Khusus Dewasa! (21+) “Stop, Max! Berhenti! Seharusnya Chris yang menemaniku untuk makan malam!” “Kenapa menunggu seseorang yang bahkan tak mau datang, hm?” Suara Max berat dan rendah, membuat dada Laura bergetar. *** Berawal dari sebuah surat yang berisi ajakan makan malam di sebuah hotel, Laura mengira jika surat tersebut ditulis oleh Chris—suaminya untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Ternyata ia salah. Wanita itu berakhir tidur satu ranjang dengan Max—CEO Holligan Grup. Di saat hubungannya dengan Max semakin rumit, Laura harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya lebih dulu selingkuh dengan seseorang yang ia kenal. Akankah Laura terus bertahan demi rumah tangganya? Atau ia memilih mengakhiri semuanya dan mencari kebahagiaan di tempat lain?
Lihat lebih banyak“Stop, Max! Berhenti! Seharusnya Chris yang menemaniku untuk makan malam!”
Dalam keadaan mabuk, Laura Kiehl mendorong dada bidang milik Max Holligan—sahabatnya bersama sang suami sekaligus bos mereka di tempat kerja. Napas Laura terasa berat, matanya sayu, dan rambut hitamnya menjuntai tidak karuan menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri di kamar hotel mewah, hanya mengenakan dress satin tipis berwarna merah marun yang begitu menggoda. Bahunya terbuka, kaki jenjangnya terekspos, dan aroma parfum vanila amber memabukkan ruangan. Max tidak berniat bergerak dari posisinya yang telah berdiri sangat dekat dengan tubuh Laura. Pria itu menatap sang wanita dengan senyum tipis di wajah tampannya. Senyum yang membuat napas Laura semakin tidak beraturan. “Kenapa menunggu seseorang yang bahkan tak mau datang, hm?” Suara Max berat dan rendah, membuat dada Laura bergetar. Laura menggeleng pelan. “Kau bohong. Surat itu ... aku pikir dari Chris,” bisik Laura dengan lirih penuh sesal. Di hari jadi pernikahannya yang ketiga tahun, Laura mendapatkan sebuah surat bersampul putih dengan tulisan tangan rapi. Surat itu berisi sebuah ajakan makan malam romantis di kamar hotel yang telah dipesan khusus untuk berdua. Akan tetapi, hingga hampir tengah malam, Chris tak muncul. Di saat Laura sudah mabuk karena menenggak minuman terlalu banyak, tiba-tiba pintu kamar hotel dibuka dari luar. Laura mengira bahwa yang datang adalah suaminya. Nyatanya ia salah, yang datang justru Max dan kini semuanya sudah terlambat. Laura kini mengerti jika surat tersebut adalah sebuah jebakan dari Max—cinta pertamanya yang dulu diam-diam pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. “Aku tidak pernah membohongimu Laura,” bisik Max semakin mendekatkan tubuhnya pada Laura yang mulai goyah. “Dan aku tahu kau sengaja mengenakan pakaian ini untuk menggoda.” Laura mundur satu langkah. Tangannya berusaha menahan tubuh Max yang kian mendekat, tapi tenaga dan pikirannya sudah tumpul karena wine mahal yang ia teguk sejak tadi. “Kau sahabat Chris! Kita tak boleh begini.” Max berhenti, kini tubuhnya menghimpit Laura di dinding kamar. Matanya yang dalam memerangkap tatapan wanita itu. “Aku juga lelaki yang mencintaimu lebih dulu, Laura. Bukan dia!” Laura menggeleng. “Tidak. Kamu gila, Max!” “Ya, aku memang gila,” bisik Max, lalu menunduk, bibirnya menyentuh pundak Laura sekilas. “Tapi aku tidak bisa diam lagi. Aku lelah melihatmu pura-pura bahagia.” “Max, jangan! Aku mohon,” desah Laura, tubuhnya bergetar. Tapi saat jemari Max menyentuh lengannya perlahan lalu naik menyentuh tengkuknya, ia menggigit bibir sendiri. Otaknya menolak, tapi tubuhnya merespons lain. “Sudah berapa lama Chris tidak menyentuhmu, Laura?” bisik Max di telinganya. “Tiga bulan? Enam bulan?” Kedua mata Laura membelalak. Hatinya remuk. Bagaimana Max bisa tahu? Chris memang berubah. Sejak posisinya di perusahaan Max naik, ia selalu pulang larut malam, tidur lebih cepat, dan sering kali menghindari tatapan Laura. Ia merasa diabaikan, bahkan di malam perayaan pernikahan mereka saat ini. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Max?!” bentak Laura. Ia terisak pelan. “Oh, ya?” balas Max dengan senyum miring. “Bibirmu menolak, tapi tubuhmu berkata lain.” Laura hendak menjawab, tapi bibir Max sudah menekannya. Lembut namun dalam. Menariknya kembali pada masa lalu yang belum benar-benar selesai. Laura ingin mendorong Max dan menjauhkan dirinya, tapi tubuhnya lemas. Ia gemetar, dirinya tak bisa berpaling. Bahkan ketika tangan Max melingkar di pinggangnya, Laura tidak menolak. Justru tanpa sadar, jemarinya melingkar di leher Max, menariknya lebih dekat. Air mata mengalir di sudut matanya saat Max membaringkannya di atas ranjang. Suasana menjadi sunyi. Hanya ada desahan tertahan, napas yang tersengal, dan suara hati yang bergemuruh. Max memperlakukannya begitu lembut namun penuh hasrat yang seolah sudah terpendam bertahun-tahun lamanya. Setiap kali bibir mereka bersentuhan, hati Laura seperti terbakar rasa bersalah. Akan tetapi, di waktu yang sama hatinya juga dibanjiri kehangatan yang telah lama ia rindukan. Laura tidak pernah membayangkan akan mengkhianati Chris, tapi malam itu ia tak lagi mengenali dirinya sendiri. Keesokan harinya, di saat sinar matahari menembus celah tirai dan jatuh tepat di wajah Laura, wanita itu mengerang pelan. Ia menggeliat lalu membuka mata perlahan. Kepalanya berat, tapi yang lebih mengejutkan adalah tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Selimut putih menutupi sebagian tubuhnya dan lengan kekar Max melingkar di pinggangnya. Jantungnya berdebar kencang. “Astaga!” bisiknya pelan, memukul kening dengan tangan kanannya. Semua yang terjadi bukanlah mimpi. Laura mencoba bergerak perlahan, menghindar dari pelukan Max. Akan tetapi, pria itu justru terbangun. Max mengerjap pelan, lalu menarik Laura kembali ke dadanya. “Ada apa, Sayang?” gumam Max dengan suara serak masih mengantuk. Laura menepis tangannya panik. “Lepas, Max! Aku harus pulang sekarang!” Max membuka mata sepenuhnya. “Tenang, Laura. Ini masih pagi,” ucapnya sambil membelai pipi mulus milik Laura. “Kamu gila, Max! Aku tidak boleh ada di sini. Ini salah besar.” Laura bangkit dari ranjang, mengambil pakaian dalam buru-buru lalu mengenakan gaunnya kembali. Tangannya gemetar. Ia bahkan sempat kehilangan sebelah anting. Max duduk di pinggir ranjang, tak beranjak. “Aku tahu kau takut, tapi semalam kita sama-sama jujur Laura. Bahkan kau begitu menikmatinya.” Laura tak menjawab. Matanya merah. Ia hanya memungut clutch-nya, lalu bergegas keluar kamar meninggalkan Max yang masih menatap punggungnya dengan senyum rumit. Penuh kemenangan sekaligus luka. Beberapa menit kemudian, Laura menginjakkan kaki dengan napas berat. Jantungnya seperti hendak meledak. Ia menuruni taksi dengan cepat, mengintip jam tangan yang menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Laura berlari memasuki halaman rumahnya, namun tak sengaja kakinya terpeleset hingga terjatuh. “Augh! Sakit!” ringisnya pelan, namun Laura mencoba mengabaikan luka pada lututnya tersebut. Saat memasuki rumah, suasana terlalu hening. Tak seperti biasanya atau mungkin hanya prasangkanya saja. Dia berpikir jika Chris pasti sudah pergi ke kantor seperti biasanya. Langkahnya pelan menaiki anak tangga, mendekati kamar tidur mereka di lantai dua. Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu... Klik. Pintu terbuka dari dalam. Di sana, Chris berdiri. Mengenakan kemeja putih bersih, jam tangan hitam kesayangannya, dan ekspresi wajah yang tidak bisa dibaca. Mata mereka bertemu. Napas Laura tercekat. Chris menatap Laura dari ujung kepala sampai kaki. Ia melihat rambut istrinya masih sedikit berantakan. Bibirnya pucat. Gaunnya kusut. Tanpa tersenyum, pria itu berkata pelan dan datar namun menusuk. “Dari mana saja, Laura?”Chris memegangi perutnya. “Tadi mau ambil air minum dari kulkas. Terus perutku sakit banget. Nggak sempat naik ke atas.”Laura mengangguk pelan. Wajahnya datar.“Oh begitu,” gumam Laura. “Sekarang kamu siap-siap ya, kita punya hidangan spesial pagi ini dari Kirana.” “Jadi semua ini masakan Kirana?” tanya Chris. “Sorry, Chris. Aku terlambat bangun tidur tadi,” balas Laura merasa bersalah.Chris mendekat. Mencium kening Laura. “It's ok. Pasti kamu kecapekan semalam. Untung saja ada Kirana di sini.”“Ayo kita makan, sebelum makanan ini dingin,” ucap Laura mencoba mengalihkan suasana. Ia merasa malu karena Chris menciumnya di hadapan Kirana.Ketiganya pun duduk di meja makan. Suasana sedikit canggung. Laura duduk di antara Chris dan Kirana. Sesekali, Kirana dan Chris bertukar pandang.Laura diam. Ia memerhatikan tiap gerakan mereka. Gerakan mata. Senyum. Bahkan cara Kirana memotong sosis dan menyuapkannya ke mulutnya sendiri terasa seperti sedang memancing reaksi seseorang.“Gimana ras
Kirana tampak sedikit terkejut, tapi ia tetap tersenyum sambil menyibak rambutnya ke belakang. “Maaf banget, Lau. Aku nggak bermaksud lancang. Tadi udah nunggu lama, tapi airnya benar-benar kecil banget. Kupikir kamu nggak keberatan.” Laura menatapnya dalam diam. Matanya bergerak dari handuk yang Kirana kenakan, lalu ke ranjangnya sendiri, tempat dia dan Chris biasanya tidur. Semua terasa begitu salah. “Kamu bisa bilang padaku dulu,” ujar Laura, suaranya sedikit melunak. Kirana berjalan pelan menuju kursi rias, mengambil sisir dari tas kecilnya, dan mulai menyisir rambutnya. Seolah rumah itu adalah miliknya sendiri. “Ya, aku tahu. Tapi kamu kelihatan repot banget tadi. Udah pusing urus Chris, masih beberes kamar tamu. Aku kasihan lihat kamu,” jelas Kirana tanpa menoleh. “Lagian bajuku juga kotor kena muntahan Chris waktu di jalan.” Laura terdiam. Ia merasa bersalah karena terlalu curiga kepada sahabatnya sendiri. Bukankah Kirana satu-satunya yang selalu ada buatnya? Harusnya L
Laura tak menyangka jika suaminya pulang dalam keadaan mabuk berat dan yang lebih menyakitkan adalah Chris pulang bersama seorang gadis. Gadis itu adalah Kirana. Sahabat dekatnya. “Kirana...?” suara Laura tercekat. Tatapannya bergantian antara wajah pucat Kirana dan tubuh lemas Chris yang setengah bersandar di bahunya. Kirana terlihat gugup, namun tetap berusaha tenang. “Aku nemuin dia di jalan, Lau. Dia... dia mabuk berat. Nggak tega kalau dibiarkan begitu saja, jadi aku bawa pulang ke sini.” Laura mematung. Matanya menatap tajam ke arah Kirana, mencoba mencari kebenaran di balik ucapannya. “Kamu nemuin dia di jalan? Di mana?” “Di dekat bar itu... yang di ujung jalan. Aku nggak sengaja lewat, terus lihat dia lagi duduk di pinggir trotoar, sendirian. Dia kelihatan kacau banget. Sumpah, Lau, aku cuma nolongin,” ucap Kirana tergesa. Chris menggeram pelan, tak sadar, lalu menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Bau alkohol tercium tajam. Laura menahan napasnya. Rasa curiga mencuat beg
Laura langsung menegakkan tubuhnya, seolah tersengat aliran listrik. Suara itu begitu familiar, tajam, dan sekarang penuh nada cemas.Laura berdiri tergesa. Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih gagang kursi di sampingnya untuk menenangkan diri. Max sudah kembali ke posisi berdirinya yang tegak dan penuh kontrol, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.Chris melangkah ke arah mereka, sorot matanya langsung menyapu dua orang di hadapannya. Ada ketegangan yang jelas dalam atmosfer itu, meskipun tidak ada yang berbicara terlebih dahulu.Laura yang akhirnya memecah keheningan. “Maaf, Chris. Ponselku tertinggal di meja kerja. Aku hanya ingin sendirian di sini, ternyata tak sengaja berjumpa Max.”Nada suaranya berusaha terdengar normal. Tapi Chris tidak langsung menjawab. Tatapannya berganti-ganti antara Laura dan Max.“Aku mengerti,” ujar Chris kemudian. “Tapi tolong, kalau tidak enak badan, kau seharusnya istirahat. Aku khawatir.”Max menoleh ke arah lain, memasukkan kedua tangan ke dal
Laura mengernyit. “Kenapa aku harus mengikuti saranmu?”“Wajahmu terlihat lelah dan kau butuh lebih banyak istirahat. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak, Max. Aku harus tetap bekerja. Jika kau tidak mau mengantarkan aku pergi ke kantor, aku bisa naik taksi.”Max tidak menjawab. Ia membuang napas kasar lalu membukakan pintu mobil untuk Laura.“Kau bisa tetap bekerja.”Perlahan, Laura masuk ke dalam mobil, hatinya berat oleh konflik yang terasa rumit semenjak peristiwa malam panas itu terjadi. Mobil melaju tenang, menyusuri jalanan Valmerra yang masih basah oleh hujan semalam. Langit mendung, seolah ikut memantulkan kekalutan dalam benaknya.Sepanjang perjalanan, tak ada dialog. Hanya suara lembut mesin dan desiran ban yang memecah keheningan. Laura menatap ke luar jendela.Sesampainya di gedung Holligan Grup, Laura menghela napas panjang. Max turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Laura tanpa sepatah kata. Namun saat Laura berjalan menuju lift, ia bisa merasakan tatapa
Chris menoleh dan tersenyum. “Maaf. Ada urusan yang harus aku selesaikan sama adikku.”Laura mengernyit. “Kenapa nggak bangunin aku? Aku mau ikut.”Chris mendekat, membelai pipi istrinya dengan lembut. Jemarinya terasa dingin.“Kamu tadi tidur nyenyak banget. Kelihatan capek. Aku nggak tega ganggu.”Laura menunduk, sedikit tersenyum, walau dadanya terasa berat. Ia hanya mengangguk.Chris mencium keningnya singkat. “Kamu pakai motor dulu, ya? Atau naik taksi ke kantor biar nanti kita tetap bisa pulang bareng.”“Baiklah. Aku naik taksi saja pagi ini.”Chris lalu mengambil map cokelat dari meja dan pergi tanpa banyak bicara lagi. Hanya suara pintu tertutup yang tersisa.Laura menatap kosong ke arah pintu.Ada sesuatu yang mulai menguap dari rumah ini dari pernikahan mereka dan ia tak tahu apakah ia sanggup mempertahankannya sendirian.Laura duduk di tepi tempat tidur cukup lama. Ia sebenarnya tidak bersemangat untuk pergi ke kantor hari ini. Tapi hidup tak pernah memberi ruang untuk keme
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen