Aruna akhirnya bekerja di perusahaan ayahnya. Dia sementara menjadi manager bagian pemasaran sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya. Dia sudah bekerja di sana selama satu minggu dan mulai menyesuaikan diri. “Bu, ini konsep yang tim kita buat, minta koreksi jika memang ada yang kurang sesuai,” ucap staff Aruna saat menyerahkan berkas konsep untuk iklan. Aruna menerima berkas itu, lantas membuka untuk melihat isi di dalamnya. “Akan aku cek dulu, kalau memang ada yang butuh direvisi, nanti aku tandai,” ujar Aruna tanpa menatap staff-nya. “Baik, Bu.” Staff itu pun keluar dari ruangan Aruna setelah pamit. Aruna mengecek berkas itu dengan seksama, hingga ponsel yang ada di samping laptop berdering. Dia melihat nama Emily di layar ponsel. “Halo.” Aruna menjawab dari panggilan gadis kecil itu. “Kakak, apa Kakak sibuk?” tanya Emily dari seberang panggilan. “Lumayan,” jawab Aruna, “ada apa?” tanyanya kemudian. “Tidak ada apa-apa, hanya mau bicara saja,” jawab Emily dari seberang pa
“Tadi siang main ke mana? Kenapa Emi pulang terlambat?” tanya Ansel saat menemani Emily sebelum tidur. Emily menatap ayahnya sambil memegang ujung selimut. Dia sedikit menutup wajah ketika mendengar pertanyaan ayahnya itu. “Tidak ke mana-mana, hanya main dulu saat di sekolah,” jawab Emily tak mau jujur karena takut Ansel tahu jika dia sering berkomunikasi dengan Aruna, kemudian Aruna menjauhinya kalau Ansel tahu soal yang mereka lakukan. Ansel memandang putrinya yang bicara sambil menutup setengah wajah, hingga menghela napas kasar. “Baiklah, tapi lain kali lebih baik langsung pulang dan jangan terlalu lama main di sekolah,” ujar Ansel menasihati sambil merapikan selimut Emily. Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan Ansel. Ansel mematikan lampu utama. Dia mencium kening Emily, lantas keluar dari kamar putrinya itu. Emily sendiri begitu lega karena Ansel tidak bertanya banyak hal lagi. Ansel keluar dari kamar Emily, lantas menutup pintu sambil membuang napas kasar. Dia diam s
Siang itu Aruna meninggalkan perusahaan setelah jam makan siang. Dia ingin pergi ke sekolah Emily sesuai dengan janjinya ke gadis kecil itu. Aruna sudah sampai di sekolah Emily. Dia memarkirkan mobil di dalam area sekolah, lantas turun karena sebentar lagi Emily selesai dengan sekolahnya. Hingga saat baru saja menutup pintu, Aruna terkejut mendengar suara seseorang. “Kenapa kamu di sini? Apa ada anak yang harus kamu jemput?” Aruna membalikkan badan, hingga sangat terkejut melihat Ansel di sana. Aruna pun terlihat gelagapan karena tak menyangka jika akan bertemu pria itu di sana. “Bisa kita bicara sebentar?” tanya Ansel saat melihat Aruna yang panik. Aruna memberanikan diri menatap pria itu. Sikap dan cara bicara Ansel sekarang ini, jelas mengingatkannya akan masa lalu di mana pria itu tak pernah sekalipun membentak atau bicara keras kepadanya. Pria yang dikenal lemah lembut dalam bertutur kata, tapi sayangnya semua sikap baiknya dipatahkan oleh keputusan pria itu menikahi wanit
Bumi sedang membersihkan meja setelah pelanggan pergi. Saat sedang membawa piring dan gelas ke belakang, lonceng di tengah pintu berbunyi, membuatnya langsung menoleh. “Selamat, da ….” Bumi menjeda ucapannya ketika melihat siapa yang baru saja masuk. Aruna menatap sepupunya itu, lantas masuk begitu saja menggandeng Emily. Bumi bengong melihat Aruna datang bersama anak kecil, hingga melihat Ansel yang ikut masuk. Ansel memandang Bumi yang sedang menatap ke arah dirinya datang. Dia diam sejenak karena selama 6 tahun ini memang tak pernah menemui Bumi sama sekali. Bumi benar-benar bingung, kenapa Aruna datang bersama Ansel dan anak kecil, hingga pikirannya menebak, apakah Aruna kembali menjalin hubungan dengan Ansel. “Bum, aku mau pesan.” Suara Aruna membuat Bumi tersadar dari lamunan. Dia meletakkan nampan berisi piring dan gelas di meja, lantas mendekat ke Aruna. Bumi mendekat dan siap mencatat apa yang hendak dipesan adik sepupunya itu. Aruna memesan tiga menu makanan, dua un
“Papi marah?” tanya Emily saat mobil ayahnya itu masuk halaman rumah. Sejak tadi Ansel hanya diam, membuat Emily takut kalau ayahnya itu marah sebab dia menemui dan berhubungan dengan Aruna. Ansel menoleh Aruna yang duduk di sampingnya, hingga kemudian menjawab, “Hanya sedikit kesal.” Emily langsung menundukkan kepala mendengar jawaban Ansel. “Aku tidak bermaksud nakal,” ucap Emily sambil menatap jemari mungilnya. Ansel menoleh sekilas ke Emily yang menunduk. Dia kemudian berkata, “Kamu sudah berani berbohong ke papi. Kamu tahu papi tidak suka hal itu.” Emily hanya diam mendengar ucapan Ansel. Baby sitter pun hanya bisa diam di kursi belakang karena tak punya wewenang membela Emily. “Sebelum papi tahu dari orang lain, apa ada hal lain yang kamu sembunyikan dari papi?” tanya Ansel karena tak suka jika putrinya berbohong. Emily memberanikan diri menoleh Ansel, hingga kemudian menjawab, “Aku tidak bohong lagi. Aku hanya ingin bisa sering bertemu Kakak Cantik, tapi Kakak Cantik ti
Ansel mengemudikan mobil keluar dari perusahaan. Dia terlihat mengetukkan jari di stir mobil berulang kali, menunjukkan jika sekarang dalam kondisi gelisah. Mobil Ansel membelah jalanan kota, tapi dia tidak pergi mengarah ke rumah, melainkan pergi ke arah perusahaan Aruna. Dia ingin menemui Aruna karena ada banyak hal yang hendak dibicarakan dengan Aruna karena tadi belum selesai bicara. “Maaf, apa Bu Aruna sudah pulang?” tanya Ansel saat menemui security perusahaan keluarga Aruna. Dia sudah mencari informasi soal di mana Aruna bekerja, hingga tahu jika mantan kekasihnya itu kini bekerja di perusahaan keluarga. “Bu Aruna? Belum, sepertinya beliau lembur,” jawab satpam. Ansel pun berpikir sejenak, lantas berkata, “Apa saya boleh menunggu, ada hal yang ingin saya bahas dengan beliau.” Satpam itu mengizinkan. Ansel pun menunggu di lobi sampai Aruna muncul. Dia menunggu dari pukul lima, hingga akhirnya setelah setengah jam menunggu, Ansel melihat Aruna yang baru saja keluar dari li
“Boleh daddy ikut duduk?” Aruna terkejut mendengar suara ayahnya. Dia menoleh dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu. Aruna tersenyum melihat ayahnya itu. Dia menepuk kursi sampingnya agar sang daddy duduk di sana. Langit pun mendekat lantas duduk di samping Aruna. Dia memandang putrinya yang terlihat tenang. “Daddy lihat beberapa hari ini kamu agak murung. Apa karena anak kecil itu?” tanya Langit. Aruna sudah menceritakan soal siapa gadis kecil yang menemuinya. Meski awalnya Langit syok bahkan kesal, tapi melihat Aruna yang biasa saja, membuatnya memaklumi keputusan Aruna yang tak bisa mengabaikan gadis kecil itu. “Tidak ada yang murung, Dad.” Aruna menoleh Langit sambil mengulas senyum. “Sejak kecil, daddy yang lebih sering menghadapi segala tingkahmu ketimbang mommymu, apa kamu masih mau berbohong kalau sedang tak baik-baik saja?” Langit menatap Aruna sambil mengusap rambut putrinya itu. Aruna terkejut mendengar ucapan Langit. Dia pun tersenyum masam sambil memalingkan
“Apa klien serius ingin mengajak bertemu di sini?” tanya Aruna keheranan melihat alamat tempat dirinya harus menemui klien. “Saya juga bingung, Bu. Tapi memang sekretarisnya tadi bilang jika ingin menemui Ibu di sana. Katanya sekalian di sana ada perlu,” jawab staff Aruna. Aruna diam membaca alamat yang tertulis. Dia hanya berpikir kenapa harus bertemu klien di tempat seperti itu. “Mereka klien penting, Bu. Manager yang lama biasanya menuruti segala keinginannya, termasuk tempat bertemu,” ujar staff itu saat melihat Aruna hanya diam. “Baiklah, nanti biar aku atur,” ucap Aruna pada akhirnya. Staff itu pun pamit dari ruangan Aruna, meninggalkan managernya itu sendirian di ruangan itu. Aruna pun melihat nomor kontak sekretaris klien perusahaan. Dia lantas mencoba menghubungi untuk bernegosiasi. “Halo, saya Aruna manager pemasaran di Magnifique. Saya ingin mengonfirmasi soal tempat pertemuan utusan perusahaan kami dengan perusahaan Anda bekerja. Bisakah kita mengubah tempat pertemu