Karma Perselingkuhan
Bab 6
Dipecat
Mas Ahmad kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia hanya meminta izin selama seminggu. Sebenarnya agak berat melepas dia pergi. Namun, mau bagaimana lagi? Suamiku hanya karyawan, bukan bos. Mau tidak mau harus taat pada peraturan. Apalagi, zaman sekarang tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah sedikit saja, pasti diminta mengundurkan diri atau diberhentikan, masih banyak yang mau kerja.
Karena itulah, aku hanya bisa melepas keberangkatan Mas Ahmad dengan doa. Kalau masalah pekerjaan, aku tahu, Mas Ahmad orangnya bertanggung jawab. Selama bekerja, hampir tak pernah ada masalah berarti. Mas Ahmad cukup bisa dipercaya masalah pekerjaan. Aku berdoa semoga dia bisa menjaga hatinya agar tidak melakukan kesalahan seperti kemarin.
Sementara aku, diminta mengundurkan diri dulu dari pekerjaan. Mas Ahmad memintaku untuk mengurus Zea saja. Untuk sementara, aku diminta tinggal bersama orang tuaku. Nanti, kalau Zea sudah bisa dibawa melakukan perjalanan jauh, Mas Ahmad berjanji akan memboyong kami.
Alhamdulillah, Pak Burhan dan Bu Rani menghormati keputusanku. Bahkan, saat aku menelepon, kata mereka aku tidak perlu datang ke Jakarta hanya untuk mengurus surat pengunduran diri. Selain jauh, juga tak mungkin aku meninggalkan Zea, walau hanya beberapa hari. Jadi, surat pengunduran diri, kutitip saja pada Mas Ahmad.
***
Hari ini, kami menggelar acara akikahan untuk Zea. Mas Ahmad tidak pulang, karena baru beberapa hari berangkat. Seperti biasa, saat ada acara, keluarga pasti berkumpul. Tetangga juga banyak yang datang membantu. Keluarga Mas Ahmad pun datang. Mereka menyewa mobil untuk datang ke sini. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad diajak serta. Beberapa keluarga dan tetangga sibuk menjamu keluarga suamiku.
"Kamu ini, Fat. Dikasih saran malah nggak dipakai. Malah keluar kerja segala," omel ibu mertua saat tahu aku mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai pelayan toko. "Emang gaji Ahmad cukup buat biaya hidup ama nabung?"
Aku diam saja mendengar kalimat ibu mertua. Bukan tak berani melawan. Bagaimanapun, aku harus tetap menghormati ibu mertua. Apalagi di rumah sedang banyak orang. Bahkan beberapa orang, menatapku iba. Karena suara ibu mertua cukup kencang, jadi mungkin mereka mendengar omelan itu.
"Nanti, kalo Zea udah selesai ASI, saya kerja lagi, Bu. Sekarang, kasihan Zea," jawabku pelan.
"Halah alasan saja! Tuh, liat! Salman, Salsa, mereka sehat-sehat aja dikasih susu formula," sahut ibu mertua sambil menunjuk kedua cucunya yang sedang bermain di teras, Salman dan Salsa.
Salman dan Salsa memang sejak bayi diasuh oleh ibu mertua. Ibu mereka hanya mengurus sampai umur dua bulan. Setelah masa cuti melahirkan habis, ibunya kembali bekerja. Otomatis, Salman dan Salsa sejak bayi mengkonsumsi susu formula.
"Bu Besan, ayo, makan dulu. Udah ditunggu ama yang lain. Kita makan bareng, yuk," ajak ibuku sambil menarik lengan besannya agar meninggalkanku dan Zea.
Aku menarik napas lega.
"Sabar, Fat," bisik salah satu tetangga padaku. Mungkin dia kasihan melihatku diceramahi di depan orang banyak.
"Sudah biasa, Mbak," jawabku lirih, sambil tersenyum tipis. Samar kudengar ibu mertua sedang menceritakan dan membanggakan kakaknya Mas Ahmad. Enggan menambah sakit hati, aku memilih masuk ke kamar, pura-pura menidurkan Zea.
***
Tak terasa, tiga bulan sudah Mas Ahmad pergi ke Jakarta. Selama ini, semuanya baik-baik saja. Hampir setiap hari kami berkirim kabar. Mas Ahmad juga terbuka masalah uang gajinya.
Memasuki bulan ke empat, Mas Ahmad mulai jarang menghubungi kami. Alasannya sibuk karena toko semakin besar dan ramai. Aku mencoba mengerti dan menerima alasan itu.
Namun, memasuki bulan ke lima, Mas Ahmad semakin jarang menghubungiku. Hingga suatu hari, aku menerima kabar yang sangat mengejutkan. Salah satu tetanggaku mengatakan melihat Mas Ahmad di rumah orang tuanya.
Aku tak mau gegabah. Meskipun penasaran, aku tidak langsung mendatangi rumah mertuaku. Diam-diam aku menghubungi Bu Rani, pura-pura menanyakan apakah Mas Ahmad kerja atau tidak.
"Maaf, ya, Fat. Saya terpaksa melakukan ini," kata Bu Rani di seberang telepon.
"Melakukan apa, Bu?" tanyaku penasaran.
"Ahmad udah nggak kerja lagi ama saya. Dia diberhentikan."
Jujur, aku terkejut mendengar keterangan Bu Rani. "Dipecat, Bu? Kalo boleh tau, kenapa, ya?"
"Untuk masalah sebabnya, saya tidak bisa jelaskan. Fatimah tanya sendiri ke Ahmad, ya."
"Oh, iya, Bu. Terima kasih informasinya. Maaf sudah mengganggu, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku mengakhiri percakapan melalui telepon dengan Bu Rani.
Mas Ahmad dipecat? Tapi, kenapa? Seingatku Mas Ahmad selalu bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Hampir semalaman aku tak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Anehnya, saat aku menghubungi Mas Ahmad, dia mengaku baru saja pulang kerja shift siang. Suaranya juga tidak terdengar ragu.
"Fat, Zea nangis, kok dibiarin! Kamu lagi apa?"
Aku tergagap mendengar pertanyaan ibu yang muncul di pintu kamar. Lalu dengan gesit, wanita yang melahirkanku itu menggendong Zea yang menangis.
"Ada apa? Dari kemarin sore, kamu kelihatan murung. Ada masalah?"
Aku menghela napas, lalu menatap ibu yang sedang menimang Zea. "Mas Ahmad, Bu."
Kening ibu terlihat berkerut, "Ahmad, kenapa dia?"
"Beberapa hari yang lalu, Kang Amin melihat Mas Ahmad di rumah orang tuanya. Tapi pas aku telpon, Mas Ahmad bilang baru pulang kerja. Penasaran, aku nelpon Bu Rani."
Aku menjeda kalimat, untuk mengambil napas.
"Terus?" tanya Ibu.
"Kata Bu Rani, Mas Ahmad udah nggak kerja di sana."
"Maksudnya?"
"Mas Ahmad dipecat, Bu."
Ibu tampak terkejut, lalu mendekat padaku.
"Kok bisa? Kenapa?"
"Aku juga nggak tau, Bu. Bu Rani nggak mau menjelaskan apa sebabnya. Malah nyuruh aku nanya sendiri ke Mas Ahmad."
Ibu terlihat bingung.
"Yang bikin bingung, kenapa Mas Ahmad nggak terus terang sama aku, ya, Bu? Malah pulang ke rumah orang tuanya."
Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Beliau diam sebentar, seperti memikirkan sesuatu. "Mungkin Ahmad, nggak mau membebani pikiranmu, Fat."
Yang dikatakan ibu ada benarnya. Akan tetapi, bukankah, sebagai pasangan suami istri, kami harus saling terbuka? Apapun masalah yang terjadi, harusnya Mas Ahmad bercerita padaku.
"Aku harus gimana, Bu?"
Ibu menghela napas perlahan. "Kita tunggu aja sampai Ahmad datang ke sini, Fat."
Aku menyetujui usul ibu. Namun, sampai dua hari berlalu, masih tak ada kabar dari Mas Ahmad. Pesanku juga hanya dibaca, tidak dibalas. Karena penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk menelpon Mas Ahmad. Entah kenapa, tanganku gemetar saat menekan kontak bernama Ayah Zea. Dengan hati berdebar, aku menunggu panggilan diterima.
"Hallo." Terdengar suara serak khas orang bangun tidur dari seberang sana.
Deg! Tiba-tiba hatiku serasa berhenti berdetak saat mendengar suara itu. Tangan gemetar, kaki terasa lemas, tapi aku berusaha untuk tetap sadar. Agar bisa mengetahui siapa perempuan yang sudah berani mewakili suamiku, mengangkat telepon di pagi buta.
Karma Perselingkuhan Bab 7Terbongkarnya RahasiaAku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku. "Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya. Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?""Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku? "Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!" Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?" "Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.Tiba-tiba aku merasa seluruh
Karma Perselingkuhan Bab 8Bukti KebohonganSemua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini. Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu. "Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu. "Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu u
Karma PerselingkuhanBab 9Keputusan AhmadAku mengusap wajah kasar sambil terus beristighfar. Istri Kang Amin mengusap lembut pundakku, seolah memberikan kekuatan. Kalimat ibu mertua sungguh menyakitkan. Tidak ada lagi alasan untukku mempertahankan rumah tangga yang menurutku tidak sehat ini. Suami punya penyakit suka selingkuh, mertua juga ternyata tak menyukai kehadiranku. Jadi, untuk apa aku membuang waktu bersama mereka? Apa yang harus aku perjuangkan? Zea? Mudah-mudahan saat besar nanti, dia mengerti alasanku berpisah dengan ayahnya. "Mas Ahmad, sekarang, bagaimana keputusanmu? Masalah ini, berawal dari kamu yang membawa Mbak Fitri ke sini. Padahal, Mas Ahmad, masih punya istri.""Saya minta cerai!" selaku cepat.Mas Ahmad tampak terkejut. "Pikirkan lagi, Dek. Kasihan anak kita.""Anak? Harusnya yang kamu mikirin anak, sebelum mengkhianati pernikahan kita. Ini bukan yang pertama, Mas. Aku sudah memberikan kesempatan kedua. Nyatanya?"Mas Ahmad terdiam, dia tidak membantah kalim
Karma PerselingkuhanBab 10Masalah Belum Selesai Empat bulan sudah aku resmi menyandang status janda. Aku pikir, masalah akan selesai saat aku tak lagi memiliki ikatan apa-apa dengan Mas Ahmad. Namun, ternyata pikiranku salah. Mantan suamiku itu tak kunjung mengurus surat perceraian kami ke pengadilan. Bahkan, sepertinya dia cenderung mengulur waktu. Entah apa maksudnya. Sedangkan untuk mengurus sendiri, aku belum punya cukup uang. Uang tabungan yang kumiliki, sebagian dipakai untuk modal membuka warung kecil di depan rumah orang tuaku. Sisanya, kusimpan saja untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Akan tetapi, tetap saja belum cukup untuk mengurus perceraianku dengan Mas Ahmad. Tentang nafkah yang seharusnya tetap diberikan oleh Mas Ahmad, jangan tanyakan itu. Boro-boro memberikan uang untuk kebutuhanku dan Zea selama aku berada dalam masa iddah. Menanyakan kabar anaknya saja tidak. Bahkan, kudengar, Mas Ahmad sudah menikah lagi dengan Fitri, satu bulan setelah ia menjat
Karma Perselingkuhan Bab 11Kepala TokoSejak pertengkaran Mas Ahmad dan istrinya di depan rumah orang tuaku, mantan suamiku itu tidak pernah datang lagi. Boro-boro datang, atau memberikan nafkah untuk anaknya, menanyakan kabar saja tidak. Sedangkan warungku semakin hari semakin sepi. Terkadang malah aku menombok saat belanja lagi. Semalam, tiba-tiba Bu Rani menghubungiku, menawarkan pekerjaan. Bu Rani mengabarkan bahwa, anaknya membuka toko perlengkapan bayi di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Bu Rani menawariku untuk menjaga toko tersebut. Bahkan, aku boleh membawa serta Zea. Untuk tempat tinggal, aku tidak perlu pusing. Aku diperbolehkan tinggal di rumah pemilik toko, bersama dua karyawan lain. "Ibu perhatikan, kamu melamun terus dari pagi. Ada apa, Fat?" Aku menoleh pada Ibu yang sedang menidurkan Zea. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma, kepikiran tawaran Bu Rani semalam.""Oh. Ibu sih, terserah kamu saja. Tidak akan menyuruh menerima atau menola
Karma PerselingkuhanBab 12Apa Maumu? Untuk beberapa detik, aku terpaku di tempat sambil mengeratkan pelukan pada Zea. Sementara sosok itu semakin dekat. Dari sekian banyak pusat perbelanjaan di Jakarta, kenapa dia memilih datang ke sini? "Fatimah! Kamu di sini? Bagaimana kabar kalian?"Kalau bukan tempat umum aku pasti sudah menjawab pertanyaan itu dengan omelan. Buat apa dia menanyakan kabar kami? Bukankah kami terlihat baik-baik saja? "Eh, baik, Mas."Aku sama sekali tak berniat menanyakan kabarnya. Buat apa? Basa-basi? Toh, dia terlihat sehat dan bahagia. "Kamu di sini? Jalan-jalan atau?""Aku kerja. Maaf, Mas permisi, aku mau lanjut kerja."Belum sempat aku masuk ke dalam toko, seorang perempuan tiba-tiba menghampiri kami. Langkahnya tampak tergesa. "Oh, jadi kalian janjian di sini! Pantas aja, aku lagi milih baju ditinggal!" teriaknya membuat beberapa orang menoleh. Aku terkejut, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Otak bergerak cepat, mengantisipasi kal
Karma Perselingkuhan Bab 13Keguguran Waktu terus berlalu. Tidak terasa delapan bulan sudah, aku resmi menjadi janda di mata hukum negara dan agama. Ada kelegaan tersendiri yang kurasakan setelah mengantongi akta cerai. Mas Ahmad dan istrinya tak lagi datang mengganggu hidupku dan Zea. Mas Ahmad tak terdengar kabarnya. Dia memutus semua komunikasi denganku. Itu lebih baik untukku. Akan tetapi, terkadang aku merasa kasihan pada Zea. Dia menjadi korban keegoisan ayah dan ibu tirinya. Bocah cantik itu hanya tumbuh bersamaku. Padahal, aku dengar, Mas Ahmad dan istrinya tinggal di Jakarta. Mas Ahmad bekerja di sebuah pabrik. Namun, kalau memang Mas Ahmad tak ingin menemui anaknya, aku bisa apa? Tak mungkin aku memaksanya datang untuk Zea. Toh, Zea dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. "Mbak, ada yang nyari," ujar Rara, lembut. Aku yang sedang mencatat stok barang, menoleh pada Rara, yang tampak tak sendiri. Untuk beberapa detik, aku tertegun melihat siapa yang datang bersama R
Karma Perselingkuhan Bab 14 Mengundurkan Diri Berbulan-bulan setelah permintaan maaf itu, Mas Ahmad tak pernah lagi muncul. Entahlah, mungkin dia tidak lagi merindukan Zea yang semakin besar dan aktif. Dari kabar yang kudengar, Fitri akhirnya hamil lagi. Mungkin tiga atau empat bulan lagi, dia melahirkan. Mungkin karena itulah, Mas Ahmad sudah tidak peduli pada Zea. Walaupun kasihan pada Zea, tapi, aku tak peduli. Yang penting, mereka tidak mengganggu hidupku. Itu sudah lebih dari cukup. "Fatimah? Kamu, Fatimah, kan?" sapa seorang perempuan berkerudung kuning gading padaku. Aku mengerutkan kening, mencoba mengenali perempuan yang tengah tersenyum padaku itu. Kemudian mataku membulat, saat menyadari siapa yang kinu berdiri di depanku. "Anisa?" pekikku senang. Perempuan itu mengangguk, lalu menyalami dan memelukku. Kami saling menanyakan kabar masing-masing, lalu Anisa memperkenalkan anak dan suaminya. "Kok, bisa ada di sini, Nis?" tanyaku penasaran. Karena setahuku, Anisa beker