempat yang harus mereka tuju, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kesulitan dalam hidupnya. Dan ingin memakai cara yang mungkin saja b
Gelap dan sunyi, itulah gambaran Kampung Sepuh pada tahun 1980 an. Tidak ada listrik sama sekali di kampung sepuh pada tahun itu. Sehingga, hanya lampu minyak, lilin dan petromax yang menemani malam para warga kampung seumur hidupnya.Tidak ada gemerlap lampu-lampu yang berjejer di depan rumah, tidak ada suara lalu lalang kendaraan dengan lampu-lampunya yang menyilaukan mata, juga tidak ada lampu senter yang setia menemani para warga ketika akan bepergian.Sehingga Kampung Sepuh terlalu sunyi dan sepi. Hanya cahaya bulan dan bintang-bintang saja yang menemani suasana malam mereka, dan itu terus-menerus berlanjut hingga pagi tiba.Meskipun begitu, tampaknya ada satu titik cahaya kecil. yang menerangi tempatnya setiap malam, sebuah titik cahaya yang terang dari lampu minyak yang disimpan di luar. Sehingga cahaya tersebut terlihat dari kejauhan, di mana rumah di sekitar mereka gelap gulita. Dan hanya ada cahaya yang terlihat dari sela-sela bilik bambu dan kayu yang
Hah hah hahJantungku berdegup sangat kencang, keringat dingin membasahi tubuhku hingga membuat pakaianku basah kuyup akibat keringat yang keluar dari tubuhku pada malam itu.Sudah lima kali aku berlari, mencoba menjauhi tempat yang aku tempati sekarang. Namun, aku kembali lagi ke tempat ini dengan perasaan takut terus-menerus menghantuiku saat ini.Hutan Gunung Sepuh semakin malam semakin gaduh, suara-suara hewan malam kini saling bersahutan. Mereka saling berirama satu sama lain, memainkan simponi yang mencekam apabila di dengarkan oleh manusia yang terjebak di dalamnya.Angin malam yang entah dari mana seringkali berhembus ke arahku, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di tanah di sekitar pepohonan hutan yang gelap dan menyeramkan itu.Disaat orang-orang sedang terlelap tidur dengan hangat nya selimut mereka, aku harus merasakan kedinginan dan rasa putus asa yang semakin membuat aku bingung dan sedih di tempat ini."Apa mungkin
Apabila kita sedang tersesat di dalam hutan ketika malam hari, kita biasanya melihat beberapa titik-titik cahaya. Sebuah titik-titik cahaya suatu kampung dari kejauhan, yang bisa menjadi petunjuk arah ketika kita sedang tersesat.Namun berbeda dengan hutan Gunung Sepuh, satu-satunya kampung yang paling dekat dengan hutan tersebut adalah Kampung Sepuh. Yang di mana, kampung tersebut sangatlah gelap pada malam hari.Tidak ada satu pun manusia yang sengaja menyalakan lampu minyaknya di depan rumah, juga menyalakan obor-obor di pinggir jalan untuk menerangi jalanan.Mereka hanya menyalakan lampu minyak dan petromak di dalam rumah, dan tidak sekalipun berani untuk menyalakan cahaya-cahaya itu di luar rumahnya.Apalagi cahaya-cahaya yang muncul di Gunung Sepuh selain cahaya bulan yang muncul secara tiba-tiba di tengah gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama adalah cahaya tersebut muncul dari senter-senter ma
Srak srak srakSuara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan di sisi dan kanan jalan.Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang a
Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap. Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan. “Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya. Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan m
Sebuah lampu minyak yang menyala terang dengan cahayanya yang kemerah-merahan membuat suasana di dalam gubuk itu terasa seperti rumah-rumah di Kampung Sepuh pada umumnya.Kini, aku terlihat sedang lahap memasukan potongan-potongan daging ke dalam mulutku. Dengan lahap aku terus-menerus memakan makanan yang disajikan oleh nenek tersebut, seorang nenek yang baik yang mengajakku untuk beristirahat dari gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Suara barang-barang yang saling beradu terdengar olehku dari ruangan belakang, sepertinya nenek tersebut sedang menyiapkan sesuatu lagi untukku. Dan di dalam hatiku, aku pasti akan kembali ketempat ini ketika sudah bisa pulang ke rumahku, dan membawa bahan makanan serta selimut hangat untuk nenek itu sebagai tanda terima kasih karena sudah menampungku pada malam ini.Makanan yang nenek itu sajikan terlihat sangatlah lezat, dengan kepulan asap kecil yang terlihat oleh lampu minyak yang ada di tengah-tengah ruangan tersebu
Hoeek Hoeeek HoeeekAku kini terus-menerus memuntahkan semua makanan yang telah aku makan, meskipun tidak semuanya keluar karena sebagian dari makanan itu tampaknya sudah sampai ke dalam perutku.Tikar yang menjadi alas dari ruangan itu kini penuh dengan muntahan-muntahan makanan yang bercampur dengan darah yang berwarna merah tua yang dikeluarkan kembali dari dalam mulutku.Ketika semua makanan yang kini tersinari oleh cahaya lampu minyak dari dekat, seakan-akan makanan dan minuman itu berubah sepenuhnya.Buah-buahan seperti apel, pir, dan pisang kini terlihat busuk, dengan banyaknya titik hitam di sekitar buah-buahan tersebut. Bahkan sebagian dari buah-buahan itu terlihat berjamur, saking lamanya buah-buahan itu tersimpan dan tidak tersentuh satu kalipun oleh manusia.Juga minuman yang aku minum kini seketika berubah, menjadi cairan darah kental yang dituangkan di dalam gelas, dan aku sudah meminum setengahnya dari gelas tersebut.“J