Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Tubuhku sekarang lemas dan tidak berdaya, penyakit yang selama ini menggerogotiku semakin hari semakin bertambah parah. Aku hanya bisa terbaring lemas di sebuah kasur di dalam rumah, meskipun banyak yang datang dan pergi setiap harinya untuk sekadar menjengukku. Namun rasanya aku begitu hampa.Sudah hampir satu minggu, aku tidak menjalani tanggung jawab yang aku emban. Tanggung jawab yang diturunkan turun-temurun dari kakekku, semua apa yang ku pelajari ternyata menjadi duri pada akhirnya.Memang, kakek dan kakek buyutku pernah mengalami kejadian serupa yang aku alami sekarang sebelum dirinya melepaskan nyawanya dengan susah payah, dan hal itu juga yang aku khawatirkan pada diriku sekarang ini.Sehingga aku tidak ingin mengajarkan apa yang sudah aku pelajari dari Bapak hingga saat ini, kepada anak semata wayangku yang saat ini sedang kuliah di kota besar. Menggapai cita-citanya setinggi langit, tanpa harus terjebak oleh rutinitas dan tanggung jawab yang diemban
Namaku Amat Darsa, seseorang yang tinggal di suatu kampung yang terpencil di daerah Selatan Jawa Barat. Namun semua orang yang mengenal ku memanggilku dengan nama Amat.Kali ini aku sedang duduk di salah satu ruangan sekolah yang letaknya lumayan jauh dari tempatku tinggal. Dan hari ini pada tanggal 16 Juli 1980 aku baru saja lulus sekolah menengah atas, dan hari ini adalah hari dimana aku diberikan surat kelulusanku.Di kampung tempat ku tinggal, hanya ada satu sekolah. Yaitu sekolah dasar, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Aku harus berjalan sekitar beberapa kilometer ke kampung sebelah untuk sekolah, melewati persawahan luas dan sungai yang menjadi perbatasan kampung hanya untuk sekolah setiap paginya.Terlihat, dari total 20 kursi yang ada di kelas tersebut, hanya setengahnya terisi, karena kebanyakan orang-orang yang sepantaranku. Hanya bisa melanjutkan sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama.Mereka lebih memilih un
Kampung Sepuh, sebuah kampung yang berada di pegunungan di daerah Selatan Jawa Barat. Kampung kecil yang dihuni oleh beberapa puluh rumah dengan akses jalan yang sangat sulit untuk dilalui.Meskipun di tahun ini Kampung Sepuh sudah mulai berbenah diri, namun pada tahun 1980 an. Kampung ini sangatlah terisolir, tidak ada listrik di tiap rumah, jalanan yang masih berbatu, juga Akses yang sangat sulit dicapai.Bahkan para warga Kampung Sepuh, harus rela berjalan beberapa kilometer hanya untuk pergi ke pasar atau ke Kantor Desa yang berada di Kampung sebelah.Untuk ke kota saja, para warga kampung harus menempuh waktu selama delapan jam lamanya, dengan jalanan yang cukup terjal dengan banyak hutan dan gunung yang harus dilewati agar bisa sampai ke kota besar.Namun pesona Kampung Sepuh di mata beberapa orang adalah suatu tempat yang harus mereka tuju, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kesulitan dalam hidupnya. Dan ingin memakai cara yang mungkin saja b
Gelap dan sunyi, itulah gambaran Kampung Sepuh pada tahun 1980 an. Tidak ada listrik sama sekali di kampung sepuh pada tahun itu. Sehingga, hanya lampu minyak, lilin dan petromax yang menemani malam para warga kampung seumur hidupnya.Tidak ada gemerlap lampu-lampu yang berjejer di depan rumah, tidak ada suara lalu lalang kendaraan dengan lampu-lampunya yang menyilaukan mata, juga tidak ada lampu senter yang setia menemani para warga ketika akan bepergian.Sehingga Kampung Sepuh terlalu sunyi dan sepi. Hanya cahaya bulan dan bintang-bintang saja yang menemani suasana malam mereka, dan itu terus-menerus berlanjut hingga pagi tiba.Meskipun begitu, tampaknya ada satu titik cahaya kecil. yang menerangi tempatnya setiap malam, sebuah titik cahaya yang terang dari lampu minyak yang disimpan di luar. Sehingga cahaya tersebut terlihat dari kejauhan, di mana rumah di sekitar mereka gelap gulita. Dan hanya ada cahaya yang terlihat dari sela-sela bilik bambu dan kayu yang
Hah hah hahJantungku berdegup sangat kencang, keringat dingin membasahi tubuhku hingga membuat pakaianku basah kuyup akibat keringat yang keluar dari tubuhku pada malam itu.Sudah lima kali aku berlari, mencoba menjauhi tempat yang aku tempati sekarang. Namun, aku kembali lagi ke tempat ini dengan perasaan takut terus-menerus menghantuiku saat ini.Hutan Gunung Sepuh semakin malam semakin gaduh, suara-suara hewan malam kini saling bersahutan. Mereka saling berirama satu sama lain, memainkan simponi yang mencekam apabila di dengarkan oleh manusia yang terjebak di dalamnya.Angin malam yang entah dari mana seringkali berhembus ke arahku, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di tanah di sekitar pepohonan hutan yang gelap dan menyeramkan itu.Disaat orang-orang sedang terlelap tidur dengan hangat nya selimut mereka, aku harus merasakan kedinginan dan rasa putus asa yang semakin membuat aku bingung dan sedih di tempat ini."Apa mungkin