Share

KUTUKAN LELUHUR
KUTUKAN LELUHUR
Penulis: pujangga manik

BAB 1-KEMATIAN

Tubuhku sekarang lemas dan tidak berdaya, penyakit yang selama ini menggerogotiku semakin hari semakin bertambah parah. Aku hanya bisa terbaring lemas di sebuah kasur di dalam rumah, meskipun banyak yang datang dan pergi setiap harinya untuk sekadar menjengukku. Namun rasanya aku begitu hampa.

Sudah hampir satu minggu, aku tidak menjalani tanggung jawab yang aku emban. Tanggung jawab yang diturunkan turun-temurun dari kakekku, semua apa yang ku pelajari ternyata menjadi duri pada akhirnya.

Memang, kakek dan kakek buyutku pernah mengalami kejadian serupa yang aku alami sekarang sebelum dirinya melepaskan nyawanya dengan susah payah, dan hal itu juga yang aku khawatirkan pada diriku sekarang ini.

Sehingga aku tidak ingin mengajarkan apa yang sudah aku pelajari dari Bapak hingga saat ini, kepada anak semata wayangku yang saat ini sedang kuliah di kota besar. Menggapai cita-citanya setinggi langit, tanpa harus terjebak oleh rutinitas dan tanggung jawab yang diemban olehku.

Aku sengaja tidak memberinya kabar, dia tidak tahu kabarku kalau bapaknya sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di atas kasur pada saat ini.

Apakah aku akan meninggal sekarang, meninggalkan semua yang telah aku lakukan dengan hasil yang masih belum tentu. Aku hanya bisa berharap bahwa tanggung jawab ini akan hilang seiring berjalanya waktu, dan istriku bisa menjalani kehidupannya sesudah aku tiada.

Aku juga berharap bahwa anakku bisa membawa ibunya tinggal di kota besar, menjalani hari-harinya tanpa sekalipun terbebani atas apa yang aku alami sekarang.

Karena aku lelah atas misteri yang mengelilingi hidupku ini, dan menjalani hidup yang sangat berbeda dengan orang lain.

Aku ingin anakku tidak mengikuti jejakku, semua yang aku dapatkan dari kakeknya tidak akan aku turunkan kepada anakku satu-satunya. Karena, dia tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang leluhurnya perbuat dahulu.

“Buuuu, Ibuuuu! ”

Cough, Cough.

Drap drap drap

Terdengar langkah kaki istriku yang berlari-lari kecil dari depan pintu untuk menghampiriku, wajahnya tampak panik setiap harinya. Melihat ku yang sakit parah dan hanya bisa tertidur di atas kasur di tengah rumah.

“Iya ada apa Pak, Bapak butuh sesuatu? ” Kata istriku.

Cough, cough.

“Bu, sepertinya ada sesuatu hal yang harus aku bilang. Sepertinya waktuku tidak lama lagi, keilmuan ku ternyata memperlambat umurku hingga batinku tersiksa, aku harus melepaskan keilmuan yang aku pelajari dari leluhurku. Yang diajarkan secara turun-temurun. ”

“Namun, aku khawatir. Ketika aku melepas semuanya, aku takut nyawaku akan ikut hilang. Bersama dengan hilangnya keilmuan yang aku pelajari, " Kataku kepada istriku yang sedang duduk di depanku.

Kulihat istriku hanya terdiam melihat aku berbicara seperti itu. Namun terlihat, perlahan-lahan sebuah tetesan air mata mengalir dari matanya dan jatuh ke tanganku yang dia pegang.

Aku pun tak kuasa menahan sedih melihat istriku yang seperti ini. Namun, memang ini sudah batasku, aku tidak bisa hidup lebih lama. Untuk menemukan sesuatu yang belum aku pecahkan selama ini.

“Jaga Ujang ya Bu, jangan sampe Ujang harus mengemban apa yang sudah aku lakukan selama ini. Biarkan dia hidup seperti layaknya anak muda yang lain.”

 “Aku tidak ingin Ujang terjebak seperti ku, bertanggung jawab atas apa yang tidak dia perbuat semasa hidupnya. ”

“Dan akhirnya harus berakhir mengenaskan seperti aku pada saat ini, dan hal itu juga yang terjadi pada kakeknya Ujang dan leluhurnya. ”

“Kasih tahu saja ketika aku sudah tiada Bu, dan jangan biarkan dia pulang sebelum dia menyelesaikan kuliahnya. Jangan sampai kabar duka ini mengganggu kuliahnya kelak, karena pasti dia tidak akan fokus apabila kabar duka ini terdengar olehnya. ”

Tap, tap, tap

“Amaatt! ”

Seseorang berteriak dari arah depan rumah, dan terlihat Aki Karma yang terengah-engah berlari dari arah luar setelah dia memarkirkan kendaraan di depan warung.

“Mat, kunaon maneh? (kenapa kamu? )”

“Aduh, kenapa sampe bisa parah gini? ” Kata Aki Karma yang panik melihat sahabatnya yang terbujur tidak berdaya di atas kasur.

Aku hanya bisa tersenyum melihat Aki Karma, seorang sahabat yang senantiasa membantuku dan istriku ketika aku perlu sesuatu. Sebagai rasa budi yang dia rasakan ketika dia terjebak di Gunung Sepuh beberapa tahun yang lalu. Dan kali ini, dia menjadi sahabat sekaligus teman berdiskusi apabila ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan tentang Kampung Sepuh. Kampung yang aku tinggali saat ini.

“Ki, dah pulang? Katanya ada keperluan dua minggu ini di kota. ” Kataku sambil tersenyum ke Aki Karma.

“Aku pulang karena mendengar kabar tentangmu Mat. "

“Mat, kita ke dokter yuk, kita ke rumah sakit. Biar aku nyari dana ke teman-temanku yang ada di kota, yang pasti kamu harus sehat dulu, ” Katanya yang tampak panik.

Namun, aku hanya menggelengkan kepala. Penyakit ini datang bukan tanpa sebab, seharusnya aku sudah tiada saat ini, namun ada suatu keilmuan pada diriku yang membuat aku masih bisa tersadar. Meskipun badanku sudah seperti mayat.

“Bu tolong berikan foto itu kepada Aki Karma. ” Kataku sambil menunjuk ke arah tumpukan dus-dus yang ada di atas lemari, dengan tangan yang gemetar tak karuan.

“Foto yang mana Pak? ” Kata ibu sembari berjalan ke arah lemari itu, rasa sedih masih terlihat dari raut wajah istriku. Karena mungkin hari ini, adalah hari di mana dia bertemu denganku terakhir kalinya.

“Foto usang yang diturunkan dari leluhurku Bu,” Kataku.

Istriku menurunkan dus-dus dari atas lemari, mencoba mencari-cari foto yang sudah aku ucapkan.

Sebuah foto usang yang diturunkan turun temurun dari leluhurku, dan akibat foto itu juga. Aku sudah menjelajahi banyak tempat sekitar kampung dan Gunung Sepuh.

Sebuah misteri yang harus aku pecahkan, namun akhirnya sia-sia. Karena aku tidak menemukan petunjuk apapun hingga saat ini. Semuanya terasa buntu, bahkan aku merasa putus asa dan merasa lelah.

“Ini Pak,” Kata ibu sambil menyodorkan.

Aku hanya mengangguk dan menyuruhnya untuk memberikan foto itu kepada Aki Karma yang ada di sebelah istriku.

“Ki, bisa kamu jaga foto itu. Aku tidak yakin sebenarnya, menjauhkan Ujang dari tanggung jawab yang harus dia emban. Namun, apabila apa yang aku harapkan tidak terjadi dan Ujang datang kembali ke kampung ini, berikan foto itu sebagai petunjuk atas apa yang harus dia lakukan. ”

“Masalah Ujang akan menerima atau tidak, biarkan dia sendiri yang memutuskan. Karena dia sudah dewasa. ” Kataku.

“Aku sekarang akan melepas semua keilmuanku sekarang. Semua keilmuan yang aku pelajari dan akhirnya malah membuat aku menderita, aku akan keluarkan semua.”

“Namun ketika nyawaku ikut terlepas, berarti sudah saatnya aku pergi. Karena seharusnya seminggu yang lalu aku sudah tiada, namun karena keilmuanku, aku masih tersadar,” Kataku kepada istriku dan Aki Karma.

Istriku hanya menunduk namun tetesan dari air mata mengalir dengan rasa sedih yang mendalam, begitu pula sahabatku yang ada di sisinya. Dia seperti menahan rasa sedihnya karena di depannya adalah sahabat satu satunya ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh ini.

Akhirnya aku merapalkan beberapa mantra, mantra yang aku pelajari sewaktu muda. Demi bekal untuk menjalankan tanggung jawabku semasa aku hidup.

Sakit, tubuhku terasa sangat sakit. Namun, aku harus melepaskan semua keilmuan yang aku miliki sekarang. Dan semakin lama, aku semakin lemas dan tidak berdaya.

Mataku berkunang-kunang dan perlahan-lahan pandanganku tidak jelas, namun memang ini yang harus aku lakukan. Dan akhirnya aku tersenyum kepada mereka berdua, sebelum Mataku tertutup sepenuhnya di depan mereka berdua.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Adine Paramesthi
gk suka part yg mengulang2. sdh di bahas di bahas lg
goodnovel comment avatar
Muhammad Reza
sedihh banget
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
Baru bab 1 udah sedih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status