LOGIN“Stop, Max! Berhenti! Seharusnya Chris yang menemaniku untuk makan malam!” “Kenapa menunggu seseorang yang bahkan tak mau datang, hm?” Suara Max berat dan rendah, membuat dada Laura bergetar. *** Berawal dari sebuah surat yang berisi ajakan makan malam di sebuah hotel, Laura mengira jika surat tersebut ditulis oleh Chris—suaminya untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Ternyata ia salah. Wanita itu berakhir tidur satu ranjang dengan Max—CEO Holligan Grup. Di saat hubungannya dengan Max semakin rumit, Laura harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya lebih dulu selingkuh dengan seseorang yang ia kenal. Akankah Laura terus bertahan demi rumah tangganya? Atau ia memilih mengakhiri semuanya dan mencari kebahagiaan di tempat lain? Follow IG author yuk... @richmama23_
View More“Stop, Max! Berhenti! Seharusnya Chris yang menemaniku untuk makan malam!”
Dalam keadaan mabuk, Laura Kiehl mendorong dada bidang milik Max Holligan—sahabatnya bersama sang suami sekaligus bos mereka di tempat kerja. Napas Laura terasa berat, matanya sayu, dan rambut hitamnya menjuntai tidak karuan menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri di kamar hotel mewah, hanya mengenakan dress satin tipis berwarna merah marun yang begitu menggoda. Bahunya terbuka, kaki jenjangnya terekspos, dan aroma parfum vanila amber memabukkan ruangan. Max tidak berniat bergerak dari posisinya yang telah berdiri sangat dekat dengan tubuh Laura. Pria itu menatap sang wanita dengan senyum tipis di wajah tampannya. Senyum yang membuat napas Laura semakin tidak beraturan. “Kenapa menunggu seseorang yang bahkan tak mau datang, hm?” Suara Max berat dan rendah, membuat dada Laura bergetar. Laura menggeleng pelan. “Kau bohong. Surat itu ... aku pikir dari Chris,” bisik Laura dengan lirih penuh sesal. Di hari jadi pernikahannya yang ketiga tahun, Laura mendapatkan sebuah surat bersampul putih dengan tulisan tangan rapi. Surat itu berisi sebuah ajakan makan malam romantis di kamar hotel yang telah dipesan khusus untuk berdua. Akan tetapi, hingga hampir tengah malam, Chris tak muncul. Di saat Laura sudah mabuk karena menenggak minuman terlalu banyak, tiba-tiba pintu kamar hotel dibuka dari luar. Laura mengira bahwa yang datang adalah suaminya. Nyatanya ia salah, yang datang justru Max dan kini semuanya sudah terlambat. Laura kini mengerti jika surat tersebut adalah sebuah jebakan dari Max—cinta pertamanya yang dulu diam-diam pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. “Aku tidak pernah membohongimu Laura,” bisik Max semakin mendekatkan tubuhnya pada Laura yang mulai goyah. “Dan aku tahu kau sengaja mengenakan pakaian ini untuk menggoda.” Laura mundur satu langkah. Tangannya berusaha menahan tubuh Max yang kian mendekat, tapi tenaga dan pikirannya sudah tumpul karena wine mahal yang ia teguk sejak tadi. “Kau sahabat Chris! Kita tak boleh begini.” Max berhenti, kini tubuhnya menghimpit Laura di dinding kamar. Matanya yang dalam memerangkap tatapan wanita itu. “Aku juga lelaki yang mencintaimu lebih dulu, Laura. Bukan dia!” Laura menggeleng. “Tidak. Kamu gila, Max!” “Ya, aku memang gila,” bisik Max, lalu menunduk, bibirnya menyentuh pundak Laura sekilas. “Tapi aku tidak bisa diam lagi. Aku lelah melihatmu pura-pura bahagia.” “Max, jangan! Aku mohon,” desah Laura, tubuhnya bergetar. Tapi saat jemari Max menyentuh lengannya perlahan lalu naik menyentuh tengkuknya, ia menggigit bibir sendiri. Otaknya menolak, tapi tubuhnya merespons lain. “Sudah berapa lama Chris tidak menyentuhmu, Laura?” bisik Max di telinganya. “Tiga bulan? Enam bulan?” Kedua mata Laura membelalak. Hatinya remuk. Bagaimana Max bisa tahu? Chris memang berubah. Sejak posisinya di perusahaan Max naik, ia selalu pulang larut malam, tidur lebih cepat, dan sering kali menghindari tatapan Laura. Ia merasa diabaikan, bahkan di malam perayaan pernikahan mereka saat ini. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Max?!” bentak Laura. Ia terisak pelan. “Oh, ya?” balas Max dengan senyum miring. “Bibirmu menolak, tapi tubuhmu berkata lain.” Laura hendak menjawab, tapi bibir Max sudah menekannya. Lembut namun dalam. Menariknya kembali pada masa lalu yang belum benar-benar selesai. Laura ingin mendorong Max dan menjauhkan dirinya, tapi tubuhnya lemas. Ia gemetar, dirinya tak bisa berpaling. Bahkan ketika tangan Max melingkar di pinggangnya, Laura tidak menolak. Justru tanpa sadar, jemarinya melingkar di leher Max, menariknya lebih dekat. Air mata mengalir di sudut matanya saat Max membaringkannya di atas ranjang. Suasana menjadi sunyi. Hanya ada desahan tertahan, napas yang tersengal, dan suara hati yang bergemuruh. Max memperlakukannya begitu lembut namun penuh hasrat yang seolah sudah terpendam bertahun-tahun lamanya. Setiap kali bibir mereka bersentuhan, hati Laura seperti terbakar rasa bersalah. Akan tetapi, di waktu yang sama hatinya juga dibanjiri kehangatan yang telah lama ia rindukan. Laura tidak pernah membayangkan akan mengkhianati Chris, tapi malam itu ia tak lagi mengenali dirinya sendiri. Keesokan harinya, di saat sinar matahari menembus celah tirai dan jatuh tepat di wajah Laura, wanita itu mengerang pelan. Ia menggeliat lalu membuka mata perlahan. Kepalanya berat, tapi yang lebih mengejutkan adalah tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Selimut putih menutupi sebagian tubuhnya dan lengan kekar Max melingkar di pinggangnya. Jantungnya berdebar kencang. “Astaga!” bisiknya pelan, memukul kening dengan tangan kanannya. Semua yang terjadi bukanlah mimpi. Laura mencoba bergerak perlahan, menghindar dari pelukan Max. Akan tetapi, pria itu justru terbangun. Max mengerjap pelan, lalu menarik Laura kembali ke dadanya. “Ada apa, Sayang?” gumam Max dengan suara serak masih mengantuk. Laura menepis tangannya panik. “Lepas, Max! Aku harus pulang sekarang!” Max membuka mata sepenuhnya. “Tenang, Laura. Ini masih pagi,” ucapnya sambil membelai pipi mulus milik Laura. “Kamu gila, Max! Aku tidak boleh ada di sini. Ini salah besar.” Laura bangkit dari ranjang, mengambil pakaian dalam buru-buru lalu mengenakan gaunnya kembali. Tangannya gemetar. Ia bahkan sempat kehilangan sebelah anting. Max duduk di pinggir ranjang, tak beranjak. “Aku tahu kau takut, tapi semalam kita sama-sama jujur Laura. Bahkan kau begitu menikmatinya.” Laura tak menjawab. Matanya merah. Ia hanya memungut clutch-nya, lalu bergegas keluar kamar meninggalkan Max yang masih menatap punggungnya dengan senyum rumit. Penuh kemenangan sekaligus luka. Beberapa menit kemudian, Laura menginjakkan kaki dengan napas berat. Jantungnya seperti hendak meledak. Ia menuruni taksi dengan cepat, mengintip jam tangan yang menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Laura berlari memasuki halaman rumahnya, namun tak sengaja kakinya terpeleset hingga terjatuh. “Augh! Sakit!” ringisnya pelan, namun Laura mencoba mengabaikan luka pada lututnya tersebut. Saat memasuki rumah, suasana terlalu hening. Tak seperti biasanya atau mungkin hanya prasangkanya saja. Dia berpikir jika Chris pasti sudah pergi ke kantor seperti biasanya. Langkahnya pelan menaiki anak tangga, mendekati kamar tidur mereka di lantai dua. Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu... Klik. Pintu terbuka dari dalam. Di sana, Chris berdiri. Mengenakan kemeja putih bersih, jam tangan hitam kesayangannya, dan ekspresi wajah yang tidak bisa dibaca. Mata mereka bertemu. Napas Laura tercekat. Chris menatap Laura dari ujung kepala sampai kaki. Ia melihat rambut istrinya masih sedikit berantakan. Bibirnya pucat. Gaunnya kusut. Tanpa tersenyum, pria itu berkata pelan dan datar namun menusuk. “Dari mana saja, Laura?”Setelah Laura dan Max menghabiskan beberapa minggu yang ajaib di villa terpencil di tepi Danau Como, Italia. Kini akhirnya mereka kembali ke Valmerra, tapi bukan ke penthouse mewah mereka, melainkan ke rumah yang jauh lebih besar dan hangat yaitu kediaman keluarga besar Max, yang dipimpin oleh Kakek Max—ayah dari Papanya. Ini adalah langkah yang disengaja Max, menempatkan Laura di bawah perlindungan benteng keluarga terkuat mereka, di mana siapapun itu tidak akan berani mendekat. Pagi itu di rumah keluarga besar terasa damai. Max sudah bangun lebih dulu, bersiap untuk hari pertamanya kembali di kantor setelah honeymoon panjang. Ia mengenakan kemeja dan dasi, lalu kembali ke ranjang untuk membangunkan Laura. Max membungkuk, mencium kening Laura lembut. “Bangun, Sweet Heart. Sudah pagi. Hari ini adalah hari pertama kembalinya Max si Raja Bisnis.” Laura mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. “Lima menit lagi, Max. Aku merasa sedikit pusing.” “Pusing?” Max menarik selimut i
Dengan perlahan ia menunduk, bibirnya menyapu garis rahang Laura, turun ke leher, lalu berhenti tepat di bahu. Ia tidak terburu-buru. Justru kesabaran itu yang membuat Laura hampir kehilangan akal. Tiap gigitan lembut, tiap kecupan yang dibiarkan berlama-lama, membuatnya bergetar tak karuan. Lalu, dengan gerakan tak terduga, Max menggulingkan tubuh Laura hingga kini ia berada di atas, namun tetap menahan tangannya di sisi kepala. Laura menatapnya dengan mata terbelalak sebentar, lalu tersenyum malu, tubuhnya memanas karena posisi baru itu membuatnya benar-benar tak berdaya. “Max ….” Suaranya nyaris berupa erangan pelan, bergetar di antara rasa ingin dan rasa malu. Max hanya menunduk, bibirnya kembali melahap bibir Laura, kali ini dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Lidah mereka bertemu lagi, saling menekan, saling mengisi, hingga Laura merasa paru-parunya seolah kehilangan udara. Namun Max belum puas. Tangannya yang bebas menyusuri sisi tubuh Laura, turun perlaha
Hari ketiga di Paris, saat mereka berjalan di taman yang tenang di dekat Jardin du Luxembourg, di tengah hamparan bunga tulip yang bermekaran, Laura dan Max berhenti sejenak di dekat sebuah air mancur. Keduanya memperhatikan sekelompok anak kecil bermain kejar-kejaran. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun menangis tersedu-sedu. Balon heliumnya, berbentuk astronot biru, tersangkut tinggi di dahan pohon yang rindang. “Astaga, kasihan sekali,” bisik Laura. Insting keibuannya langsung muncul. Ia bergegas mendekat, menenangkan si anak laki-laki. “Tidak apa-apa, Mon Chérie. Bibi akan ambilkan,” kata Laura dengan senyum lembut, meski ia harus berjinjit dan melompat sedikit. Laura berhasil meraih ujung tali balon itu, menariknya turun, dan memberikannya kembali kepada si anak. Wajah anak itu seketika bersinar. Ia memeluk balonnya erat-erat. “Merci, Madame! Merci!” seru anak tersebut riang. Tepat saat itu, datang anak laki-laki lain yang p
Max kemudian mengangkat Laura. Kali ini ia membaringkan sang istri perlahan di atas meja marmer panjang di kamar mandi. Meja itu dingin, memberikan kontras yang sensasional pada kulit Laura yang kini terasa semakin panas. Max berdiri di antara kaki Laura, menatapnya dengan hasrat yang membakar. “Aku ingin kau mengingat setiap sentuhanku,” bisik Max, suaranya pelan dan mengancam. “Aku ingin kau tahu bahwa tubuhmu hanya merespons padaku.” “Hanya padamu, Max. Selalu padamu,” desah Laura, tangannya meraih rambut Max, menariknya ke bawah untuk sebuah ciuman yang dalam. Max menerima ciuman itu dengan rakus. Ciuman mereka adalah ledakan dari penahanan diri sepanjang hari, penuh hasrat, dan gairah yang jujur. Max tidak lagi ragu. Ia menggerakkan tangannya dengan berani dan penuh kepemilikan. Laura melengkung di atas meja marmer yang dingin. Ia bisa merasakan Max mengambil alih segalanya. Desahannya kini bukan lagi godaan, tetapi pelepasan murni. Max mengangkat kepala sedikit, memu






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore