“Bu, jadi benar ayah bukan ayah kita lagi?” lirih Langitku.Tidak ada jawaban yang keluar, hanya ada sebuah isakan yang lolos dari mulutku, ternyata ada yang lebih sakit dari diceraikan suami tanpa sebab, yaitu melihat sang buah hati menangis karena hatinya terluka akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.Langit, Bumi, ibu janji, Nak. Kita bertiga akan kuat berpijak, tidak perlu khawatir, Nak. Ibu akan berjuang untuk hidup kalian. Ibu tidak akan membiarkan ada hal yang lebih menyakitkan lagi, yang akan kalian hadapi setelah ini. Kuat ya, Nak. Bantu ibu untuk bertahan, Sayang.=====================================================Langit dan Bumi menolak untuk diberikan makan siang, mereka lebih memilih ke kamar untuk tidur siang. Sedihku bertambah karena melihat mereka murung tanpa gairah. Andai saja aku bisa merebut hati keluarganya mas Jazirah, pastilah hal buruk ini tidak akan pernah terjadi. Tapi apalah daya ku, sebagai manusia kami sangat dilarang untuk berandai-andai, karen
Aku mencoba memahami ucapan ustadnya anak-anakku, benar juga yang beliau katakana, walaupun terasa tidak adil bagi Langitku, tapi itu lebih baik, orang miskin seperti kami pasti akan kalah jika berhadapan dengan orang berada seperti mereka.Setelah mengucapkan terima kasih karena tadi secara tidak langsung sudah membela anak-anak, aku putuskan untuk berpamitan pulang, selain sebentar lagi maghrib, kami juga harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah bu Rosmalia.“Mbak Gianira …,” panggil Ustad Faiz ketika aku baru beranjak beberapa langkah.“Ya, Pak Ustad.”“Sabar, ya! Langit dan Bumi anak-anak baik, mereka anak yang kuat,” ucapnya seraya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk sopan, kemudian menggandeng tangan anak-anakku, dan membawa mereka pulang meninggalkan masjid.=====================================================Aku dan anak-anak tengah bersiap-siap, saat tiba-tiba saja pintu kontrakan kami digedor denga
Aku yang panik lantas berteriak, berusaha menghentikan mas Jazirah dari memukuli ustad Faiz. Pak mantri berusaha menahan kedua tangan mas Jazi agar tidak lagi melepaskan pukulan. Tanpa mengucapkan maaf ataupun terima kasih kepada ustad Faiz dan pak mantri karena sudah menolongku, mas Jazirah dengan paksa menarik kasar tanganku yang dibalut kain kasa untuk segera ikut pergi dengannya.Hingga hari berikutnya aku tidak pernah lagi bertemu dengan ustad Faiz, padahal aku ingin sekali berterima kasih dan meminta maaf. Setelah setahun kemudian aku baru mengetahui dari pak mantri saat control kandungan, jika ustad Faiz tengah melanjutkan pendidikannya di Mesir.=====================================================Setelah melaksanakan sholat maghrib di kontrakan, kami segera keluar untuk menuju ke rumah bu Rosmalia, aku berjanji akan datang sebelum isya kepada mas Riza. Tapi karena kejadian tidak terduga tadi, membuatku sedikit terlambat, karena harus membereskan barang-barang sesuai pada tem
Namun Tiara menolak, dia meminta ijin untuk bisa tidur bersama dengan ku dan anak-anak di kamar tamu, mau tidak mau akhirnya aku menyetujuinya. Ku temani mereka sikat gigi di kamar mandi belakang terlebih dahulu, kemudian ku bimbing Tiaa dan Langit masuk ke dalam kamar untuk tidur. Tidak lupa ku minta mereka untuk membaca doa terlebih dahulu. Aku baru saja akan membacakan Langit dan Tiara cerita, sebelum akhirnya terdengar suara gaduh dari arah kamar mandi, ku minta anak-anak tetap di dalam kamar dan melanjutkan tidur, sementara aku keluar untuk melihat apa yang terjadi di kamar mandi.=====================================================Langkah ku percepat untuk melihat penyebab suara gaduh yang berasal dari arah kamar mandi tempat mbak Rima sedang mandi. Ku ketuk berkali-kali pintunya, namun tidak juga dibuka, ada apa dengan mbak Rima. Karena panik aku terpaksa langsung membuka pintu kamar mandi tersebut, dan beruntungnya pintu itu tidak dikunci dari dalam oleh mbak Rima.Saat mem
Setelah memberikan sedikit instruksi kepada Gianira, akhirnya Riza menjalankan roda empatnya menuju ke rumah sakit. Dia harus bergantian menjaga ibunya malam ini. Udara malam yang dingin kembali mengingat kejadian naas yang merenggut nyawa sang istri, sudah cukup lama Riza menyalahkan diri dan Tiara sebagai penyebab kematian istrinya. Bukan tanpa usaha, sudah beberapa psikiater dia datangi untuk berkonsultasi mengenai masalah yang dialaminya, namun nihil, tembok yang dia bangun terlalu kokoh, hingga dirinya sendiripun tidak dapat menghancurkannya kembali.“Maaf aku tidak becus merawat anak kita, Nir …,” lirih Riza, air matanya menggenang di pelupuk mata.=====================================================Pov GianiraAku terbangun tepat lima belas menit sebelum adzan subuh berkumandang, rasa lelah karena kejadian kemarin membuatku tidur terlalu pulas hingga terlewat untuk bangun sholat malam. Setelah melantunkan doa bangun tidur, bergegas aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri
Kondisi kesehatan Bu Rosmalia berangsur-angsur membaik, tepat empat ari setelah operasi pemasangan ring jantung, Bu Rosmalia diijinkan dokter boleh pulang. Mas Riza dan Mbak Rima yang menjemputnya, sementara aku dan anak-anak menunggu di rumah sambil menyiapkan kejutan khusus untuk menyambut kedatangan pemilik rumah ini.=====================================================Aku dan anak-anak sedang sibuk menyiapkan kejutan untuk penyambutan kedatangan bu Rosmalia, sebenarnya ini idenya mbak Rima yang menginginkan ibundanya mendapat kejutan saat pulang dari rumah sakit, kemudian disambut setuju serta binary bahagia dari anak-anak.Sejak pagi Tiara, Langit dan Bumi antusias sekali membantuku menyiapkan semuanya, mulai dari mendekor ruang tamu yang dihias dengan balon warna warni yang ditiup langsung oleh mereka, membuat tulisan penyambutan di atas kertas karton serta membantuku membuat masakan sehat untuk menu makannya nenek mereka.Tadi malam mbak Rima memberiku sejumlah uang untuk ku
Kamar selanjutnya yang aku tuju adalah kamar milik bu Rosmalia, ku ketuk pintunya dan dibukakan oleh Mbak Rima, aku ijin untuk membersikan kamarnya, saat aku tengah menyapu, tiba-tiba Bu Rosmalia mengintrupsiku dengan pertanyaan yang membuatku diam terpaku.“Apa benar kamu dicerai suamimu, Gi?”=====================================================“Gianira? Apa benar si Jazirah meninggalkan mu dan anak-anak?” tanya Bu Rosmalia lagi, karena tidak kunjung mendapat jawaban dariku.Aku masih bergeming, bingung ingin memberikan jawaban apa, satu sisi benar apa yang ditanyakan oleh majikanku itu, tapi di sisi lain, aku enggan membahasnya, karena selain ada anak-anak, rasanya aku tidak ingin mengingat pahitnya perlakuan mas Jazirah kepada kami.”Anak-anak, kalian main sendiri dulu ya di taman belakang, nenek mau istirahat dulu,” Mbak Rima yang memahami pandanganku ke arah anak-anak, membuatnya berinisiatif untuk meminta mereka keluar kamar.“Sini duduk, Gi! Nanti saja ngepelnya!”Aku mengham
“Tapi sampai saat inipun saya tidak tau apa mas Jazira sudah mengurus perceraian kami atau belum, karena sampai sekarang saya belum menerima surat panggilan dari pengadilan agama, Mas.”“Tidak masalah, saya bisa mengeceknya, nanti jika sudah ketahuan terdaftar, Mbak Gia tinggal menunggu jadwal sidangnya, dan kita akan datang ke persidangan, saya akan bantu kamu untuk proses perceraian ini sampai selesai,” ujar Mas Riza serius, aku baru kali ini melihatnya bicara panjang lebar kepadaku tanpa ada nada ketus di suaranya.“Iya, Mbak Gia tenang aja, Mas Rizaku ini pengacara handal, kalau cuma lawan orang macam Jazirah aja mah gampil, iyakan, Mas?” gurau Mbak Rima. Kalau aku tidak salah melihat, wajah Mas Riza memerah dibuatnya, lucu sekali, membuatku ikut tersenyum.=====================================================Setelah menyelesaikan pembahasan mengenai langkah apa yang akan aku ambil untuk menghadapi proses perceraian nanti, aku melanjutkan untuk membersihkan kamar Bu Rosmalia, se