Anakku Bermain dengan Siapa?

Anakku Bermain dengan Siapa?

By:  Rahma La  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
31Chapters
2.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Setelah meninggalnya anakku, ada misteri di balik semuanya. Aku dihantui oleh sosok hitam. Mungkinkah anakku masih hidup? Atau dia sudah tiada? ***

View More
Anakku Bermain dengan Siapa? Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
31 Chapters
Ketukan di Kamar Anakku
"Kasihan, ya. Mayatnya sampai gak berbentuk kayak gitu. Serem lihatnya."Terdengar bisikan tetangga. Bukan satu kali lagi aku dengar. Sudah banyak. Itu bukan bisikan, tapi terang-terangan.Aku masih terisak, membiarkan Mas Dion—suamiku menerima tamu. Meskipun sudah selesai pemakaman, tapi rasa sesak itu masih ada. Aku mengusap pipi. Menatap ke arah lain. "Via, ayo ke kamar. Udah sore. Tamu juga udah pulang semua."Aku menatap Mas Dion. Dia tersenyum padaku. Tidak ada rasa sedih di matanya. Ah, atau dia hanya berpura-pura di hadapanku?"Tapi Kia gimana, Mas? Dia sendirian di sana."Mas Dion memelukku. "Kia udah bahagia di sana, Sayang. Sudah, ya. Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit."Benar kata Mas Dion. Masih ada Tifa—anak keduaku yang butuh kasih sayang. Ah, aku tidak bisa terlalu terlarut dalam kesedihan. "Mas ke rumah sakit sebentar, ya. Jenguk Mama dulu. Kamu jangan kemana-mana, Sayang. Sama Tifa aja di rumah."Aku menganggukkan kepala. Mengantar Mas Dion ke depan. "Jan
Read more
Lemparan Batu
"Kia yang tenang di sana, ya, Nak. Jangan ganggu siapa-siapa di sini. Mama udah ikhlas, Nak." Jantungku berdegup kencang sekali. Napasku tersengal. Sekilas, ada bayangan anak kecil di kamar Kia.Tanganku memegang erat pintu. Menutup mata dengan satu tangan. Jujur saja, ini menakutkan. "Mama? Mama kenapa teriak-teriak?" Eh? Aku membuka mata. Mendapati Tifa yang berdiri di hadapanku. Depan kamar Kia. Aku mengusap dada. Langsung menggenggam tangan Tifa keluar dari kamar Kia. "Tifa ngapain ke kamar Kak Kia, Sayang?" Baru saja ditinggal sebentar ke ruang tamu, Tifa malah pergi ke kamar Kia. Harusnya, ada saudara yang menemaniku. Sayangnya, semua bilang pada sibuk. Banyak alasan, langsung pulang setelah Kia dimakamkan. Mas Dion juga harus menjaga Mamanya yang dirawat di rumah sakit, karena serangan jantung ringan. Mama langsung sakit, ketika mendengar kabar Kia meninggal. Jadinya, tidak ada yang membantuku di sini. Menjaga dan mengurus Tifa sendirian. "Ayo, Tifa tidur. Udah malam
Read more
Surat Misterius di Kamar Kia
"Kamu bicara sama siapa, Sayang?" Aku menoleh. Mendapati Mas Dion yang berdiri di depan pintu kamar Kia. "Tadi aku bicara sama—"Pandanganku kembali beralih ke luar jendela kamar. Tidak ada siapa pun di sana. "Sama siapa?" Tidak. Aku menggelengkan kepala. Tadi, jelas-jelas aku melihat Kia. Dia tersenyum padaku. Berdiri di depan jendela kamar. Ah, atau ini hanya halusinasiku? Aku mengusap wajah, lalu berbalik. Memasang wajah biasa saja, agar Mas Dion tidak khawatir. "Kamu udah selesai sarapan, Mas?""Belum. Berhenti gara-gara kamu bicara sama orang."Aku tersenyum tipis. Menutup pintu kamar Kia. Berjalan di belakang Mas Dion. Hari ini, pembantuku datang. Membantu untuk tahlilan nanti malam. Sebelumnya, sedang pulang kampung. Aku menatap kursi yang biasanya setiap pagi ditempati oleh Kia. Sekarang, kursi itu kosong. "Mama." Astaghfirullah. Aku terlonjak. Sedikit kaget, ketika melihat Kia sekilas duduk di kursi itu. "Kenapa, Via?" Aku mengusap wajah, kemudian menggelengkan k
Read more
Anak Kecil di Luar Rumah
"Siapa yang melempar kertas ini?" Aku mencium kertas itu. Bau amis. Benar, ini ditulis menggunakan darah. Masih baru sekali. Kejadian tadi pagi teringat kembali. Saat piring Mas Dion ada darahnya. Aku bergidik ngeri. "Kia benci Papa?" Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Sedikit aneh. Apa maksudnya? Atau malah ada yang mengisengi keluargaku?Aku mengusap wajah, melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. "Mama, Mama."Eh? Aku buru-buru berjalan ke ruang keluarga. Tifa barusan memanggilku. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil jongkok, menatap Tifa yang sedang bermain boneka. Tifa menunjuk-nunjuk lantai. Aku mengernyit, menatap jejak kaki seukuran anak kecil. Jejak kaki itu seperti bekas tanah. Aku mencolek bekas jejak kaki itu, menciuminya. Benar, itu bekas tanah. Tapi siapa yang berani masuk ke ruang keluarga? Lalu ini jejak anak kecil?***Terdengar ketukan pintu di depan. Aku buru-buru keluar dari kamar Tifa. Membukakan pintu. "Assalammualaikum, Adek."
Read more
Misteri Kantong Hitam di Kamar Mandi
"Mama, Kia sakit."Terdengar rintihan itu lagi. Aku menutup mulut, pandanganku tak lepas menatap anak kecil itu. Siapa anak kecil ini? Kenapa pakaiannya penuh dengan darah?"Tolong, Ma. Sakit."Aku mundur satu langkah. Menelan ludah, menatap anak kecil yang terus merintis itu. Suaranya suaranya benar-benar mirip dengan Kia.Ah, apakah janji hanya halusinasiku? Atau anak ini benar-benar nyata? Tapi siapa dia? Kenapa ada di depan rumahku?Dengan langkah pelan, aku mendekat. Menatap anak kecil itu cukup lama. Dia terus-terusan meringis. Aku mengusap tengkuk, mengedarkan pandangan sebentar. Tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, tetangga yang biasanya ramai di jalan, tidak ada. Gemetar tanganku terangkat, hendak menepuk pundak anak kecil ini. Dari postur tubuhnya, mirip sekali dengan Kia. "Tolongin Kia, Mama."Tubuhku menegang mendengarnya. Kia? Mama? Belum sempat aku menjawab, ada kucing yang lompat ke wajahku. Dia hampir mencakar. Menatapku galak.Aku langsung berdiri setelah terje
Read more
Misteri Guru Kia
"Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. "Pakaian Mas Dion." Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang d
Read more
Ikat Pinggang Bercak Darah
"Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. "Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? "Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, a
Read more
Kia Masih Hidup?
"Bukunya akhirnya ketemu juga. Bibi ketemu di mana?" tanyaku sambil membereskan mainan Tifa."Di bawah kolong tempat tidur, Bu. Saya juga gak tahu kenapa Non Kia meletakkan buku hariannya di sana." Bi Jem menatapku, menjelaskan dimana dia mendapatkan buku harian milik Kia. Aku mengangguk, menyuruh Bi Jem kembali ke dapur. Aku meletakkan mainan Tifa ke atas meja, kemudian duduk di tempat tidur. Tifa sedang anteng. Pelan sekali aku membuka halaman pertama. Kosong, tidak ada tulisan apa pun. Aku membuka halaman kedua. Ada foto Kia, sedang tersenyum di sana. Setelah halaman pertama, aku membuka halaman kedua. Kosong juga, tidak ada apa pun. Halaman ketiga juga begitu, aku menggaruk kepala, bingung dengan buku harian ini. "Kakak, kakak." Eh? Aku menoleh ke Tifa yang berteriak barusan. Pandanganku teralih ke arah yang ditunjuk oleh Tifa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sampai di halaman terakhir, aku menemukan foto Kia dan Bu Widya. Mereka berfoto bersama. Ada senyuman, tapi terlihat k
Read more
Hubungan Misterius Mas Dion dan Widya
"Kia? Siapa Kia?" tanyanya sambil menoleh padaku. Aku mengernyit. Sosok di hadapanku ini bukan halusinasi, dia nyata. Namun, kenapa Kia tidak mengenalku?"Sayang, kamu lagi sama siapa?" tanya seseorang yang datang dari arah lain. Aku mengernyit, bergantian memandang Kia dan wanita paruh baya itu. "Gak tahu, Bu. Tiba-tiba datang."Wanita paruh baya itu menatapku aneh, dia langsung memegang kursi roda Kia. Dia melihatku seperti penjahat saja. "Maaf, ya, Bu. Kami orang susah, gak punya apa-apa. Jadi, jangan culik anak saya." Benar saja. Aku menatap Kia lekat-lekat, dia anakku. Tidak salah lagi, pandanganku teralih ke wanita paruh baya itu, siapa wanita ini? Kenapa Kia seolah-olah tidak mengenalku?"Saya dan anak saya permisi." Ibu itu membawa Kia pergi. Aku menatap ruangan yang dimasuki mereka. Sungguh, aku yakin sekali. Anak itu adalah Kia, aku akan bilang pada Bang Gery dulu. Saat ini, tidak ada bukti yang jelas, apalagi aku hanya sendirian. Ada perawat yang lewat. Aku buru-buru
Read more
Nenek Widya Tahu Sesuatu?
"Sering banget Kak Widya cerita sama aku, dia tersiksa terus-terusan. Dia depresi." Aku terdiam membaca kalimat terakhir di buku itu dan juga kalimat bertinta merah darah. Mas Dion menghancurkan hidup Bu Widya? Apa hubungannya? Apakah Bu Widya punya masa lalu dengan Mas Dion? Ah, besok aku harus mengunjungi rumah Bu Widya. Bertanya pada keluarganya. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, harus secepatnya. Misteri ini. Sedikit demi sedikit, semuanya mulai terbongkar. Ya, tidak usah terlalu cepat. Yang penting terbongkar semuanya. Kalau benar Mas Dion di balik kasus pembunuhan Bu Widya, aku tidak akan tinggal diam. Ya, semuanya harus diusut sampai tuntas. ***Ponselku berdering saat sedang sarapan. Mas Dion hari ini sudah mulai bekerja. Cutinya selesai. Mas Dion bekerja di sebuah perusahaan, dia jadi mandor. "Aku angkat telepon dulu, Mas."Dari kepolisian. Aku mengangkat teleponnya di dapur. Menyapa duluan, sepertinya ada kabar baik. "Selamat pagi, Bu. Ini Bu Via? Orang tua dari Ananda
Read more
DMCA.com Protection Status