Sudah lewat tengah malam Andina masih mematut dirinya di depan cermin. Ia melihat bekas luka cakaran yang terlihat berwarna coklat gelap.
Andina mendesah lelah, "Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat bekas-bekas luka ini pudar. Sedangkan tabunganku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama bertahun-tahun tersebut. Tidak ada yang mau menerimaku sebagai pegawai kalau wajahku saja terlihat tidak menarik." gumam Andina.
Pikirannya kembali lagi pada surat perjanjian yang tergeletak di atas meja. Andina gundah gulana sekarang. Isi surat perjanjian itu menguntungkan semua pihak. Baik Daniel ataupun ia.
Ajakan itu seperti kesempatan langka bagi Andina. Namun, ia dibuat bimbang untuk memilih. Ia risau.
Tetap di pulau Bali dengan status pengangguran, atau ikut ke Jakarta menjadi bagian hidup Daniel? Sedangkan perasaannya kepada Daniel masih hambar dan belum ada manis-manisnya.
Pikirannya kacau. Tapi, keberuntungan tidak terjadi berkal
Kemewahan yang dimiliki keluarga Daniel membuat jiwa miskin Andina meronta-ronta. Ia terpesona dengan lampu gantung yang sangat indah dan aestetik. Sofa-sofa berukuran besar sanggup dijadikan tempat tidur pengganti kasur Andina di kost-kostan. Pernak-pernik dinding di tata sedemikian rupa agar terlihat cantik dan berkelas. Begitu juga guci keramik yang bertengger di atas meja membuat Andina takut untuk menyentuhnya. "Harganya pasti fantastis, melebihi gajiku sebagai pelayan restoran." gumam Andina, ia melihat dengan jeli detail guci tersebut. Belum lagi, aquarium besar berisi ikan arwana merah membuat ruang tamu memiliki kesan menenangkan. Sesampainya di kamar yang berada di lantai dasar, Andina menarik koper dan membukanya. Beberapa baju yang biasa-biasa saja sengaja Andina tinggal di kost-kostan. Gadis itu hanya membawa baju yang layak dipakai di ibu kota. Ia menata baju-bajunya ke dalam almari sembari bersenandung kecil. Kenekatannya me
Andina menoleh, "Iya..." balas Andina."Siapa kamu?" tanya Sari penasaran. Ia memincingkan matanya, meneliti tubuh Andina dari atas ke bawah."Kamu cacat, ya? Wajahmu jelek banget!"Andina tersenyum, dan menggeleng."Enggak cacat. Ini hanya bekas luka cakaran seorang macan betina!" jelas Andina, ia ingin berkelakar dengan seseorang yang masih menggunakan baju tidur dengan rambut yang tak kalah berantakan dengan dirinya."Siapa kamu? Pembantu baru? Kamu mau saingan dengan ku?" Suara Sari tampak menantang.Andina ingin menyeletuk. Tapi ia masih menghormati orang-orang di rumah ini.Sari terlihat gusar sekaligus tidak suka dengan wanita di depannya. Sari menyipitkan mata. Nyonya besar tidak pernah membicarakan soal perekrutan asisten rumah tangga baru dengan dirinya. Sekarang ia seakan terancam dengan hadirnya Andina di rumah Sanjaya."Jawab siapa kamu!" bentak Ncus Sari.Dari tangga paling atas, Sarasvati menggelindi
Hari kedua di rumah Sanjaya, tak ada bedanya dengan hari pertama. Andina masih di buat senewen dengan kelakuan Daniel. Laki-laki itu tidak mau bangun sebelum Andina mengucapkan selamat pagi dengan kalimat mesra.Mulut Andina terasa kelu, jantungnya terpompa dengan cepat. Wajahnya tampak seperti penderita flu ketimbang seperti gadis tengil nan galak.Daniel membuka matanya sedikit, ia ingin tertawa melihat wajah Andina seperti ingin terkencing-kencing. Padahal yang ia minta bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan hanya untuk membiasakan diri agar Andina tidak terlihat seperti patung selamat datang.Andina menghela nafas panjang, "Akan saya permudah urusan saya!" ujar Andina sembari menarik selimut yang menutupi tubuh Daniel.Ia terbelalak... Hampir saja mulutnya mengumpat kata-kata kotor saat melihat Daniel hanya menggunakan boxer briefs yang justru mempertontonkan kakinya yang jenjang, berotot dan berbulu."Uh.... sabar. Masih empa
"Saya tidak mau merubah rambut saya Nyonya. Begini saja, jangan diluruskan!" tolak Andina tegas saat Sarasvati mengajaknya ke salon perawatan rambut. "Kenapa? Kalau lurus kan cantik." Andina menggeleng cepat, "Jangan apa-apakan rambut saya. Biar begini saja!" Kesulitan dalam merayu Andina, akhirnya Sarasvati mendengus pasrah. "Kamu itu mau aku ubah menjadi Cinderella. Malah tetap pengen jadi Upik Abu!" gerutu Sarasvati yang membuat Andina menahan tawa. "Kata Bapak rambut ini yang membuatku cantik. Jadi biarkan saja menjadi Upik abu, asalkan tidak mengubah apa yang membuatku slalu percaya diri." Si pria dengan tangan lemah gemulai ini terkekeh manja. "Jadi mau diapain rambutnya, Sis?" "Creambath and blow. Dandani yang cantik selagi saya mencarikan baju ganti untuknya." tuntut Sarasvati. Andina berdiri dengan tegak saat Sarasvati hendak keluar dari salon, "Mau kemana, Nyonya? Jangan tinggalkan saya sendiri!"
Hari sudah malam saat ia dan Daniel keluar dari hotel. Gemerlap cahaya lampu kota dan padatannya jalanan kota Jakarta sudah Andina rasakan dengan nyata sekarang. Dari balik mobil, ia memperhatikan kesibukan kota Jakarta yang begitu ramai dan tak pernah terlihat istirahat. Kini ia benar-benar merasakan bagaimana rasanya terjebak macet hingga berjam-jam.Pengalihan arus lalu lintas menjadi sebab utamanya hingga Daniel harus membawa Andina ke jalanan yang slalu ramai di lewati kendaraan.Daniel terkekeh saat melihat Andina yang menggerutu kesal, "Bukannya kamu tadi sudah tidur? Apalagi yang membuatmu kesal, lapar?" tanyanya.Andina berkata, "Saya gerah, saya butuh mandi!"Daniel tertawa, "Jakarta memang panas, itulah kenapa aku suka tidur pakai celana dalam atau boxer briefs. Sekarang kamu paham kan alasannya. Biar dingin..."Andina mendengus kesal, "Itu terserah anda. Tapi hormatilah saya selaku wanita yang membangunkan tidur anda!"
Daniel memegang perutnya, badannya membungkuk menahan sakit. Perut yang terasa di pelintir dan di remas-remas membuatnya tidak tahan lagi untuk buang air besar."Busuk!" Andina menutup hidungnya saat Daniel membuang gas di depannya. Tana rasa malu sama sekali."Perutku sakit sekali, Dina. Bantu aku ke kamar!" pinta Daniel, wajahnya terlihat pucat, bibirnya terlihat kering."Kenapa bisa begini? Harusnya pergi ke dokter tadi!" ujar Andina khawatir meski terdengar galak suaranya.Malu-malu ia merangkul Daniel dan memapahnya menaiki anak tangga."Aku gak tau, Dina. Aku gak tau! Tadi aku sarapan di rumah dan ngopi di kantor. Setelah itu, perutku terasa begah dan sering kentut." jelas Daniel.Andina mendengus kesal saat Daniel kembali buang angin."Sumpah baunya kayak peceren¹." batin Andina."Maaf, Dina. Semoga kamu gak ilfill." ujar Daniel.Andina tersenyum tipis, "Aku gak ilfill tapi pengen muntah!"Andina
Andina terbangun setelah beberapa kali bahunya diguncang oleh Sarasvati."Ya..." katanya masih memejamkan mata."Bangun, Dina. Mama mau bicara." kata Sarasvati duduk di tepi ranjang, dikamar Andina sewaktu matahari masih belum menunjukkan sinarnya."Ya..." kembali Andina hanya menjawab tanpa melakukan perintah Sarasvati."Andin!" ujar Sarasvati geram.Andina menegakkan tubuhnya. Rambutnya yang berantakan membuat Sarasvati semakin mengacak-acaknya."Singa betina! Mama mau bicara, penting!"Andina membuka matanya, ia menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi."Nyonya. Ini masih diluar jam kerja saya!" Kembali lagi Andina memejamkan mata.Sarasvati mendengus kesal, Andina kira hanya dia saja yang masih mengantuk. Lihatlah Sarasvati, bahkan kantong matanya menghitam dan membuatnya terlihat tua. Ia menarik bantal yang Andina gunakan. Menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Andina."Mengapa
Mendengar penjelasan Sanjaya malam itu, Daniel seperti menelan obat dalam dosis yang tinggi. Daniel kecewa. Bukan hal mudah baginya untuk menerima bahwa Frans berani menyakitinya dan mengkhianatinya mengingat pertemanan mereka sudah terjalin sejak lama. Diam-diam ia menaruh alat penyadap suara di meja kerja Frans setelah mengetahui bahwa Andina sudah berhasil melancarkan aksinya.Semua terasa membingungkan. Batinnya sedang diuji. Ironis, fakta yang harus diterimanya. Kebaikannya ternyata tidak disambut baik oleh orang-orang yang pernah menggantungkan harapan padanya.Daniel merapikan jas kerjanya yang berwarna biru dongker, ia tersenyum getir."Waktunya menjemput Dina." katanya riang sembari berjalan menuju pantry.Andina dan Frans asyik mengobrol hingga dibuat terkejut dengan kedatangan Daniel yang bersiul riang."Lagi ngopi ya? Enak tuh." kata Daniel."Udah kelar, Dan?" tanya Frans sembari memincingkan matanya."Ud