LOGIN"Demi membersihkan nama mendiang ayahnya yang difitnah selama bertahun-tahun, Winda Pratiwi nekat bekerja di perusahaan lama tempat ayahnya bekerja dulu. Namun, ia justru jatuh ke tangan Han Seonwoo, CEO berdarah dingin yang menyimpan dendam kesumat pada keluarganya. Bagi Seonwoo, Winda adalah tawanan sah untuk melampiaskan luka masa lalunya. Melalui kontrak gelap yang menjerat, Seonwoo merampas kebebasan Winda, menjadikannya asisten pribadi yang harus tunduk pada setiap obsesi liarnya. "Kau tidak akan lepas, Winda. Sampai aku puas melihatmu hancur, kau adalah milikku."
View More"Lepaskan aku, Tuan Han! Aku di sini untuk bekerja, bukan untuk menjadi tawananmu!" rintih Winda dengan napas terengah.
Ia terus meronta, memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan, namun dinding kaca di belakangnya dan tubuh Seonwoo di depannya membuatnya terjepit tak berdaya. Tangan Seonwoo beralih dari pinggang ke rahang Winda. Ia mencengkeram rahang itu dengan dominasi yang mematikan, memaksa wajah Winda agar menatap langsung ke matanya. "Bekerja? Tidak, Winda. Kau sudah menandatangani kontrak itu. Kau di sini untuk membayar dosa ayahmu dengan setiap inci tubuhmu." *** Salju pertama di bulan Desember turun menyelimuti kota Seoul dengan warna putih yang dingin dan hampa. Bagi kebanyakan orang, ini adalah momen romantis, namun bagi Winda Pratiwi, setiap butiran salju yang menyentuh pipinya terasa seperti tusukan jarum es yang mengingatkannya pada kemiskinan dan penderitaan yang ia tinggalkan di Jakarta. Winda merapatkan mantel wol murah yang ia beli di pasar barang bekas sebelum keberangkatannya ke Korea. Tangannya yang terbungkus sarung tangan rajutan ibunya gemetar hebat, bukan hanya karena suhu yang mencapai minus tujuh derajat, tetapi karena gedung pencakar langit yang kini berdiri angkuh di hadapannya. HanGroup International. Gedung itu menjulang tinggi, dinding kacanya memantulkan cahaya matahari pucat, seolah-olah sedang memandang rendah pada siapa pun yang berada di bawahnya. Winda menarik napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan udara dingin yang menyesakkan dada. Di dalam tas kulitnya yang mulai mengelupas, ia menyimpan sebuah foto tua yang sudah kusam. Foto ayahnya, Anjar Pradana, yang sedang tersenyum lebar di samping seorang pria Korea bernama Han Jiwon. Dua puluh dua tahun lalu, foto itu adalah simbol persahabatan sejati. Namun sekarang, foto itu adalah kutukan. Sebuah fitnah keji telah mengubah pahlawan menjadi pengkhianat. Ayahnya dituduh mencuri aset perusahaan dan menyebabkan Han Jiwon terkena serangan jantung hingga meninggal dunia. Fitnah itu membuat keluarga Winda jatuh miskin, diusir dari rumah mereka, dan ayahnya meninggal dalam keadaan hancur dengan nama yang kotor. "Ayah… Aku akan membuktikan bahwa ayah bukan pengkhianat." bisik Winda, mencoba menguatkan hatinya. Winda melangkah masuk ke dalam lobi gedung yang sangat luas. Lantai marmernya mengkilap hingga ia bisa melihat bayangan wajahnya yang pucat. Ia berjalan menuju meja resepsionis dengan langkah yang sengaja dibuat tegas, meskipun hatinya menciut melihat kemewahan di sekelilingnya. "Selamat pagi, saya Winda Pratiwi, staf legal baru perwakilan dari Indonesia." ucapnya dalam bahasa Korea yang cukup fasih. Resepsionis itu menatapnya dengan tatapan menilai, lalu memberikan kartu akses. Winda berjalan menuju lift, namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sebuah papan pengumuman elektronik besar di tengah lobi itu. Di sana, terpampang foto seorang pria dengan setelan jas hitam yang sangat rapi. Rahangnya tegas, matanya tajam seperti elang, dan bibirnya terkatup rapat dalam garis yang dingin. Di bawah foto itu tertulis: Han Seonwoo, Chief Executive Officer. Darah Winda seolah berhenti mengalir. Seonwoo. Anak laki-laki berusia tujuh tahun yang dulu pernah menggenggamnya saat ia masih balita. Anak yang dulu tertawa bersamanya di taman bermain saat ayah mereka bekerja sama. Kini, anak itu telah berubah menjadi pria yang paling ditakuti di dunia bisnis Asia, seorang monster tanpa belas kasihan yang menyimpan dendam kesumat pada keluarga Anjar Pradana. Ayahnya. Tiba-tiba, suasana lobi yang tenang berubah menjadi tegang. Para karyawan yang tadinya berjalan santai kini berdiri tegak dan menunduk dalam. Dari arah pintu masuk eksekutif, sekelompok pria berjas hitam berjalan dengan langkah cepat. Di tengah-tengah mereka, berdirilah pria yang ada di foto itu. Han Seonwoo. Kehadirannya seolah menyedot oksigen dari ruangan manapun. Aura dominasinya begitu kuat hingga Winda merasa sulit untuk bernapas. Saat rombongan itu melewati Winda, Seonwoo tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia tidak menoleh sepenuhnya, hanya melirik dari sudut matanya yang dingin. "Winda Pratiwi?" suara berat itu terdengar rendah, namun bergema di seluruh lobi yang mendadak sunyi. Winda membeku. Ia tidak menyangka Seonwoo akan mengenalinya begitu cepat. Ia memberanikan diri untuk mendongak, menatap pria yang kini berdiri tepat di hadapannya. Jarak mereka sangat dekat hingga Winda bisa mencium aroma parfum mahal yang sangat maskulin dari pria itu. "Ita, Tuan.. Saya staf baru yang.." Tanpa peringatan, Seonwoo mencengkeram lengan Winda dengan tenaga yang mengejutkan. Ia menyeret Winda menuju lift pribadi yang dijaga ketat. Winda tersentak, mencoba melepaskan diri, namun cengkeraman Seonwoo seperti borgol besi yang mustahil dipatahkan. "Apa yang Anda lakukan?! Lepaskan aku!" seru Winda panik saat pintu lift tertutup, mengunci mereka berdua di dalam ruangan sempit yang berlapis cermin mengkilap. Seonwoo tidak menjawab. Ia justru menyudutkan Winda ke dinding lift. Dengan satu gerakan kasar, ia mengunci kedua tangan Winda di atas kepala wanita itu. Seonwoo menekan tubuh tegapnya ke arah Winda, membuat Winda bisa merasakan detak jantung pria itu yang tenang namun mematikan. "Kau punya nyali yang besar untuk berani menginjakkan kaki di sini, putri pengkhianat," desis Seonwoo tepat di depan bibir Winda. "Ayahku tidak bersalah, Tuan! Kau hanya mendengar cerita dari satu sisi!" Winda membalas, matanya mulai berkaca-kaca karena amarah dan rasa sakit di lengannya. Seonwoo tertawa sinis, suara tawa yang tidak memiliki kehangatan sedikit pun. "Tentu saja. Semua tikus akan mengatakan hal yang sama sebelum mereka dihancurkan. Kau pikir aku menerimamu di sini karena prestasimu? Tidak. Aku menerimamu agar aku bisa melihatmu membusuk di depan mataku setiap hari." Di dalam lift yang terus bergerak naik menuju lantai tertinggi itu, Winda gemetar hebat. Ia menyadari bahwa ia bukan masuk ke dalam perusahaan impiannya, melainkan masuk ke dalam sangkar emas yang dijaga oleh seseorang yang menuntut balas dendam. Jari-jari Seonwoo beralih mencengkeram rahang Winda, memaksanya untuk menatap kebencian yang terpancar di matanya. "Kau akan membayar setiap detik penderitaan yang aku rasakan sejak kematian ayahku. Dan aku akan memulainya sekarang."Napas Winda tersengal, dadanya naik-turun dengan tidak teratur saat ia bersandar lemas pada dinding kaca penthouse yang membeku. Seonwoo baru saja melepaskan kungkungannya, namun aura predator pria itu masih terasa menyelimuti seluruh ruangan. Winda menatap pantulan dirinya di kaca; kemeja putihnya sudah tidak berbentuk, robek di beberapa bagian akibat cengkeraman Seonwoo, memperlihatkan kulit pucatnya yang kini dipenuhi jejak kemerahan yang terasa panas."Jangan hanya diam di sana," suara Seonwoo memecah kesunyian, rendah dan penuh otoritas. "Aku lapar. Pergi ke dapur dan siapkan sesuatu untukku."Winda mendongak, matanya yang sembab menatap tidak percaya pada pria yang kini sedang membelakanginya sambil merapikan lengan kemeja hitamnya. "Ini sudah tengah malam, Tuan Han... aku... aku lelah dan tubuhku sakit."Seonwoo berbalik perlahan. Tatapannya begitu tajam, menelusuri setiap inci tubuh Winda yang terekspos. "Aku tidak bertanya apakah kau lelah atau tidak, Winda. Setiap detik wak
Keheningan di dalam penthouse mewah milik Seonwoo terasa jauh lebih mengintimidasi daripada kebisingan di kantor HanGroup tadi. Winda, ia masih berdiri mematung di dekat ruang tengah. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena sisa ketakutan dari kejadian di pantry, tetapi juga karena kemeja putihnya yang basah kuyup mulai mendinginkan suhu tubuhnya hingga ke tulang.Kemeja itu menempel transparan di kulitnya, memperlihatkan rona merah di bahu dan lengannya akibat dorongan kasar para staf tadi. Di pipi kirinya, bekas tamparan Min-hee mulai membiru, memberikan rasa nyut-nyutan yang konstan.Winda menatap punggung tegap Seonwoo yang berdiri membelakanginya di depan dinding kaca raksasa yang menghadap langsung ke kerlap-kerlip lampu kota Seoul. Pria itu sudah melepaskan jas mahalnya, menyisakan kemeja hitam yang pas di tubuh atletisnya. Seonwoo tampak tenang, namun Winda tahu bahwa ketenangan pria itu hanyalah badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak.Winda menghirup napas panjang
Pagi itu, atmosfer di kantor HanGroup terasa jauh lebih dingin daripada salju yang mulai menumpuk di jalanan Seoul. Winda berjalan dengan langkah yang lebih berani, ia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan tajam yang menghujam punggungnya. Sejak hilangnya Junseob dari daftar karyawan secara mendadak, Winda secara otomatis menjadi musuh nomor satu bagi para staf. Mereka bukan melihatnya sebagai seorang asisten melainkan mereka melihatnya sebagai ancaman yang mampu menggulingkan posisi siapapun, sekalipun itu manajer senior hanya dengan satu kedipan mata kepada Sang CEO.Winda melangkah menuju pantry di lantai eksekutif. Tugasnya pagi ini tetap menyiapkan kopi hitam pekat tanpa gula kesukaan Seonwoo. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam cangkir porselen putih itu. Ia butuh ketenangan, setidaknya beberapa menit saja, jauh dari bisik-bisik jahat di area meja kerja.Namun, ketenangan itu hanyalah harapan yang sama sekali tidak bisa terwujud.Pintu pantry terbuka dengan kasar. Tiga ora
Keesokan paginya, kesadaran Winda seolah belum datang sepenuhnya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Seonwoo yang menguasainya semalam. Winda menghela napas selagi beranjak ke kantornya. Kini, udara di dalam kantor terasa jauh lebih mencekam daripada suhu di bawah tujuh derajat di luar gedung. Sejak Seonwoo secara resmi menariknya menjadi asisten pribadi, posisi yang seharusnya diisi oleh tenaga profesional dengan gelar dari universitas ternama, bisik-bisik kebencian mulai merayap di setiap sudut kantor.Winda baru saja hendak mengantarkan dokumen laporan keuangan ke ruang rapat ketika jalannya dihadang. Bukan oleh sembarang orang, melainkan oleh Choi Junseob, seorang Manajer Pemasaran yang dikenal sebagai salah satu 'anjing penjaga' paling setia di perusahaan itu.Choi Junseob berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Winda dari balik kacamata mahalnya dengan binar mata yang penuh penghinaan. Beberapa staf lain yang sedang lewat sengaja memperlambat langkah mereka, seperti ing






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.