Share

BAB 8-GUBUK

Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap.

Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan.

“Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya.

Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan membuatku tersadar kembali.

"Hayu asup Cu! (Yuk masuk Cu!) "

“Oh iya Nek, ” kataku sambil kembali berjalan mendekati gubuk tua tempat nenek tinggal.

Nenek tersebut kembali tersenyum, tidak ada aura yang mencoba menekanku dan membuatku ketakutan seperti para makhluk yang menampakan dirinya kepadaku beberapa saat yang lalu.

“Hapunten nya Cu, sa aya-aya we ieu mah tempat na, kumaha atuh da, Nini mah euweuh anu mantuan cicing didieu teh, (Maaf ya Cu, seadanya aja ini tempatnya, bagaimana atuh da, nenek tidak ada yang bisa dimintain tolong di sini,)” Kata nenek tersebut sambil membuka tirai yang menjadi sebuah pintu. Tirai yang lusuh dan kotor, yang menjadi penghalang satu-satunya bagi angin dingin yang menembus kulit setiap malamnya.

“Iya gak apa-apa Nek, malah aku ngerepotin Nenek kalau ikut menginap hingga pagi tiba, ” Kataku sambil ikut masuk ke dalam gubuk kecil itu.

Gubuk itu terlihat sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa ruangan kecil yang menyatu menjadi satu. Ada satu ruangan besar ketika aku masuk, dengan banyaknya tumpukan dari tumbuhan hutan yang nenek simpan di ujung ruangan, juga sebuah tikar yang tampak usang dan berlubang di banyak sisi.

Dan dibelakangnya ada ruangan kecil yang disebut goah, yaitu sebuah gudang kecil sekaligus dapur tempat nenek tersebut mengolah semua makanan hutan untuk dia makan setiap harinya.

Di sebelah kirinya, ada suatu ruangan kecil dengan kasur kapuk yang tampaknya sudah berbau dan kotor, tempat nenek tersebut beristirahat setiap harinya.

Tidak ada barang-barang yang sering kita temui di kota, tidak ada lemari pakaian, tidak ada jam dinding, bahkan tidak ada jendela di gubuk tersebut. Namun, nenek tersebut dengan cekatan membuat barang-barangnya sendiri dari kayu untuk keperluannya, dan dari wadah-wadah bekas sesaji yang tersebar di setiap penjuru hutan.

Gelas kaca bekas kopi pahit, nampan kuningan bekas menaruh semua sesaji buah-buahan dan kembang tujuh rupa. Juga batok kelapa yang sengaja nenek buat menjadi sebuah gayung atau gelas untuk diminum.

Sepertinya, nenek itu sengaja berkeliling ke semua tempat ritual, mengambil semua benda-benda yang menurutnya berguna untuk hidupnya di hutan ini, dan tampaknya hal itu sudah dia lakukan selama bertahun-tahun.

Terbukti dengan bangunan gubuk itu yang terlihat seperti sudah lama ditinggali, meskipun kondisinya jauh dari kata layak menurutku sendiri.

“Istirahat heula didieu nya Cu, moal aya anu wani asup kadieu, jadi Incu ulah hariwang. (Istirahat dulu di sini ya Cu, tidak ada yang berani masuk ke sini, jadi Cucu jangan khawatir. )”

“Nenek mah karunya Cu, da jelema sa umur Incu mah moal mungkin nyieun perjanjian jeung makhluk anu aya di gunung ieu, pasti Incu mah sasab di gunung ieu, terus teu bisa balik, (Nenek mah kasian Cu, soalnya manusia seumur Cucu mah gak mungkin membuat perjanjian dengan makhluk yang ada di gunung, pasti Cucu itu nyasar di gunung ini, dan tidak bisa pulang,)” Kata nenek itu yang kini terlihat duduk di depanku.

Obor yang tadi dia pegang kini apinya dipindahkan kepada lampu minyak yang terbuat dari botol bekas dengan minyak tanah sebagai bahan bakar dan kain bekas sebagai sumbunya.

Lampu minyak itu disimpan tepat di tengah-tengah ruangan, dan obor yang dia bawa sengaja dia matikan dan dia simpan di tempatnya.

Aku yang duduk disana akhirnya bertanya tentang identitas nenek tersebut. Karena, aku merasa mempunyai utang budi kepadanya karena sudah membantuku dari kejaran para makhluk yang muncul di gunung ini.

“Mmmm, kalau Nenek itu siapa namanya Nek? ”

“Karena aku dari tadi ga tau nama nenek siapa?”

“Siapa tahu nanti ketika pagi tiba, aku pasti akan kembali mencari Nenek karena sudah membantuku dan memberikan tempat beristirahat di malam ini Nek,” Kataku sambil malu-malu di hadapan nenek tersebut.

Namun, nenek tersebut hanya menggelengkan kepalanya. Dia seperti tidak ingin mengatakan namanya kepadaku pada malam itu.

“Incu teu kudu apal ngaran Nini saha, soalna bisi incu engke hese panggih deui jeung Nini. (Cucu tidak perlu tahu siapa nama Nenek, soalnya takut Cucu nanti susah ketemu dengan Nenek lagi.)”

“Hah? ” Aku dengan spontan mengucapkan hal itu ketika nenek tersebut berbicara.

“Maksudnya susah ketemu dengan nenek gimana Nek? ” Kataku dengan nada yang heran.

“Enya Cu, leuweung ieu teh lega. Terus incu oge kan teu apal ieu di belah mana, lamun engke Incu bisa balik ka kampung, ulah maksakeun manggihan Nini, hese soalna neangna tempat ieu teh. (iya Cu, hutan ini sangatlah luas. Terus Cucu juga kan tidak tahu sekarang di sebelah mana, kalau nanti Cucu bisa pulang ke kampung , jangan memaksakan diri untuk bertemu Nenek, soalnya susah mencari tempat ini.)”

“Oh,” Kataku yang menjawab ucapan nenek.

Kalau dipikir-pikir memang benar, aku sekarang tidak tahu berada di mana, aku juga tidak tau jalan pulang ke mana, bahkan aku tidak tahu sekarang jam berapa dan kapan pagi akan tiba.

Apalagi setelah mendengar penjelasan dari nenek itu, aku mengerti. Bahwa dia juga menolongku tanpa pamrih.

Krubuk, krubuk, krubuk,

Perutku tiba-tiba berbunyi, sudah beberapa jam aku belum makanan apa-apa, padahal biasanya setelah magrib biasanya aku makan bersama Ibu dan Bapak. Terakhir aku makan ketika pulang dari sekolah, dan sekarang aku merasakan rasa lapar lagi.

Minuman lahang yang diberikan oleh nenek tersebut rupanya tidak bisa menahan perutku yang keroncongan. Dan rupanya, hal itu juga terdengar oleh nenek yang duduk di depanku pada saat ini.

Nenek tersebut sepertinya mengerti tentang apa yang aku butuhkan saat ini, dia hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu secara perlahan berdiri dari duduknya, dengan tubuhnya yang sudah renta dan bungkuk. Dia akhirnya berjalan ke arah ruangan belakang sambil berkata kepadaku yang masih duduk disana.

“Incu cicing heula didieu nya, Nini katukang heula, Incu pasti lapar, urang nyieun heula tuangeun sa aya-aya nya Cu. (Cucu diam dulu di sini ya, Nenek ke belakang dulu, Cucu pasti lapar, kita bikin makanan seadanya ya Cu.) "

Aku merasa malu karena suara perut yang lapar ini terdengar oleh nenek tersebut, bahkan dia dengan sangat baik ingin membuatkan aku makanan. Alhasil, aku hanya bisa mengangguk tanpa sekalipun menatap wajah nenek tersebut karena aku sangat malu akan keadaanku pada saat ini.

Tak lama, terdengar suara-suara seseorang yang sedang memasak. Dengan percikan-percikan api dari tungku yang menyala dan terlihat dari sela-sela dinding ruangan yang bolong karena usia.

Sepuluh menit berlalu, aku yang duduk dan melihat ke sekeliling gubuk tersebut. Akhirnya mencium suatu bau yang enak dari arah belakang, dan tak lama, nenek tersebut datang dengan nampan bekas sesaji dan potongan daging hewan di atasnya.

“Ieu aya keneh urut daging bagong Cu, punten bisi Incu teu resep mah, tapi da kumaha, di leuweung ieu mah anu gampang di jadikeun masakan, nya bagong ieu. (Ini masih ada sisa daging babi hutan Cu, maaf takutnya Cucu tidak suka, tapi ya mau gimana, di hutan ini yang gampang dijadikan masakan, ya cuman babi hutan ini. )” Kata nenek tersebut sambil menyodorkan daging babi hutan itu di hadapan ku.

Jujur, seumur hidupku, aku belum pernah memakan babi hutan, apalagi ada larangan dari tradisiku yang tidak memperbolehkanku menyantap daging-daging hewan buas yang bertaring di dalam hutan.

Namun, daging tersebut terlihat sangat enak. Mungkin gara-gara tubuhku sangat lelah dan kini kondisi tubuhku sangat lapar, sehingga aromanya membuatku ingin sekali menyantap daging itu.

“Naha make bengong, sok dituang Cu, meh aya tanaga, (Kenapa bengong, sok di makan Cu, biar ada tenaga, )” Kata nenek tersebu sambil mengangkat tangannya.

Aku yang sudah lapar akhirnya mengangguk, meskipun aku tahu bahwa itu dilarang di dalam tradisiku, namun ada pengecualian apabila tidak ada makanan lain untuk aku makan.

Akhirnya, daging tersebut aku makan dengan lahapnya. Rasa daging yang terasa sangat enak kini seperti menari-nari di dalam mulutku. Padahal aku lihat, daging tersebut hanya dibakar seadanya tanpa bumbu dan disajikan begitu saja.

Ohok, ohok, ohok,

Aku makan dengan lahap hingga tak terasa aku tersedak.

“Lalaunan Cu tuang na. (Pelan-pelan Cu makannya. )”

“Aduh hilap, eueutna acan nya. (Aduh lupa, minumnya belum ya. )”

Nenek tersebut secara perlahan berdiri kembali dan berjalan lagi ke arah belakang. Terdengar suara-suara benda yang saling beradu, sepertinya nenek tersebut sedang mencari sesuatu untuk aku minum pada malam itu.

“Aduh di mana nya tadi teh neundeun na, (Aduh di mana ya tadi nyimpannya, )” Kata nenek tersebut yang bergumam sendirian di ruangan belakang.

Krotak, krotak, krotak,

“Ah ieu geuning. (Ah ini ternyata. )"

Sebuah panci kecil kini terlihat sedang dipegang oleh nenek tersebut, panci aluminium tanpa warna dengan corak-corak merah di setiap ujung pancinya.

Dengan perlahan panci itu dibuka, dan di dalamnya terlihat cairan kental yang dituangkan ke gelas kaca bekas kopi yang sering dipakai untuk sesaji.

Cairan kental itu secara perlahan memenuhi gelas tersebut, dengan sebuah warna merah gelap seperti darah hewan yang dia akan sajikan sebagai minumanku.

“Urang rubah heula meh jigah lahang rasana, soalna lamun ninggali getih bagong jigah kieu, mah engke pasti sieuneun. (Aku akan rubah dahulu supaya rasanya seperti air gula aren, soalnya kalau dia melihat darah babi hutan seperti ini, pasti akan ketakutan. )”

Kehkehkeh

Nenek tersebut secara tiba-tiba terkekeh-kekeh kecil di ruangan belakang. Dan aku yang ada di ruangan sebelahnya tidak sadar dengan apa yang nenek itu sajikan.

Karena rasa lapar dan rasa lelah membuatku makan dengan lahap di gubuk kecil itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Puspa Satya
penasaran knapa para makhluk itu ga berani mendekati gubuk itu ? jgn2 nenek itu pimpinan mereka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status