Srak srak srak
Suara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan di sisi dan kanan jalan.
Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.
Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.
Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.
Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang aku temui beberapa waktu yang lalu, makhluk-makhluk yang silih berganti menampakan dirinya dan membuatku ketakutan setengah mati dengan wujudnya yang sangat menyeramkan.
“Nek, Nenek emang tinggal di sini?” Kataku yang kini mencoba memberanikan diri bertanya kepadanya.
Aku sengaja bertanya seperti itu. Karena dalam seumur hidupku, tidak ada manusia yang berani untuk berkeliaran di Gunung Sepuh ini tanpa tujuan tertentu, apalagi di malam hari seperti nenek yang ada di depanku ini. Kecuali bagi para manusia yang sudah kehilangan akal demi mendapatkan suatu perjanjian dengan para makhluk dengan membuat ritual di tempat ini sepanjang malam.
Namun, tidak mungkin bagi nenek tua yang renta seperti yang ada di depanku ini untuk melakukan hal itu. Karena aku tahu, mereka yang biasanya melewati kampung untuk melakukan ritual di Gunung Sepuh, biasanya datang dengan kendaraan yang asalnya dari kota-kota besar di sekitar pulau Jawa.
Bahkan, tidak hanya orang sunda saja yang sengaja datang ke tempat ini, banyak sekali orang yang dari luar daerah datang dengan bahasa yang tidak aku mengerti datang silih berganti untuk mendapatkan apa yang dia inginkan di gunung ini.
Aku tahu, karena setiap kali mereka datang pada siang hari. Mereka pasti berhenti di warung, mengobrol dengan Ibu tentang Gunung Sepuh dan segala isinya. Namun ibu hanya menjawab seperlunya dan menjelaskan bahwa apabila orang tersebut ingin sekali tahu lebih lanjut, maka masuklah ketika malam tiba.
“Nek!”
“Nek! ”
Tampaknya suaraku tidak terdengar oleh nenek tersebut, sehingga ketika aku beberapa kali memanggil nenek tersebut, dia hanya fokus berjalan secara perlahan dengan obor yang tidak lepas dari tangannya sebagai penerang satu-satunya.
“Nek!” Aku memanggil kembali tersebut, namun sedikit berteriak agar aku terdengar olehnya.
Akhirnya dia mendengar teriakanku. Dan tak lama, dia menoleh ke arahku sambil tersenyum kecil.
“Eh aya naon Cu, punten cepil Nini mah tos teu pati jelas ngadangu na, (Eh ada apa Cu, maaf telinga nenek mah sudah tidak terlalu jelas mendengar,)” Kata nenek tersebut sambil tersenyum kepadaku dengan cahaya obor yang menerangi wajahnya pada saat itu.
“Beneran Nenek emang tinggal di sini? ” Kataku mengulangi pertanyaan yang tadi.
Nenek tersebut hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku, dengan tangan yang sudah renta, kurus dan keriput. Dia menunjuk ke salah satu ujung jalanan setapak yang aku lalui. Tangannya bergetar ketika dia menunjukkan arah, karena di umur segitu, tubuh mereka akan lemah sehingga perlu tenaga lebih hanya untuk mengangkat tangannya saja.
“Di ujung jalan ieu tempat Nini cicing Cu. (Di ujung jalan ini tempat Nenek tinggal Cu. )”
“Nini teh sabenerna mah orang kota, ngan teuing kumaha, keluarga Nini teh miceun Nini di tempat ieu. (Nenek itu sebenarnya orang kota, cuman tidak tahu bagaimana, keluarga Nenek itu membuang Nenek di tempat ini. )”
“Meureun tadina Nini teh edek di parabkeun ka makhluk anu aya didieu Cu, tapi meureun para makhluk didieu teh karunya ka Nini. (Mungkin tadinya Nenek akan dipersembahkan kepada para makhluk yang ada di sini Cu, tapi mungkin makhluk di sini kasihan kepada Nenek. )”
Keh keh keh
Nenek tersebut sedikit tertawa, seorang nenek tua renta yang tertawa di tengah hutan dengan sinar obor yang menerangi wajahnya yang penuh keriput dan rambut yang sudah memutih. Membuatku sedikit bergidik ketakutan.
Namun, tidak berapa lama, nenek itu kembali tersenyum kepadaku dan membalikan lagi badannya sambil berjalan kembali secara perlahan di jalanan setapak di tengah hutan tersebut.
Aku pun hanya mengangguk dan kembali mengikuti nenek tersebut berjalan, sempat aku berpikir. Sebegitu teganya keluarga si nenek, sehingga mereka rela membuang nenek tersebut di tengah hutan Gunung Sepuh sendirian.
“Nek, kalau Nenek emang gak takut tinggal di tengah hutan sendirian? ” Kataku.
Sambil berjalan nenek itu kembali terkekeh secara perlahan, dengan obor yang dia pegang di tangannya, dia kembali berkata kepadaku.
“Saha anu teu sieun cicing di tempat anu di keramatkeun jigah gunung ieu Cu. (Siapa yang tidak takut diam di tempat yang dikeramatkan seperti ini Cu. )”
“Tapi Nini mah mendingan cicing di gunung ieu daripada balik deui ka keluarga Nini anu miceun Nini. (Tapi Nenek sih mendingan diam di gunung ini daripada kembali lagi dengan keluarga yang sudah membuang Nenek. )”
“Didieu mah loba dahareun, moal kalaparan jigah di kota Cu. (Di sini banyak makanan, tidak akan kelaparan seperti di kota Cu. )”
“Hayang anu amis-amis tinggal ngala lahang, hayang daging, loba sato anu bisa di dahar, hayang lalabeun loba tinggal ngala Cu. (Ingin yang manis tinggal ngambil air gula aren, ingin daging, banyak hewan yang bisa dimakan, ingin lalaban, banyak tinggal metik Cu. )”
“Meureun ku keluarga Nini, Nini teh geus di anggap paeh, tapi buktina nepi ayeuna Nini teh masih hirup Cu. (Mungkin di keluarga Nenek, Nenek sudah dianggap meninggal, tapi buktinya sampai sekarang Nenek masih hidup Cu. )”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar cerita dari nenek tersebut sambil berjalan di antara pepohonan yang menjulang tinggi di tengah hutan.
Kisah nenek yang ada di depanku ternyata hidupnya sungguh tragis.
Keluarganya tega membuang nenek ini karena kepentingannya. Mereka rela membuang seorang nenek yang renta di tengah hutan, namun nenek masih mencoba bertahan hidup. Meskipun hidupnya dikelilingi oleh para makhluk yang menampakan dirinya setiap malam.
Ketika aku sedang fokus mendengarkan tentang cerita nenek itu, tiba-tiba dia berhenti di tengah jalan. Entah apa yang dia lakukan, namun kini badannya menghadap ke arah semak-semak dan pepohonan di sebelah kiri.
Secara perlahan, tangan nenek tersebut seperti menunjuk ke suatu tempat di tengah pepohonan hutan yang sangat gelap.
“Tinggali Cu! (Lihat Cu! )” Kata nenek tersebut.
Aku yang tidak tahu tentang apa yang nenek tersebut bicarakan tiba-tiba menoleh ke tempat yang nenek tunjukan, dan betapa terkejutnya ketika aku melihat sesuatu hal yang ada ditunjuk oleh nenek tersebut.
Aku melihat banyak sekali mata merah yang menyala muncul di antara pepohonan hutan, mereka seperti memandangiku dengan perasaan yang haus akan darah yang ada di dalam tubuhku.
Aku kaget, bahkan aku mundur beberapa langkah setelah melihat hal itu. Namun, nenek tersebut tiba-tiba berkata.
“Tong sieun, salama Incu di deket Nini, makhluk anu aya didinya moal ngadeketan Cu, (Jangan takut, selama Cucu dekat Nenek, makhluk yang ada di sana tidak akan mendekat Cu, )” Kata nenek tersebut.
“Yu di lanjutkeun, sakeudeung deui nepi ka imah Nini, (Yuk dilanjutkan, sebentar lagi kita sampai di rumah Nenek, )” Kata nenek itu sambal mengajakku berjalan kembali dan menghiraukan penampakan mata merah yang terlihat olehku.
Aku berdiri di belakangnya langsung memalingkan wajahku dan kembali berjalan di belakang nenek tersebut.
Waktu semakin malam, aku sudah tidak tahu jam berapa sekarang. Dan aku pada saat ini masih mengikuti nenek tersebut berjalan menyusuri setiap jalanan setapak yang ada di hutan Gunung Sepuh.
Dan ketika hampir lima belas menit berjalan, aku akhirnya melihat salah satu gubuk kecil yang berada di depan tebing. Sepertinya itu adalah sebuah gubuk yang awalnya dibuat untuk para manusia yang melakukan ritual di Gunung Sepuh ini.
Karena gubuk tersebut terlihat dibuat seadanya, dengan kain terpal biru yang menjadi atap dari gubuk tersebut. Dindingnya terbuat dari potongan kayu yang diambil dari hutan dan di tempelkan menjadi dinding agar bisa menahan hembusan angin malam yang menusuk kulit.
Dan pintunya pun hanya memakai sepotong kain putih panjang yang membentang menjadi sebuah penghalang pintu.
“Eta imah Nini Cu,(Itu rumah nenek Cu, )” Kata nenek tersebut sambil menunjuk ke arah rumah.
“Hayu ka jero, istirahat heula we di imah ieu, engke we balik mah pas isuk-isuk, (Hayu ke dalam, istirahat dulu di dalam rumah ini, nanti saja pulangnya di pagi hari, )” Kata nenek tersebut dengan senyum khasnya.
Aku pun akhirnya mengangguk, dengan rasa letih, takut, dan lapar yang tadi menghantuiku beberapa waktu yang lalu. Akhirnya aku lega, karena aku menemukan manusia lain yang baik dan membantuku untuk bisa bertahan hingga pagi tiba. Dan aku pun berjanji pada diriku, ketika aku berhasil keluar dari hutan ini, aku akan sering mengunjungi nenek tersebut ketika ada kesempatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku pada malam ini.
Aku pun akhirnya berjalan ke dalam gubuk tua tersebut. Namun, secara tak sadar, mata merah yang tadi aku lihat kini semakin banyak mengelilingi gubuk yang ada di dekat tebing itu.
Bahkan kini, di antara beberapa mata merah tersebut, gigi-gigi taring tajam dengan air liur yang menetes ke tanah kini terlihat karena tersinari oleh sinar bulan.
Mereka seperti siaga, seperti menunggu saat yang tepat untuk melahapku ketika aku masuk ke dalam gubuk itu, namun mereka tidak berani menampakan wujudnya. Karena seperti ada yang membuat mereka takut, sehingga mereka menjaga jaraknya dan tidak berani mendekatiku.
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya