Share

BAB 7-JALAN

Srak srak srak

Suara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan  di sisi dan kanan jalan.

Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.

Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.

Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.

Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang aku temui beberapa waktu yang lalu, makhluk-makhluk yang silih berganti menampakan dirinya dan membuatku ketakutan setengah mati dengan wujudnya yang sangat menyeramkan.

“Nek, Nenek emang tinggal di sini?” Kataku yang kini mencoba memberanikan diri bertanya kepadanya.

Aku sengaja bertanya seperti itu. Karena dalam seumur hidupku, tidak ada manusia yang berani untuk berkeliaran di Gunung Sepuh ini tanpa tujuan tertentu, apalagi di malam hari seperti nenek yang ada di depanku ini. Kecuali bagi para manusia yang sudah kehilangan akal demi mendapatkan suatu perjanjian dengan para makhluk dengan membuat ritual di tempat ini sepanjang malam.

Namun, tidak mungkin bagi nenek tua yang renta seperti yang ada di depanku ini untuk melakukan hal itu. Karena aku tahu, mereka yang biasanya melewati kampung untuk melakukan ritual di Gunung Sepuh, biasanya datang dengan kendaraan yang asalnya dari kota-kota besar di sekitar pulau Jawa.

Bahkan, tidak hanya orang sunda saja yang sengaja datang ke tempat ini, banyak sekali orang yang dari luar daerah datang dengan bahasa yang tidak aku mengerti datang silih berganti untuk mendapatkan apa yang dia inginkan di gunung ini.

Aku tahu, karena setiap kali mereka datang pada siang hari. Mereka pasti berhenti di warung, mengobrol dengan Ibu tentang Gunung Sepuh dan segala isinya. Namun ibu hanya menjawab seperlunya dan menjelaskan bahwa apabila orang tersebut ingin sekali tahu lebih lanjut, maka masuklah ketika malam tiba.

“Nek!”

“Nek! ”

Tampaknya suaraku tidak terdengar oleh nenek tersebut, sehingga ketika aku beberapa kali memanggil nenek tersebut, dia hanya fokus berjalan secara perlahan dengan obor yang tidak lepas dari tangannya sebagai penerang satu-satunya.

“Nek!” Aku memanggil kembali tersebut, namun sedikit berteriak agar aku terdengar olehnya.

Akhirnya dia mendengar teriakanku. Dan tak lama, dia menoleh ke arahku sambil tersenyum kecil.

“Eh aya naon Cu, punten cepil Nini mah tos teu pati jelas ngadangu na, (Eh ada apa Cu, maaf telinga nenek mah sudah tidak terlalu jelas mendengar,)” Kata nenek tersebut sambil tersenyum kepadaku dengan cahaya obor yang menerangi wajahnya pada saat itu.

“Beneran Nenek emang tinggal di sini? ” Kataku mengulangi pertanyaan yang tadi.

Nenek tersebut hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku, dengan tangan yang sudah renta, kurus dan keriput. Dia menunjuk ke salah satu ujung jalanan setapak yang aku lalui. Tangannya bergetar ketika dia menunjukkan arah, karena di umur segitu, tubuh mereka akan lemah sehingga perlu tenaga lebih hanya untuk mengangkat tangannya saja.

“Di ujung jalan ieu tempat Nini cicing Cu. (Di ujung jalan ini tempat Nenek tinggal Cu. )”

“Nini teh sabenerna mah orang kota, ngan teuing kumaha, keluarga Nini teh miceun Nini di tempat ieu. (Nenek itu sebenarnya orang kota, cuman tidak tahu bagaimana, keluarga Nenek itu membuang Nenek di tempat ini. )”

“Meureun tadina Nini teh edek di parabkeun ka makhluk anu aya didieu Cu, tapi meureun para makhluk didieu teh karunya ka Nini. (Mungkin tadinya Nenek akan dipersembahkan kepada para makhluk yang ada di sini Cu, tapi mungkin makhluk di sini kasihan kepada Nenek. )”

Keh keh keh

Nenek tersebut sedikit tertawa, seorang nenek tua renta yang tertawa di tengah hutan dengan sinar obor yang menerangi wajahnya yang penuh keriput dan rambut yang sudah memutih. Membuatku sedikit bergidik ketakutan.

Namun, tidak berapa lama, nenek itu kembali tersenyum kepadaku dan membalikan lagi badannya sambil berjalan kembali secara perlahan di jalanan setapak di tengah hutan tersebut.

Aku pun hanya mengangguk dan kembali mengikuti nenek tersebut berjalan, sempat aku berpikir. Sebegitu teganya keluarga si nenek, sehingga mereka rela membuang nenek tersebut di tengah hutan Gunung Sepuh sendirian.

“Nek, kalau Nenek emang gak takut tinggal di tengah hutan sendirian? ” Kataku.

Sambil berjalan nenek itu kembali terkekeh secara perlahan, dengan obor yang dia pegang di tangannya, dia kembali berkata kepadaku.

“Saha anu teu sieun cicing di tempat anu di keramatkeun jigah gunung ieu Cu. (Siapa yang tidak takut diam di tempat yang dikeramatkan seperti ini Cu. )”

“Tapi Nini mah mendingan cicing di gunung ieu daripada balik deui ka keluarga Nini anu miceun Nini. (Tapi Nenek sih mendingan diam di gunung ini daripada kembali lagi dengan keluarga yang sudah membuang Nenek. )”

“Didieu mah loba dahareun, moal kalaparan jigah di kota Cu. (Di sini banyak makanan, tidak akan kelaparan seperti di kota Cu. )”

“Hayang anu amis-amis tinggal ngala lahang, hayang daging, loba sato anu bisa di dahar, hayang lalabeun loba tinggal ngala Cu. (Ingin yang manis tinggal ngambil air gula aren, ingin daging, banyak hewan yang bisa dimakan, ingin lalaban, banyak tinggal metik Cu. )”

“Meureun ku keluarga Nini, Nini teh geus di anggap paeh, tapi buktina nepi ayeuna Nini teh masih hirup Cu. (Mungkin di keluarga Nenek, Nenek sudah dianggap meninggal, tapi buktinya sampai sekarang Nenek masih hidup Cu. )”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar cerita dari nenek tersebut sambil berjalan di antara pepohonan yang menjulang tinggi di tengah hutan.

Kisah nenek yang ada di depanku ternyata hidupnya sungguh tragis.

Keluarganya tega membuang nenek ini karena kepentingannya. Mereka rela membuang seorang nenek yang renta di tengah hutan, namun nenek masih mencoba bertahan hidup. Meskipun hidupnya dikelilingi oleh para makhluk yang menampakan dirinya setiap malam.

Ketika aku sedang fokus mendengarkan tentang cerita nenek itu, tiba-tiba dia berhenti di tengah jalan. Entah apa yang dia lakukan, namun kini badannya menghadap ke arah semak-semak dan pepohonan di sebelah kiri.

Secara perlahan, tangan nenek tersebut seperti menunjuk ke suatu tempat di tengah pepohonan hutan yang sangat gelap.

“Tinggali Cu! (Lihat Cu! )” Kata nenek tersebut.

Aku yang tidak tahu tentang apa yang nenek tersebut bicarakan tiba-tiba menoleh ke tempat yang nenek tunjukan, dan betapa terkejutnya ketika aku melihat sesuatu hal yang ada ditunjuk oleh nenek tersebut.

Aku melihat banyak sekali mata merah yang menyala muncul di antara pepohonan hutan, mereka seperti memandangiku dengan perasaan yang haus akan darah yang ada di dalam tubuhku.

Aku kaget, bahkan aku mundur beberapa langkah setelah melihat hal itu. Namun, nenek tersebut tiba-tiba berkata.

“Tong sieun, salama Incu di deket Nini, makhluk anu aya didinya moal ngadeketan Cu, (Jangan takut, selama Cucu dekat Nenek, makhluk yang ada di sana tidak akan mendekat Cu, )” Kata nenek tersebut.

“Yu di lanjutkeun, sakeudeung deui nepi ka imah Nini, (Yuk dilanjutkan, sebentar lagi kita sampai di rumah Nenek, )” Kata nenek itu sambal mengajakku berjalan kembali dan menghiraukan penampakan mata merah yang terlihat olehku.

Aku berdiri di belakangnya langsung memalingkan wajahku dan kembali berjalan di belakang nenek tersebut.

Waktu semakin malam, aku sudah tidak tahu jam berapa sekarang. Dan aku pada saat ini masih mengikuti nenek tersebut berjalan menyusuri setiap jalanan setapak yang ada di hutan Gunung Sepuh.

Dan ketika hampir lima belas menit berjalan, aku akhirnya melihat salah satu gubuk kecil yang berada di depan tebing. Sepertinya itu adalah sebuah gubuk yang awalnya dibuat untuk para manusia yang melakukan ritual di Gunung Sepuh ini.

Karena gubuk tersebut terlihat dibuat seadanya, dengan kain terpal biru yang menjadi atap dari gubuk tersebut. Dindingnya terbuat dari potongan kayu yang diambil dari hutan dan di tempelkan menjadi dinding agar bisa menahan hembusan angin malam yang menusuk kulit.

Dan pintunya pun hanya memakai sepotong kain putih panjang yang membentang menjadi sebuah penghalang pintu.

“Eta imah Nini Cu,(Itu rumah nenek Cu, )” Kata nenek tersebut sambil menunjuk ke arah rumah.

“Hayu ka jero, istirahat heula we di imah ieu, engke we balik mah pas isuk-isuk, (Hayu ke dalam, istirahat dulu di dalam rumah ini, nanti saja pulangnya di pagi hari, )” Kata nenek tersebut dengan senyum khasnya.

Aku pun akhirnya mengangguk, dengan rasa letih, takut, dan lapar yang tadi menghantuiku beberapa waktu yang lalu. Akhirnya aku lega, karena aku menemukan manusia lain yang baik dan membantuku untuk bisa bertahan hingga pagi tiba. Dan aku pun berjanji pada diriku, ketika aku berhasil keluar dari hutan ini, aku akan sering mengunjungi nenek tersebut ketika ada kesempatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku pada malam ini.

Aku pun akhirnya berjalan ke dalam gubuk tua tersebut. Namun, secara tak sadar, mata merah yang tadi aku lihat kini semakin banyak mengelilingi gubuk yang ada di dekat tebing itu.

Bahkan kini, di antara beberapa mata merah tersebut, gigi-gigi taring tajam dengan air liur yang menetes ke tanah kini terlihat karena tersinari oleh sinar bulan.

Mereka seperti siaga, seperti menunggu saat yang tepat untuk melahapku ketika aku masuk ke dalam gubuk itu, namun mereka tidak berani menampakan wujudnya. Karena seperti ada yang membuat mereka takut, sehingga mereka menjaga jaraknya dan tidak berani mendekatiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status