Karma Perselingkuhan
Bab 1
Terpergok
Tergesa aku melangkah menyusuri gang sempit menuju kontrakan untuk mengambil dompet yang tertinggal. Tak biasanya aku bisa lupa membawa benda penting itu. Sebenarnya tadi, bos pemilik toko tempatku bekerja menawariku memakai uang toko untuk membeli makan siang. Akan tetapi, aku juga ingat, suamiku juga pasti belum makan. Tadi pagi aku bangun kesiangan dan tidak sempat memasak. Karena itulah aku memaksa pulang saat jam makan siang, selain mengambil uang juga sekalian mengajak suamiku makan.
Sesampainya di kontrakan, aku mendorong pintu yang terbuat dari papan tipis itu. Dikunci. Mungkin suamiku masih tidur. Semalam ia yang kebagian shift siang, pulang sudah hampir tengah malam.
"Mas!" panggilku sambil mengetuk pintu. Tak ada sahutan. "Mas! Mas! Mas Ahmad!"
Tak ada sahutan, tapi samar terdengar kasak-kusuk dari dalam kontrakan.
"Mas!" panggilku lagi.
"Ya, bentar!" terdengar suara Mas Ahmad menyahut dari dalam. Lalu pintu terbuka. Sepintas aku melihat sprei dan bantal yang acak-acakan. Aku berusaha tak peduli, dan langsung membuka lemari untuk mengambil dompet.
"Mas, mau aku belikan makan sekalian apa beli sendiri nanti?" tanyaku.
"Beli sendiri aja nanti."
Mungkin karena buru-buru, dompetku terjatuh. Saat aku berjongkok mengambil dompet, tanpa sengaja tanganku menyentuh pakaian dalam wanita. Aku mengambilnya, mungkin punyaku yang terjatuh. Akan tetapi alangkah terkejutnya aku, saat menyadari benda pribadi itu bukan punyaku. Merasa jijik, kulempar benda itu. Dan tak jauh dari tempat benda berwarna hitam dengan hiasan renda itu jatuh, tergeletak juga pakaian dalam milik pria. Setelah kuamati, itu punya suamiku.
Sementara suamiku sepertinya tidak menyadari bahwa aku mencium sesuatu yang tidak beres. Dia pura-pura mengambil minum.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Refleks aku menoleh ke kamar mandi yang pintunya tertutup. Dengan kaki lemas aku berjalan ke kamar mandi, sekilas kulihat suamiku terkejut. Tanganku gemetar saat berusaha membuka pintu kamar mandi. Terkunci.
"Ada siapa di dalam, Mas? Kok dikunci?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Ng nggak ada siapa-siapa, Dek. Pintunya macet kali."
"Oh, macet. Bisa kamu tolong buka, aku kebelet pipis." Aku masih berusaha menahan diri untuk tidak mendobrak pintu kamar mandi ini.
"Ta-tapi, Dek." Mas Ahmad terlihat gugup.
"Kenapa? Atau aku yang dobrak?"
"Ja-jangan, Dek."
"Kalo begitu cepat buka! Atau aku mendobraknya?"
Mas Ahmad terlihat semakin gugup. Aku berjalan ke arahnya, sambil menyeret sapu.
"Bisa jelasin, itu punya siapa?" tanyaku sambil menunjuk pakaian dalam wanita yang tadi kulempar begitu saja. Aku memakai sapu untuk menunjuk benda itu. Wajah Mas Ahmad terlihat semakin tegang.
"Panggil perempuan itu keluar!" teriakku.
"Perempuan siapa, Dek?"
Kali ini aku tak lagi bisa menahan emosi. Aku berjalan ke arah pintu keluar.
"Pak Haji, Bu Haji, tetangga lain, tolong! Tolong!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak peduli lagi apa yang akan terjadi dan terus berteriak minta tolong.
"Dek! Apa-apaan kamu ini!" bentak Mas Ahmad sambil berusaha membungkam mulutku dengan tangannya. Aku langsung mual, teringat tangan itu habis dipakai menyentuh perempuan lain. Kugigit kuat-kuat jari tangan Mas Ahmad, hingga dia kesakitan dan melepas bekapannya.
Beberapa tetangga berdatangan.
"Ada apa, Mbak Fat?"
"Tolong panggil Pak Haji! Tolong, ini penting!" teriakku. Mas Ahmad terlihat semakin panik.
"Tolong pegangi suami saya biar nggak kabur!" teriakku. Mas Parjo dan Kang Maman menuruti permintaanku. Mereka memegang Mas Ahmad tanpa banyak bertanya. Pak Haji yang kebetulan rumahnya menempel dengan kontrakan ini, datang bersama istrinya.
"Ada apa ini?" tanya Pak Haji kebingungan.
Aku menarik napas dan membuangnya kasar. Bu Haji langsung mendekat dan memelukku. Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya jatuh juga. "Pak Haji, bisa tolong, buka pintu kamar mandi?"
Pak Haji yang masih terlihat bingung, berjalan ke kamar mandi dan berusaha membuka pintu yang terkunci.
"Mbak Fatimah, pintunya rusak?" tanya Pak Haji.
Aku menggeleng sambil mengusap air mata yang tak mau berhenti. "Di dalamnya ada perempuan selingkuhan suami saya, Pak."
Pak Haji tampak terkejut, begitu juga Bu Haji, Mas Parjo dan Kang Maman. Aku tergugu dalam tangis.
"Mereka baru saja berzina di kamar ini," terangku di sela isak tangis.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, aku sangat terkejut. Seorang perempuan yang sangat kukenal keluar dari ruangan sempit itu.
"Nurma?" Pak Haji, Bu Haji, Kang Maman dan Mas Parjo menyebut nama perempuan itu bersamaan. Sementara Mas Ahmad hanya menunduk pasrah.
Perempuan itu tampak salah tingkah. Penampilannya kacau. Baju lecek, rambut acak-acakan, wajahnya pucat pasi. Ia berjalan sambil menunduk. Bu Haji mengeratkan pelukan dan memintaku beristighfar. Aku menurut, padahal sungguh aku ingin berlari lalu mencakar muka Nurma, tetangga sebelah kontrakanku itu.
***
Kami bertiga duduk di ruang tamu rumah Pak Haji. Aku duduk di tengah-tengah antara Pak. Haji dan Bu Haji. Mas Ahmad dan Nurma duduk berseberangan, terhalang meja. Bu Haji terus menerus mengusap pundakku dan tak henti-hentinya memintaku beristighfar serta menyebut Asma Allah.
"Saya tidak habis pikir, di mana pikiran kalian berdua? Kamu, Ahmad! Apa kamu nggak kasihan sama istrimu yang lagi hamil, hah?"
Mas Ahmad tampak menunduk, ia tak berani menatap Pak Haji pemilik kontrakan tempat kami tinggal.
"Dan kamu Nurma! Sebagai sesama perempuan, apa nggak kasihan sama Mbak Fatimah? Dia sedang hamil, dan kamu mau saja dirayu sama suaminya!"
Nurma juga hanya diam menunduk, tak berani menjawab.
"Sudah berapa kali kalian berzina di tempat saya, hah?" Nada suara Pak Haji meninggi. "Astagfirullah, apa kalian nggak pernah mengaji, hah? Kalian tau nggak apa hukuman untuk orang yang berzina? Hah!" bentak Pak Haji.
Aku berjengit mendengar bentakan pria yang selama ini terkenal ramah dan murah hati itu. Kami semua diam, tak berani bersuara. Untuk beberapa saat suasana berubah menjadi hening.
"Apa yang harus saya katakan pada orang tuamu, Nurma? Mereka menitipkanmu secara baik-baik pada kami, supaya kami mengawasimu selama tinggal di sini. Tapi kamu sudah melemparkan kotoran ke wajah kami." Suara Pak Haji terdengar mulai turun. Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang amat dalam.
Pak Haji pasti sangat merasa kecewa pada Nurma yang sudah dia anggap seperti anak sendiri. Bahkan Bu Haji sejak tadi tak mau bicara pada gadis itu. Padahal biasanya Bu Haji sangat ramah pada semua penghuni kontrakan.
Aku pun tak kalah kecewa. Nurma sudah kuanggap seperti saudara. Tak jarang kami menghabiskan waktu bersama, ke pasar dan memasak, lalu makan bersama. Tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiranku, kalau Nurma ada main dengan suamiku.
Gadis yang terlihat lugu itu, juga mengaku sudah memiliki tunangan di kampung halamannya di Garut sana. Tunangan juga pernah berkunjung ke sini beberapa waktu lalu dan mereka terlihat baik-baik saja. Kalau tidak salah dengar, mereka berencana menikah dua bulan lagi.
Sungguh aku tak menyangka, ternyata Nurma menyembunyikan kelakuan minus di balik wajah lugunya itu.
Karma Perselingkuhan Bab 2Diusir Ruang tamu rumah Pak Haji masih hening, suasana juga semakin tegang. Dengan ujung jari tangan, Pak Haji mengetuk-ngetuk permukaan meja. Mas Ahmad dan Nurma seperti tahanan yang sedang menunggu vonis. Sementara aku juga tak kalah gelisah menanti keputusan Pak Haji. "Begini, saya rasa ini keputusan yang adil untuk kita semua. Dengan terpaksa, saya meminta kalian untuk secepatnya pindah dari kontrakan saya. Silakan cari tempat lain. Dan kamu, Nurma, nanti biar saya yang jelaskan ke orang tuamu!"Aku mengusap wajah, pasrah dengan keputusan Pak Haji yang dirasa adil untuk kami. Aku juga tak mau lagi tinggal di kamar itu. "Tolong, jangan bilang ama orang tua saya, Pak. Saya takut mereka marah," pinta Nurma dengan suara memelas. "Harusnya kamu mikirin ini sebelum berbuat salah, Nurma!"Nurma kembali menunduk. "Kalo gitu, saya permisi dulu, Pak, Bu. Mau beres-beres," pamitku. "Maafin kami, ya, Mba Fatimah. Kami terpaksa mengambil keputusan ini," sahut
Karma Perselingkuhan Bab 3Istri Bodoh Bu Rani mengajakku ke Mushola yang terletak di belakang toko. Urusan kasir diserahkan pada Pak Burhan yang kebetulan sedang berada di toko. "Kenapa, ada masalah apa, Fatimah?" tanya Bu Rani sambil memberikan botol air mineral padaku. Aku menerima pemberian Bu Rani, membuka tutupnya dan meminum sedikit isinya."Kami, diusir dari kontrakan, Bu Harus pindah secepatnya."Bu Rani tampak terkejut. "Diusir? Kok bisa? Kenapa? Kalian nunggak bayar kontrakan?"Aku menghela napas, kasar. "Bukan, Bu. Tapi, Mas Ahmad. Dia …."Aku bingung, apa harus cerita yang sebenarnya atau tidak? Kalau cerita, sama saja menyebar aib rumah tangga sendiri. Kalau tidak cerita, aku juga bingung harus mencari alasan kenapa sampai diusir dari kontrakan. Lagi pula, percuma saja walaupun tidak cerita, pasti lambat laun, Bu Rani dan Pak Burhan akan tahu yang sebenarnya. Karena, supir toko ini juga mengontrak di tempat yang sama denganku. "Ahmad, kenapa suamimu?" tanya Bu Rani
Karma Perselingkuhan Bab 4Satu hari setelah kejadian aku mengetahui perselingkuhan Mas Ahmad dan Nurma, kami pindah kontrakan. Beberapa tetangga menatap iba padaku saat berpamitan. Mereka yang rata-rata sudah bertahun-tahun menghuni tempat ini, sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Satu persatu aku menyalami mereka. Para tetangga perempuan, menangis melepas kepindahanku. Sementara Nurma entah ke mana dia. Dari kemarin pintu kamarnya selalu tertutup rapat. Lampu kamarnya juga tidak dinyalakan. Mungkin dia pulang kampung atau menginap di salah satu temannya. Bodo amat, aku tak peduli. Malah bagus, aku tak perlu bertemu dengannya. "Jaga istri dan calon anakmu baik-baik, Ahmad. Jangan diulangi lagi perbuatan yang kemarin!" pesan Bu Haji pada suamiku."Iya, Bu," jawab Mas Ahmad tanpa mengangkat kepalanya. "Kamu hati-hati, ya, Fat. Kalo butuh bantuan, jangan sungkan hubungi kami.""Iya, Insya Allah, Bu."Kemudian wanita bertubuh gempal itu, memelukku erat, beliau berpesan agar aku te
Karma Perselingkuhan Bab 5Omelan Ibu MertuaHari persalinan tiba, aku melahirkan bayi perempuan. Didampingi ibuku dan Mas Ahmad, aku melahirkan secara caesar. Kami terpaksa mengambil jalan ini, karena panggul yang sempit, dan tidak memungkinkan untukku melahirkan secara normal. Bayi perempuan yang diberi nama Zea Nara itu, disambut bahagia oleh seluruh keluarga. Terutama keluargaku.Keluarga Mas Ahmad tinggal di kampung yang berbeda dengan kampungku. Makanya, ibu mertua baru datang hari ini, setelah aku pulang dari rumah sakit. Alasannya, sibuk mengurus dua cucunya. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad memang tinggal bersama mertuaku. Sedangkan kakaknya Mas Ahmad bersama suaminya menjadi buruh pabrik di Korea. Mereka pulang dua atau tiga tahun sekali. "Kenapa mesti caesar, Fat? Emang nggak bisa diusahakan lahir normal?" tanya ibu mertuaku sambil menimang Zea. "Kan, Ahmad udah bilang, Fatimah panggulnya sempit, Bu," jawab suamiku. "Makanya, kalo lagi hamil itu, jangan males, harus banya
Karma Perselingkuhan Bab 6DipecatMas Ahmad kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia hanya meminta izin selama seminggu. Sebenarnya agak berat melepas dia pergi. Namun, mau bagaimana lagi? Suamiku hanya karyawan, bukan bos. Mau tidak mau harus taat pada peraturan. Apalagi, zaman sekarang tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah sedikit saja, pasti diminta mengundurkan diri atau diberhentikan, masih banyak yang mau kerja. Karena itulah, aku hanya bisa melepas keberangkatan Mas Ahmad dengan doa. Kalau masalah pekerjaan, aku tahu, Mas Ahmad orangnya bertanggung jawab. Selama bekerja, hampir tak pernah ada masalah berarti. Mas Ahmad cukup bisa dipercaya masalah pekerjaan. Aku berdoa semoga dia bisa menjaga hatinya agar tidak melakukan kesalahan seperti kemarin. Sementara aku, diminta mengundurkan diri dulu dari pekerjaan. Mas Ahmad memintaku untuk mengurus Zea saja. Untuk sementara, aku diminta tinggal bersama ora
Karma Perselingkuhan Bab 7Terbongkarnya RahasiaAku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku. "Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya. Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?""Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku? "Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!" Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?" "Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.Tiba-tiba aku merasa seluruh
Karma Perselingkuhan Bab 8Bukti KebohonganSemua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini. Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu. "Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu. "Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu u
Karma PerselingkuhanBab 9Keputusan AhmadAku mengusap wajah kasar sambil terus beristighfar. Istri Kang Amin mengusap lembut pundakku, seolah memberikan kekuatan. Kalimat ibu mertua sungguh menyakitkan. Tidak ada lagi alasan untukku mempertahankan rumah tangga yang menurutku tidak sehat ini. Suami punya penyakit suka selingkuh, mertua juga ternyata tak menyukai kehadiranku. Jadi, untuk apa aku membuang waktu bersama mereka? Apa yang harus aku perjuangkan? Zea? Mudah-mudahan saat besar nanti, dia mengerti alasanku berpisah dengan ayahnya. "Mas Ahmad, sekarang, bagaimana keputusanmu? Masalah ini, berawal dari kamu yang membawa Mbak Fitri ke sini. Padahal, Mas Ahmad, masih punya istri.""Saya minta cerai!" selaku cepat.Mas Ahmad tampak terkejut. "Pikirkan lagi, Dek. Kasihan anak kita.""Anak? Harusnya yang kamu mikirin anak, sebelum mengkhianati pernikahan kita. Ini bukan yang pertama, Mas. Aku sudah memberikan kesempatan kedua. Nyatanya?"Mas Ahmad terdiam, dia tidak membantah kalim